Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Apa Kabar Jiwa-mu hari ini?

Apa Kabar Jiwa-mu hari ini?

Mentari NA

5.0
Komentar
319
Penayangan
5
Bab

Hai, namaku Awan Gintari. Sering disapa Awan oleh semua orang. Hmm, aku suka menjelajah namun semuanya menghilang saat menemukan nama ayah tertera di salah satu makam, duniaku mulai berubah. Mulai dari keceriaan, kebahagiaan, kasih sayang dan juga keseharian yang begitu membosankan. Lantas, apa kalian ingin menemaniku sebentar? Mendengar keseharian yang kuanggap membosankan ini? Jika ya, mari ikut bersamaku kedalam cerita ini. Bersama Awan, yang kini membenci kesehariannya.

Bab 1 Prolog

Muhammad Anlad.

Mataku menatap nanar nisan yang kuanggap masih lama kutemui, ternyata hari ini sudah waktunya. Ayah sudah pergi bersama para kenangan yang seharusnya tetap dilanjutkan bersamaku di hari-hari selanjutnya. Semua orang yang tadinya kemari sudah pergi layaknya kata para pepatah, saat duniamu selesai maka di alam kubur tinggallah kamu sendirian sedang yang lainnya melanjutkan hidupnya.

"Ayah, kenapa harus hari ini? Bukankah Ayah hari ini berjanji memberiku kado sebagai hadiah atas pencapaianku sebagai anak ayah yang baik?" katakan aku tidak jelas karena berbicara dengan tumpukan tanah.

Mana mungkin Ayah bangun dan menjawab pertanyaanku kan? Itu namanya mengubah hukum alam.

"Kakak bukannya senang ya Ayah akhirnya pergi? Tidak adalagi yang meminta uang kakak setiap kali selesai gajian? Tidak adalagi yang memalak kakak setiap hari? Padahal aku kira, kakak akan tertawa didepan makam ayah. Ibu aja dirumah Happy, malah mau masak daging sapi." ternyata dugaanku salah, si bungsu masih ada disini.

"Kamu tau tidak apa yang paling menyedihkan dalam hidup?" tanyaku tak jelas, padahal pembahasannya tadi bukan soal ini.

"Pikiran kakak makin tidak jelas." langkah kakinya menjauh, aku tidak tersinggung dengan ini.

Sudah biasa.

"Ayah tau tidak kenapa aku sedih? Karena setelah ayah pergi, aku tidak tau tujuanku bekerja dan mencari uang untuk apa? Apa uangnya aku kuburkan saja bersama ayah disini?" kegilaanku memang sudah di akui semua orang, semuanya.

"Setiap kali aku menerima berlembar-lembar uang maka yang kupikirkan adalah langsung memberikannya pada ayah karena itulah tujuanku bekerja. Terus sekarang? Apa Ibu akan berubah menjadi seorang ibu yang menaruh pundaknya padaku, ayah? Atau bagaimana?" kulihat sekitar, menghela napas pelan lalu menunduk menatap tumpukan tanah.

"Aku berdo'a semoga ayah bisa menjawab pertanyaan kedua malaikat dengan baik, walaupun ayah suka main hal yang haram tapi aku berharap uang yang aku sedekahkan atas nama ayah bisa menerangi ayah didalam sana nanti." setelah membual entah apa, kutinggalkan kawasan pemakaman tanpa menoleh sama sekali.

Tujuan manusia cuman satu, kematian. Itulah yang ayah katakan sejak dulu, makanya ayah lebih suka bersenang-senang daripada mengeluh mengenai makan tempe tiap hari atau memakan nasi yang hampir basi.

Lucu, tapi benar juga.

Namaku Awan Gintari, perempuan yang gagal dalam pernikahannya 3 setengah tahun yang lalu akhirnya menjadi janda kurang dari sebulan sehabis akad. Alasannya, aku kurang tau dan malas tau. Yang kuingat adalah mantan suamiku datang membawa selembar kertas lalu kutandatangani tanpa banyak tanya, selesai.

Simpel, kata Ayah jangan mempersulit hidup karena takutnya ada yang kamu sesali sehabis mati.

"Apa yang kamu lakukan disini?" anehnya, mantan suami yang mengajukan kertas dadakan itu selalu berkeliaran di sekitarku. Hampir setiap hari.

"Mengunjungi mantan mertua yang baru saja meninggal." jawaban pasaran, malas meladeninya aku melewatinya begitu saja enggan berurusan dengannya terlalu lama.

"Apalagi?" kesalku, pasalnya dia menarik lenganku tiba-tiba.

Tidak ada jawaban, dengan paksa kulepaskan tangannya dari lenganku. Menatapnya malas lalu pergi tanpa menatapnya, ayah pernah bilang padaku bahwa sesuatu yang sudah berlalu atau menjadi kemarin sebaiknya kamu lupakan, baik orangnya atau masalahnya jangan pedulikan.

Ayah memintaku melanjutkan kakiku, jangan membalikkan badan apalagi mengemis perhatian pada mereka. Awalnya aku kurang paham tetapi setelah mengalaminya sendiri akhirnya aku paham apa yang ayah maksud selama ini, dan aku menyetujui perkataannya.

"Aku akan mengantarmu pulang." tanganku ditarik dengan lembut, menuntunku masuk kedalam mobilnya bahkan memasangkan sabuk pengaman untukku. Dia kira aku kekasihnya kali ya?

"Mama Papa titip salam, mereka turut berduka cita."

Balasanku adalah gumaman, entah apa tujuannya berkeliaran layaknya orang gila.

"Kayaknya hari ini akan hujan,"

Aku dengan sigap menatap awan di atas sana, oh mau hujan.

"Dulu kamu sangat suka awan sama seperti nama depanmu, mau ke suatu tempat lebih dulu?"

Dengan jengah aku menatapnya, "ada apa?" tanyaku langsung, aku tau dia punya tujuan lain makanya kemari.

"Sebentar lagi aku akan menikah."

Ku anggukan kepalaku beberapa kali, "mana undangannya?" tanganku ku tadahkan, menunggunya memberiku selembar kertas berisi namanya dengan perempuan lain.

Apakah aku terluka? Tentu tidak, ingat kata Ayah kan? Jangan membuang-buang waktumu hanya demi perasaan, napasmu ada bukan untuk meratapi hati yang tidak memiliki balasan.

Beberapa menit berlalu, tanganku malah ngambang tidak diberikan apapun jadinya aku menariknya kembali, mengidikkan bahu tidak peduli. Masa bodo, untuk apa memikirkan mantan suami? Aku sedang banyak beban apalagi mengenai hutang Ayah yang sangat banyak. Warisannya sungguh berbeda dari orangtua lainnya.

"Aku akan menikah, Gintari." dia mengulangnya lagi.

"Lantas? Kamu mengira aku akan menangis? Ayahku saja meninggal membuatku biasa-biasa saja apalagi cuman kabar menekanmu, kamu siapa? Hanya mantan suami yang sudah lama sekali. Kapan itu? 3 setengah tahun yang lalu jadi dibagian mananya aku harus bersedih?" suaraku mendominasi mobil, menatapnya remeh barulah turun dari mobilnya lagian sudah sampai rumah juga.

"Gintari!"

Dengan jengah aku berbalik menatapnya, menunggunya mengatakan apa yang ingin dia katakan. Dasar, mantan suami merepotkan.

"Aku masih mencintaimu."

Masa bodo.

"Pernikahan sudah kubatalkan, demi kamu."

Bukan urusanku.

Enggan mendengarkan bualannya terlalu lama, aku mendengus lantas masuk kedalam rumah tidak memperdulikan ibu dan si bungsu di teras rumah. Terserah mau menyapa si mantan suami atau tidak.

Sesampainya di kamar,kuperiksa ponsel yang sejak tadi kuabaikan karena mengurus pemakaman ayah.

Ada satu pesan yang membuatku langsung tersenyum dan meneteskan airmata di waktu yang sama.

Apa kabar jiwamu hari ini?

Dia sudah kembali ke Indonesia, nomornya sudah aktif kembali. Satu-satunya orang yang selalu menanyakan jiawaku bukan yang lainnya.

Dan juga satu-satunya orang yang kujawab pertanyaannya dengan kejujuran juga.

Sedang tidak baik-baik saja, sangat.

Lanjutkan Membaca

Buku lain oleh Mentari NA

Selebihnya

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku