Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Dandelion, Wish, and Wind

Dandelion, Wish, and Wind

Sasakiya

5.0
Komentar
69
Penayangan
24
Bab

"Dandelion beterbangan menghiasi langit biru musim panas. Kelopak kecil yang seputih kapas tampak menyatu dengan awan. Jauh tinggi ia terbang mengikuti hembusan angin yang bertiup semilir. Di mana pun kau berada, sejauh apapun jarak di antara kita, kuharap salah satu dandelion itu akan sampai padamu. Kuharap kau tahu aku di sini menunggumu, merindukanmu, dan mencintaimu. Waktu yang terus berlalu mengubah segalanya. Namun perasaanku masih sama. Apa kau juga merasakan hal yang sama? Di tengah hamparan dandelion putih berhiaskan sinar mentari senja, aku menunggumu." Yoshino Izumi membenci segalanya tentang Jepang. Jika bukan karena permintaan Sang Ayah, pemuda itu tak pernah ingin kembali ke sana. Bagi Izumi tempat itu hanya menyimpan kenangan buruk akan pengkhianatan seorang wanita yang pernah dipanggilnya "Ibu" dengan sepenuh hati. Namun pertemuannya dengan seorang gadis berambut silver, perlahan membuat Izumi melupakan perasaan itu. Di saat yang sama tanpa Izumi sadari, ternyata ada sosok lain yang juga berharap untuk bertemu kembali dengan dirinya.

Bab 1 Back to Japan

New York City, Amerika Serikat

"Izumi, come on! You'll be late for the flight!"

"Okay, I'm coming!"

Pemuda yang dipanggil Izumi itu memasukkan barang terakhir ke dalam kopernya dan bergegas membawanya keluar. Begitu keluar senyuman ramah dari sepasang suami istri menyambut langkahnya.

"Are you ready, My Boy?" sambut pria itu seraya mengambil alih koper dari tangan Izumi dan membawanya ke dalam mobil. Sambil menggandeng tangan Izumi, sang istri mengikuti langkah suaminya. Dengan penuh perhatian wanita itu membukakan pintu mobil untuk Izumi yang dibalas dengan senyuman penuh terima kasih dari pemuda itu.

Dari dalam mobil yang mulai bergerak, Izumi memandang rumahnya yang kini tak lagi berpenghuni. Satu persatu kenangannya di rumah itu tiba-tiba mengalir deras layaknya air hujan, membuat perasaan pemuda delapan belas tahun itu menjadi sesak. Jangan menangis! perintah Izumi pada dirinya sendiri. Dia mengalihkan pandangan, tak lagi menatap ke arah rumahnya. Dari balik kaca kemudi Mr. Sharon menatapnya dengan seksama.

"Are you okay?"

Izumi mengangguk pelan. "I haven't even gone yet, but I'd missed him already. It looked like my heart didn't want to go anywhere," ujar Izumi. Mr. Sharon tak menjawab. Sebaliknya kini iris amber milik istrinya, Mrs. Sharon, menatap Izumi dengan lekat.

"It's okay. If you don't want to go, then you don't have to. You can stay here with us." Ucapan Mrs. Sharon tentu saja membuat iris obsidian milik Izumi membulat, tak percaya dengan ucapan wanita itu.

"Darling! What did you say? You can't forbid him to go!" tegur Mr. Sharon pada istrinya.

"I didn't, but why does he have to go while his heart wants to stay. He'll end up hurting himself. Izumi, it isn't too late. If you want to stay then I'll talk to them." Mengabaikan tatapan tajam dari suaminya, Mrs. Sharon menatap Izumi dengan penuh kesungguhan. Izumi terdiam sesaat. Kepalanya berusaha merenungkan setiap kata yang diucapkan oleh Mrs. Sharon.

"I do love too, but I've already promised to him. And I must fulfill what I've promised," ujar Izumi pelan. Meskipun begitu hatinya memberontak meneriakkan keinginan yang berlawanan. Izumi sangat mengetahui apa yang ia inginkan. Andai saja kembali ke Jepang bukan permintaan terakhir dari ayahnya, pemuda itu lebih suka menghabiskan waktunya di Amerika. Meskipun Jepang adalah tanah kelahirannya, dia tak pernah berharap untuk kembali ke sana suatu saat nanti. Kenangan masa kecil yang menyakitkan karena perpisahan kedua orang tuanya dan pengkhianatan wanita yang dia sebut "ibu" membuat Izumi membenci segala hal yang berkaitan dengan Negeri Sakura itu. Termasuk kenangannya akan cinta pertamanya telah terkubur bersama dengan rasa bencinya.

"Izumi, kemarilah!"

Suara lirih ayahnya yang semakin lemah membuat perhatian Izumi teralihkan. Pemuda itu menutup bukunya dan berjalan mendekati ayahnya. Laki-laki itu menatap putranya dengan lekat. Seulas senyum terukir di wajah pucatnya.

"Tolong, kembalilah ke Jepang. Ibumu merindukanmu."

Izumi tersentak, tak percaya dengan ucapan yang baru saja ia dengar. Hampir selama sepuluh tahun ini, ayahnya tak pernah menyinggung sedikitpun tentang Jepang ataupun tentang ibunya. Tapi mengapa sekarang-

"Bagaimana kalau aku bilang aku tidak ingin kembali?" ujar Izumi lirih.

"Izumi!"

"Apa Ayah lupa bagaimana dia meninggalkan kita dulu. Hanya untuk mengejar kekayaan dia membuang keluarganya. Bagaimana bisa kau memintaku untuk kembali. Aku-" Tangan Izumi mengepal menahan emosi. Yoshino Takumi menatap wajah putranya. Mata obsidian milik putranya terlihat begitu terluka.

"Ayah tidak melupakannya, tapi Ayah memilih untuk memaafkan ibumu, terlepas dari rasa sakit yang dia berikan aku sudah memaafkannya. Karena itu, kau juga harus melakukan hal yang sama. Tolong maafkan ibumu dan kembalilah ke Jepang," ujar Takumi.

"Tou-san...."

"Ayah tahu ini sulit untukmu. Namun Ayah percaya kau bisa melakukannya, Haruki." Takumi tersenyum memanggil nama kecil putranya.

"We're arrived." Suara Mr. Sharon memutus ingatan Izumi tentang percakapan terakhirnya dengan ayahnya. Dengan satu tarikan napas panjang Izumi melangkah keluar dari dalam mobil.

"Hubungi kami jika kamu sudah sampai. Kapanpun kau ingin kembali, kami menyambutmu dengan tangan terbuka," pesan Mrs. Sharon sesaat sebelum Izumi memasuki ruang tunggu. Pemuda itu mengangguk pelan.

"Terima kasih untuk semuanya, Mr. dan Mrs. Sharon. Aku pasti akan merindukan kalian," ujar Izumi. Mr. Sharon tersenyum dan menjabat tangan Izumi dengan erat. Sementara itu Mrs. Sharon memeluknya dengan erat sembari mengusap kepala Izumi dengan sayang.

"Hati-hati di jalan. Kami pasti akan merindukanmu," bisik Mrs. Sharon dengan suara bergetar. Wanita itu melepas pelukannya dan memandang Izumi dengan lekat. Aura hangat seorang ibu memancar dari wajahnya yang tersenyum. Meskipun begitu Izumi bisa melihat kedua iris amber itu berkilau karena air mata. Izumi mengangguk dan melemparkan senyuman terakhir kepada Mr. dan Mrs. Sharon. Pemuda itu kemudian menarik kopernya menuju ruang tunggu bandara. Satu jam kemudian terdengar pemberitahuan kalau pesawat yang akan membawanya ke Jepang telah tiba di bandara. Satu tarikan napas panjang, Izumi berdiri menarik kopernya dan ikut mengantre dengan penumpang lain yang akan menaiki pesawat yang sama.

Izumi menatap gumpalan awan dari balik jendela pesawat. Di bawahnya Kota New York terlihat seperti ribuan kotak kecil yang tersusun rapi. Izumi menyandarkan kepalanya, berusaha mencari posisi nyaman untuk memejamkan mata. Dalam hati dia berharap ketika membuka mata nanti semuanya adalah mimpi. Seiring dengan pesawat yang terbang semakin tinggi, Izumi tenggelam dalam mimpinya. Kilasan memori masa kecilnya silih berganti bermunculan dalam mimpi Izumi, seperti sebuah film lama yang diputar berulang-ulang.

"Haruki, selamat datang."

Izumi tersentak kaget, pemuda itu membuka mata dan menatap sekeliling. Lampu kabin pesawat menyala redup sementara di luar jendela tak satupun pemandangan yang terlihat karena gelap, menandakan malam telah tiba. Izumi menyeka wajahnya dengan tangan, sementara pikirannya kembali mengingat-ingat mimpi yang muncul dalam tidurnya. Sosok anak kecil yang mengucapkan selamat datang padanya, meski wajahnya tak terlihat. Namun iris coklat terang seperti yang selalu muncul dalam mimpinya beberapa hari terakhir ini membuat Izumi yakin bahwa itu adalah "dia".

Apa kau tahu kalau aku akan kembali? Bahkan kau sampai mengucapkan selamat datang dalam mimpiku, pikir Izumi.

Pemuda itu memandang keluar jendela yang gelap dan kembali tenggelam dalam lamunannya. Tak lama kemudian lamunan Izumi terputus karena kehadiran seorang pramugari yang menawarkan makanan kepadanya. Namun ditolaknya dengan halus. Entah mengapa penerbangan panjang ini tak membuat Izumi merasa lapar sama sekali. "Apa penerbangannya masih lama?" tanya Izumi sebelum pramugari itu pergi.

"Kita akan sampai di Jepang sekitar tiga sampai empat jam lagi. Anda yakin tak ingin makan sekarang?" tawar pramugari itu lagi. Izumi menggeleng pelan. "Kalau begitu jika membutuhkan sesuatu jangan ragu untuk memberi tahu kami," ujar pramugari itu seraya tersenyum ramah.

"Baik. Terima kasih," balas Izumi.

Semburat sinar jingga perlahan muncul dari balik awan yang terlihat sedikit kelabu. Bersamaan dengan itu muncul pengumuman bahwa pesawat yang Izumi tumpangi telah tiba di tempat tujuan-Jepang. Jadi ini benar-benar bukan mimpi ya, batin pemuda itu. Tubuhnya sedikit terguncang ketika pesawat mendarat di landasan pacu. Izumi mengintip keluar dari balik jendela kabin. Tiba-tiba dia merasa asing dengan tanah kelahirannya sendiri. Begitu turun dari pesawat, angin yang sedikit dingin mengacak rambut hitamnya dengan lembut, seolah mengucapkan selamat datang padanya.

Izumi menghela napas panjang sementara batinnya kembali berbicara. Tak kusangka aku akan kembali ke sini, ke tempat yang sangat tak kuingin kuingat lagi.

"Haruki-kun!"

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku