Dandelion, Wish, and Wind
a itu berdiri seorang pria yang seusia dengan ayahnya. Entah mengapa dada pemuda itu tiba-tiba terasa sesak, bukan karena rindu, bukan. Namun lebih pada perasaan marah. Ingin ra
begitu berat ketika melangkah. Seolah
belum sepenuhnya hilang. "Ayo kita pulang, kau pasti lelah setelah perjalanan panjang ini." Wanita itu melepaskan pelukan
en
ya. Sekitar empat puluh lima menit berkendara, mobil hitam itu mulai memperlambat lajunya dan akhirnya berhenti. Mereka bertiga turun dari mobil dan berjalan bersama menuju ke dalam. Izumi memandang sekelilingnya. Halamannya begitu luas dan rapi ditutupi oleh rumput hijau yang sudah dipotong. Sekitar sepertiga da
alam. "Ah, ini pasti Haruki Aniki, bukan?" Pandangannya beralih menatap Izumi. Izumi
iwa," uj
i itu, umur kita hanya selisih setengah tahun. Aku Ryuzaki,
kakmu ke kamarnya, ya
aki-laki yang d
ukkan kamarmu di mana
ma siapkan makanan untukmu,
ya. Izumi mengikuti langkah Ryu menaiki tangga menuju kamar barunya. "Aku bisa membaw
aku saja," to
, Ryuzaki-kun," balas Izumi yang
lamat beristirahat,"
minasi warna biru. Tiba-tiba saja dia merindukan kamarnya yang di Amerika. Tempat baru ini terasa benar-benar asing baginya. Bahkan wajah penuh senyum dari wanita yang melahirkannya itu terlihat begitu asing di matan
nampan berisi makanan yang dibawanya di atas meja. Dia kemudian berjalan menghampiri Izumi yang masih tertidur. Dengan hati-hati agar tak membangunkan putranya, Tsubaki mendudukkan diri di samping Izumi. Iris lavendernya menelusuri setiap inci wajah Izumi yang terlelap. Semakin lama Tsubaki merasa putranya semakin mirip bahkan sangat mirip dengan orang itu. Keduan
di pipinya. Ditatapnya sosok yang ada di depannya dengan mata sete
un. Mama membawakanmu makanan, makanlah! Kau pasti lapar setelah menempuh penerbangan panjang." Sambil berkata begitu Tsu
apa.
menole
enapa tiba-tiba memintaku kembali lagi. Sebenarnya apa yang Anda inginkan?"
dulu, setelah itu b
tanyaanku!" Tanpa sadar nada suara Izumi menjad
plah di sini, di samping Mama." Izumi tak bereaksi sedikitpun sampai akhirnya Tsubaki melepaskan pelukannya. Sekilas iris obsidiannya melihat ada kristal bening yang membayang di kedua iris lavender milik ibunya. "Kapanpun kau siap, Mama akan menjelaskan semuanya dari awal. Aku tak berharap kau akan langsung memaafkan Mama, t
rih putranya. "Mereka memanggilku Izumi sek
ikitpun, pemuda itu masih tetap memasang wajah datarnya bahkan hingga dirinya menghilang di balik pintu. Tsubaki menutup pintu kamar Izumi dengan pelan. Dia menghela napas panjang bersamaa
" pang
rlu turun, nanti Mama antarkan ke atas. Tunggu sebentar ya." T
saja? Aku tadi s
balas Tsubaki memotong ucapan Ryu. Wanita itu t
nnya. Pemuda itu sadar dia tak bisa ikut campur dalam hubungan antara ibu dan anak tersebut. Biarkan saja keduanya menyelesaikannya de
k menerangi kamarnya. Langit Jepang pagi itu tampak begitu biru dan cerah. Dari balik jendela Izumi bisa melihat pohon sakura yang sedang bermekaran di
potongan ikan makarel panggang, serta salad sayur segar tiba-tiba mengundang selera makannya. Hari itu untuk pertama kalinya setelah sepuluh tahun, indra pengecap Izumi kembali merasakan masakan jepang. Terbiasa dengan masakan barat selama tinggal di Amerika membu
ejenak, bingung di mana arah dapur yang akan dituju untuk mengembalikan peralatan kotor itu. Habisnya rumah itu begitu luas dan tempat yang baru
maksud Mama, Izumi-kun! Kau tak perlu repot-repot membawanya turun. Harusnya kau tunggu saja Mama mengambilnya ke atas," ujar Tsubaki. Dia segera mengam
rdiam antara enggan atau bingung untuk
dengannya. Mama rasa Ryu-kun tak akan keberatan mengajakmu mengenal
elan tanpa melepaskan pandangan dari punggung putranya yang kini berjalan menjauhinya. Sepertinya ini akan menjadi sedikit sulit. Tapi aku tak ingin kehila