Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Never Ending Pleasure

Never Ending Pleasure

Lefayesme

5.0
Komentar
1.8K
Penayangan
17
Bab

Siapa sangka, Becca Willson yang awalnya hanya seorang mahasiswi biasa, tiba-tiba menjadi wanita dari seorang Derren Lambert-CEO perusahan perdagangan besar di Chicago yang ternyata juga seorang mafia. Meskipun banyak hal berbahaya yang akhirnya hadir di kehidupannya, namun Becca tak peduli. Asalkan bersama dengan Derren, apa pun bisa ia hadapi. Termasuk hasrat dalam dirinya yang menggebu, dan serangan dari banyak pihak yang hampir merenggut nyawanya. -------------------------- WARNING! ADULT ONLY! Kekerasan dan adegan 21+ is available. ---------------------------

Bab 1 Mr. Lambert

Jika dipikir lagi, sepertinya sudah beberapa bulan ini Becca tidak pernah melihat lagi seorang dosen tamu yang selalu menjadi pembicaraan para mahasiswa St.Paul University.

Namanya Derren Lambert, lebih dikenal dengan Prof. Lambert. Masih tergolong muda, mungkin berumur 35-an? Becca tak pernah mencari tahu data pribadi pria tersebut. Namun yang pasti, Becca menyadari bahwa ada debaran aneh dalam dadanya setiap ada yang menyebut nama pria itu.

Mungkin kagum, atau bahkan suka. Entahlah, Becca pun tak mengerti. Satu hal yang pasti, siluet pria itu melekat pada ingatannya. Bahkan, bagaimana aroma parfum yang selalu dipakai oleh Derren pun seakan menyita memori indra penciumannya.

Sial! Becca menendang ujung sepatunya pada batu kecil di jalanan paving pertokoan. Padahal, ia sudah berniat untuk tidak memikirkan hal itu lagi. Namun alam bawah sadar seakan selalu menuntunnya untuk kembali menerjemahkan kegelisahan di dalam dirinya sebagai pertanda suka.

Hah! Becca menggelengkan kepalanya cepat. Kegilaan ini harus segera dihentikan sebelum menjadi terlalu dalam. Pandangannya mulai menjelajah ke penjuru tempat, mencari sesuatu yang bisa ia bawa pulang sebelum kembali mengurung diri di kamarnya sampai keesokan hari. Roti isi atau dimsum yang belakangan ini selalu menjadi tujuan kuliner anak muda sepertinya enak.

Tunggu, kaki Becca otomatis berhenti saat matanya menangkap sesuatu di gang sempit dekat toko dimsum yang ia tuju. Beberapa orang mengenakan jaket hitam tampak mengepung satu orang berjas mewah. Jantung Becca berdetak cepat, ia sedang dalam pilihan untuk balik badan dan berpura-pura untuk tidak melihat, atau terus melangkah menuju toko dimsum, atau...

Hei!! Becca mengenali pria berjas mewah itu!

Derren Lambert?

Sial! Kalau seperti ini Becca tidak akan bisa pura-pura tidak melihat. Oh, no! kenapa mereka menodongkan pisau lipat pada Prof. Lambert?? Tanpa berpikir panjang, bahkan Becca tidak berpikir sama sekali, ia langsung berlari dan melompat ke tengah-tengah para pria menyeramkan itu.

Seharusnya Becca diam saja tanpa perlu ikut campur. Lihatlah, saat ini dia justru terpaksa merasakan perih dan panas yang mulai menyebar di perutnya. Kaus tipisnya terkoyak, cairan amis berwarna merah menyebar cepat di sana. Sementara para pria berjaket hitam tadi telah berlarian, masuk ke dalam mobil tua dengan beberapa baret yang terlihat mengakar di body mobil.

"Apa yang kau lakukan?!" Seru Derren sambil menekan luka di perut Becca. "Kau bodoh atau bagaimana sampai melompat begitu saja ke depan orang yang sedang mengacungkan senjata tajam?!"

Becca berusaha mendongak, menatap wajah Derren dengan susah payah. Pria itu mengerutkan kening, sambil mengetatkan rahang, sebelum akhirnya menggendong Becca. "Sial, kau sudah kuselamatkan kenapa malah mengomel padaku?"

***

Derren Lambert, masih dengan tangannya yang memerah karena darah dari luka Becca, mendengar penjelasan dokter dengan sesekali melirik kepada Becca yang terbaring di ranjang emergency room. Wanita itu sedikit mengernyit sambil membalas lirikan Derren dengan gerakan mata.

"Beruntung lukanya tidak terlalu dalam. Nona Willson diperbolehkan untuk pulang setelah proses perawatan dan administrasinya selesai."

Derren mengangguk, kemudian menatap pada Becca sebelum dia beranjak untuk mengurus administrasi. "Kau, tunggu di sini sampai aku kembali."

Beca tidak menjawab, ia hanya mengekorkan pandangannya sampai pria tadi menghilang di balik pintu. Cukup bodoh sebenarnya, karena dalam situasi seperti ini, ia justru tak bisa berhenti untuk tidak tersenyum. Tindakan impulsif Becca pada akhirnya berhasil menyelamatkan seseorang yang ia sukai, meskipun dirinya yang menjadi korban.

Tak lama kemudian, Derren kembali dengan sekantong obat di tangan kanan. Melihat pria itu menyodorkan kantong obat itu, Becca segera menegakkan badannya dan meraih kantong itu; menjejalkannya pada tas yang tergelatak di tepi ranjang. Namun karena gerakannya terlalu cepat, membuat luka di perutnya kembali terasa nyeri.

"Pelan-pelan saja," ucap Derren. "Kau butuh kursi roda? Aku akan ambilkan untukmu."

Becca sontak menahan Derren dengan menarik tangan pria itu cepat. Pandangan mereka bertemu, sentuhan tangan dari Becca membuat Derren mengernyit, memperlihatkan dengan jelas cekungan tak begitu dalam di kening.

"Tidak perlu! Aku bisa jalan sendiri."

Sadar akan tangannya yang masih memegang lengan Derren, Becca segera menariknya dan berdehem pelan. Perlahan, ia berdiri dan berusaha untuk tegak meskipun rasa panas dan nyeri kembali menjalar dari lukanya.

"Berapa aku harus membayarmu?" tanya Becca setelah mereka merada di dalam mobil Derren.

Derren menyipitkan matanya, mencoba untuk menyelami pikiran wanita yang ada di sebelahnya itu. "Membayar untuk apa?"

"Biaya perawatan. Aku tidak ingin berhutang budi pada orang lain." Becca mengatakannya dengan tegas, tanpa tersirat keraguan sedikit pun.

Derren menjadi sedikit tertarik pada Becca. Bagaimana bisa ia mengatakan akan mengganti biaya perawatan, sementara wanita itu juga yang telah melompat di depannya dengan tiba-tiba saat para gerombolan preman tadi menghunus pisau lipat. Bukankah itu tidak masuk akal? Jika Derren adalah Becca, ia pasti menganggap semuanya telah impas.

"Biaya perawatan itu adalah balas budiku padamu," jawab Derren, sambil menginjak pelan pedal gasnya. "Kau menyelamatkanku, ingat?"

"Berarti kita impas?" Becca berusaha memperjelas.

Derren mengangguk, tapi sedetik kemudian berdecak kencang. "Kau benar-benar wanita yang aneh. Bagaimana bisa kau melompat begitu saja untuk menjadi tameng pada orang yang tidak kau kenal?"

Becca mengerutkan keningnya. Mencari alasan tentang tindakannya yang memang tidak akan pernah bisa diterima oleh akal sehat mana pun. Lagipula Derren tidak akan pernah percaya jika Becca mengatakan bahwa ia melakukan itu karena menyukainya.

"Mungkin karena aku merasa menjadi seorang yang harus melindungi orang lain. Dan kebetulan aku melihatmu sedang terkena masalah. Yah, begitulah."

Jawaban yang aman, kan? Lagipula Derren tidak akan mengingat dirinya di beberapa kelas yang sempat ia pimpin.

Derren memicingkan kedua matanya, jelas ia tidak bisa menerima alasan tidak masuk akal yang baru saja dilontarkan oleh Becca. "Kau gila? Bagaimana kalau kau mendapatkan hal yang lebih buruk dari saat ini?"

"Mati yang kau maksud?" Becca mengatakannya seolah itu bukanlah hal yang menakutkan. "Setidaknya aku mati karena telah menyelamatkanmu. Tidak masalah."

"Rebecca Willson, benar? dengarkan aku," ucap Derren lagi, masih dengan tetap mengemudikan mobilnya tenang. "Aku tidak tahu masalah apa yang ada di hidupmu, tapi jangan pernah sekalipun mengorbankan nyawa demi orang yang tidak kau kenal. Atau kau akan menyesalinya."

Becca tersenyum. Percuma ia menjelaskan pada Derren tentang pandangannya terhadap kehidupan. "Baiklah, Prof. Lambert. Aku tidak akan melakukannya lagi."

"Prof. Lambert? Kau tahu siapa aku?"

Derren terkejut saat Becca memanggilnya dengan sebutan Prof. Lambert. Sementara dari tadi, ia bahkan tidak menyebutkan namanya pada Becca. Lagipula, tidak ada yang tahu bahwa dirinya juga seorang dosen profesor selain profesi utamanya sebagai CEO dari sebuah perusahaan perdagangan yang menduduki peringkat tiga besar di Amerika selain mahasiswa/mahasiswi di St. Paul University.

Becca menoleh cepat pada Derren, terlihat panik karena tanpa sadar kelepasan bicara. Berpura-pura bodoh adalah jalan ninjanya. "Apa? Aku bilang seperti itu?"

"Kau kuliah di St. Paul?"

Sial! Becca telah tertangkap basah. "Aku berada di kelas saat kau menjadi dosen tamu."

Derren mengerutkan keningnya, mencoba untuk mengingat sosok Becca di kelasnya. "Aku tidak pernah melihatmu sebelumnya."

Becca tertawa kecil, pundaknya sedikit bergoyang. "Tentu saja, aku selalu berada di paling ujung dan tak terlihat. Tapi aku bisa melihatmu dengan jelas dari tempatku duduk."

Mobil berbelok ke sebuah kawasan perumahan, tempat di mana Becca tinggal.

"Terakhir aku menjadi dosen tamu adalah tahun lalu, dan kau masih mengingatku?" tanya Derren.

Becca mengangguk pelan, hampir tak kentara. "Ingatanku tajam. Karena itu, responku bertindak lebih cepat dari otakku saat melihatmu dalam situasi seperti tadi. Maaf karena telah merepotkanmu."

Derren menghentikan mobilnya di depan sebuah rumah dengan halaman luas tak berpagar. Setelah menarik tuas rem tangan, ia menoleh pada Becca dan menatapnya dengan penuh keheranan. Entah kenapa dari tadi Becca berhasil menarik perhatiannya.

Well, tentu saja tindakan Becca tadi memang sangat menarik perhatian. Namun cara berpikir wanita itu, dan juga bagaimana cara ia berbicara padanya, seakan ada aura lain yang menariknya untuk lebih memperhatikan wanita itu.

"Kau memang aneh. Seharusnya aku yang minta maaf padamu karena gara-gara aku, kau menjadi celaka seperti sekarang."

Becca tersenyum. Ia pun mengakui bahwa dirinya aneh, dan saat ini dia tidak menyesalinya. Come on, bagaimana bisa ia menyesali tindakannya jika karena itu, ia bisa memiliki waktu untuk bersama dengan seorang Derren Lambert?

"Terima kasih karena telah mengantarku, Prof. Lambert. Aku ingin mengajakmu untuk mampir, tapi kau pasti sedang dalam jam sibuk." Becca hendak membuka pintu mobil, tapi gerakannya terhenti sebelum sempat tangannya menarik tuas pintu.

Seorang wanita berambut pirang, didorong kencang ke arah pintu oleh pria paruh baya berpawakan gendut. Keduanya saling berteriak, dan berakhir dengan sang pria menarik kasar rambut wanita kembali ke dalam rumah.

"Mereka orang tuamu?" tanya Derren.

Becca tidak menjawab. Ia hanya menghela napas panjang sambil memejamkan matanya erat, berusaha untuk menghalau ketakutan yang tiba-tiba menyebar di dalam dirinya. Derren menyadari hal itu, keningnya kembali mengerut saat melihat gestur tubuh Becca yang terlihat tidak nyaman. Ia bahkan melihat pundak Becca sedikit gemetar.

"Orang tua angkat. Mereka memang sering seperti itu, anggap saja kau tidak pernah melihatnya." Suara Becca terdengar bergelombang.

Derren dengan cepat menahan Becca saat wanita itu akan keluar dari mobil. Tidak ada alasan, bahkan pria itu juga terkejut dengan tindakannya sekarang. Sementara Becca telah menuntut jawaban melalui tatapan matanya.

"Ikutlah denganku." Derren mengunci pintu mobilnya lagi. Badannya dicondongkan sampai di depan Becca yang masih duduk, membantunya memasang kembali sabuk pengaman.

"Prof. Lambert?" Suara Becca tercekat, ketakutannya teralihkan dengan tindakan Derren yang sangat tiba-tiba.

Derren menginjak pedal gasnya tanpa menoleh lagi pada Becca. "Hari ini kau ikut denganku."

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku