Cinta di Tepi: Tetaplah Bersamaku
Cinta yang Tersulut Kembali
Kembalinya Istri yang Tak Diinginkan
Rahasia Istri yang Terlantar
Gairah Liar Pembantu Lugu
Istri Sang CEO yang Melarikan Diri
Kembalinya Mantan Istriku yang Luar Biasa
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Kecemerlangan Tak Terbelenggu: Menangkap Mata Sang CEO
Sang Pemuas
Jika dipikir lagi, sepertinya sudah beberapa bulan ini Becca tidak pernah melihat lagi seorang dosen tamu yang selalu menjadi pembicaraan para mahasiswa St.Paul University.
Namanya Derren Lambert, lebih dikenal dengan Prof. Lambert. Masih tergolong muda, mungkin berumur 35-an? Becca tak pernah mencari tahu data pribadi pria tersebut. Namun yang pasti, Becca menyadari bahwa ada debaran aneh dalam dadanya setiap ada yang menyebut nama pria itu.
Mungkin kagum, atau bahkan suka. Entahlah, Becca pun tak mengerti. Satu hal yang pasti, siluet pria itu melekat pada ingatannya. Bahkan, bagaimana aroma parfum yang selalu dipakai oleh Derren pun seakan menyita memori indra penciumannya.
Sial! Becca menendang ujung sepatunya pada batu kecil di jalanan paving pertokoan. Padahal, ia sudah berniat untuk tidak memikirkan hal itu lagi. Namun alam bawah sadar seakan selalu menuntunnya untuk kembali menerjemahkan kegelisahan di dalam dirinya sebagai pertanda suka.
Hah! Becca menggelengkan kepalanya cepat. Kegilaan ini harus segera dihentikan sebelum menjadi terlalu dalam. Pandangannya mulai menjelajah ke penjuru tempat, mencari sesuatu yang bisa ia bawa pulang sebelum kembali mengurung diri di kamarnya sampai keesokan hari. Roti isi atau dimsum yang belakangan ini selalu menjadi tujuan kuliner anak muda sepertinya enak.
Tunggu, kaki Becca otomatis berhenti saat matanya menangkap sesuatu di gang sempit dekat toko dimsum yang ia tuju. Beberapa orang mengenakan jaket hitam tampak mengepung satu orang berjas mewah. Jantung Becca berdetak cepat, ia sedang dalam pilihan untuk balik badan dan berpura-pura untuk tidak melihat, atau terus melangkah menuju toko dimsum, atau…
Hei!! Becca mengenali pria berjas mewah itu!
Derren Lambert?
Sial! Kalau seperti ini Becca tidak akan bisa pura-pura tidak melihat. Oh, no! kenapa mereka menodongkan pisau lipat pada Prof. Lambert?? Tanpa berpikir panjang, bahkan Becca tidak berpikir sama sekali, ia langsung berlari dan melompat ke tengah-tengah para pria menyeramkan itu.
Seharusnya Becca diam saja tanpa perlu ikut campur. Lihatlah, saat ini dia justru terpaksa merasakan perih dan panas yang mulai menyebar di perutnya. Kaus tipisnya terkoyak, cairan amis berwarna merah menyebar cepat di sana. Sementara para pria berjaket hitam tadi telah berlarian, masuk ke dalam mobil tua dengan beberapa baret yang terlihat mengakar di body mobil.
"Apa yang kau lakukan?!” Seru Derren sambil menekan luka di perut Becca. “Kau bodoh atau bagaimana sampai melompat begitu saja ke depan orang yang sedang mengacungkan senjata tajam?!”
Becca berusaha mendongak, menatap wajah Derren dengan susah payah. Pria itu mengerutkan kening, sambil mengetatkan rahang, sebelum akhirnya menggendong Becca. “Sial, kau sudah kuselamatkan kenapa malah mengomel padaku?”
***
Derren Lambert, masih dengan tangannya yang memerah karena darah dari luka Becca, mendengar penjelasan dokter dengan sesekali melirik kepada Becca yang terbaring di ranjang emergency room. Wanita itu sedikit mengernyit sambil membalas lirikan Derren dengan gerakan mata.
“Beruntung lukanya tidak terlalu dalam. Nona Willson diperbolehkan untuk pulang setelah proses perawatan dan administrasinya selesai.”
Derren mengangguk, kemudian menatap pada Becca sebelum dia beranjak untuk mengurus administrasi. “Kau, tunggu di sini sampai aku kembali.”
Beca tidak menjawab, ia hanya mengekorkan pandangannya sampai pria tadi menghilang di balik pintu. Cukup bodoh sebenarnya, karena dalam situasi seperti ini, ia justru tak bisa berhenti untuk tidak tersenyum. Tindakan impulsif Becca pada akhirnya berhasil menyelamatkan seseorang yang ia sukai, meskipun dirinya yang menjadi korban.
Tak lama kemudian, Derren kembali dengan sekantong obat di tangan kanan. Melihat pria itu menyodorkan kantong obat itu, Becca segera menegakkan badannya dan meraih kantong itu; menjejalkannya pada tas yang tergelatak di tepi ranjang. Namun karena gerakannya terlalu cepat, membuat luka di perutnya kembali terasa nyeri.
“Pelan-pelan saja,” ucap Derren. “Kau butuh kursi roda? Aku akan ambilkan untukmu.”
Becca sontak menahan Derren dengan menarik tangan pria itu cepat. Pandangan mereka bertemu, sentuhan tangan dari Becca membuat Derren mengernyit, memperlihatkan dengan jelas cekungan tak begitu dalam di kening.
“Tidak perlu! Aku bisa jalan sendiri.”
Sadar akan tangannya yang masih memegang lengan Derren, Becca segera menariknya dan berdehem pelan. Perlahan, ia berdiri dan berusaha untuk tegak meskipun rasa panas dan nyeri kembali menjalar dari lukanya.
“Berapa aku harus membayarmu?” tanya Becca setelah mereka merada di dalam mobil Derren.
Derren menyipitkan matanya, mencoba untuk menyelami pikiran wanita yang ada di sebelahnya itu. “Membayar untuk apa?”
“Biaya perawatan. Aku tidak ingin berhutang budi pada orang lain.” Becca mengatakannya dengan tegas, tanpa tersirat keraguan sedikit pun.
Derren menjadi sedikit tertarik pada Becca. Bagaimana bisa ia mengatakan akan mengganti biaya perawatan, sementara wanita itu juga yang telah melompat di depannya dengan tiba-tiba saat para gerombolan preman tadi menghunus pisau lipat. Bukankah itu tidak masuk akal? Jika Derren adalah Becca, ia pasti menganggap semuanya telah impas.
“Biaya perawatan itu adalah balas budiku padamu,” jawab Derren, sambil menginjak pelan pedal gasnya. “Kau menyelamatkanku, ingat?”
“Berarti kita impas?” Becca berusaha memperjelas.
Derren mengangguk, tapi sedetik kemudian berdecak kencang. “Kau benar-benar wanita yang aneh. Bagaimana bisa kau melompat begitu saja untuk menjadi tameng pada orang yang tidak kau kenal?”
Becca mengerutkan keningnya. Mencari alasan tentang tindakannya yang memang tidak akan pernah bisa diterima oleh akal sehat mana pun. Lagipula Derren tidak akan pernah percaya jika Becca mengatakan bahwa ia melakukan itu karena menyukainya.