Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Dinikahi Pak Lurah

Dinikahi Pak Lurah

LitaSulteng

5.0
Komentar
172
Penayangan
10
Bab

Arumi si gadis desa yang melamar Pak Lurah di kantor desa dan mendapat penolakan tegas dari Mahendra, si kepala desa muda yang baru beberapa hari menjabat sebagai kepala desa. Tujuan Arumi hanya ingin terhindar dari perjodohan yang kedua orang tuanya lakukan dengan anak juragan kelapa sawit di desanya. Namun, sebuah tragedi saat Arumi hendak dinodai oleh Broto (anak dari juragan sawit) justru membuat Mahendra yang awalnya hendak menolong, tapi justru berakhir di ranjang bersama dengan Arumi yang terperdaya oleh obat perangsang. Apakah Mahendra akan bertanggung jawab? atau, justru menganggap semua ini hanya sebatas cinta satu malam?

Bab 1 Melamar Pak Lurah

"Pak Lurah, saya boleh minta bantuan?" tanya seorang gadis berjilbab maron.

Pakaiannya begitu lusuh, tapi tak mengurangi kecantikan gadis itu. Wajahnya putih pucat, tanpa polesan make up.

Lelaki yang dipanggil Pak Lurah itu sontak saja mendongak. Menatap kedatangan salah satu warganya di kantor desa.

"Ada keperluan apa, Mbak? Maaf, sebelumnya ini dengan Mbak siapa?" tanya Pak Lurah begitu sopan.

"Saya Arumi, Pak. Sekali lagi, Bapak bisa bantu saya?" Pertanyaan itu kembali dilontarkan oleh wanita yang bernama Arumi.

Sejak tadi pandangannya tak berhenti mengamati wajah lelaki yang bername tag Mahendra Abimanyu. Seorang lelaki muda yang baru dua minggu dilantik menjadi kepala desa.

"Mbak Arumi mau minta bantuan apa, toh? Bikin kartu keluarga? Mau ngurus surat lain atau bagaimana? Supaya bisa secepatnya dilayani." Mahendra bertanya secara spesifik, membuat Arumi langsung menggeleng pelan.

Gadis dengan paras ayu itu mengamit kedua tangannya. Wajahnya terlihat begitu gelisah dengan hiasan butiran keringat yang ada di dahinya.

"Kedua orang tua saya minta menantu, Pak. Sekiranya Bapak bisa menjadi menantu mereka? Dengan kata lain, menjadi suami saya ...,"

Uhuk ... uhuk ...

Mahendra tersedak ludahnya sendiri ketika mendengar penuturan dari salah satu warganya. Astaga ... mimpi apa lelaki itu semalam? Bisa-bisanya sekarang ini dia dilamar oleh seorang gadis? Tak tanggung-tanggung, Arumi melamarnya di kantor desa.

Beberapa rekan yang bekerja di kantor desa pun hanya bisa melongo ketika menyaksikan kejadian tersebut. Sebab, mereka saat ini sedang berada di dalam ruang kepala desa untuk membahas suatu agenda.

Namun, kedatangan Arumi Saputri yang mendadak ini menghentikan semuanya. Semua menatap lekat ke arah gadis ayu tersebut dan mengamati pakaian yang Arumi kenakan, dari atas hingga bawah.

"Maaf, Mbak. Jangan membawa masalah pribadi di sini. Mbak tahu, 'kan, kalau kami sedang bekerja?" Mahendra melempar pertanyaan itu dengan nada yang sedikit ketus.

Masih tak habis pikir dengan gadis yang bahkan baru pertama ini dia lihat bentukannya. Tak ada angin, tak ada hujan, lamaran pun didapatkan oleh Pak Lurah.

"Tapi, ini menyangkut masa depan saya dan Pak Lurah. Saya yakin, kita berdua berjodoh, Pak." Arumi masih ngeyel membuat kepala desa muda itu sontak saja berdiri.

"Lebih baik Mbak keluar dari ruangan saya. Pintunya ada di sebelah sana. Saya tidak ada waktu untuk membahas hal yang menurut saya tidak penting. Toh juga pernikahan itu bukan perkara mainan yang seenak jidat langsung terjadi ...,"

"Bapak menolak niat baik saya?" potong Arumi dengan cepat.

Suaranya bahkan hampir tercekat, tetapi masih bisa di dengar oleh semua orang yang ada di ruangan itu.

"Maksudnya apa, Mbak?" tanya balik Mahendra begitu tegas.

"Saya melamar Pak Lurah untuk mewujudkan keinginan kedua orang tua saya."

Semua orang kembali tersentak. Berani sekali Arumi mengatakan hal itu. Bahkan, banyak sekali warga yang menggandrungi ketampanan Mahendra, tapi tidak juga seperti ini.

"Alangkah baiknya seorang wanita menjaga harga dirinya. Bukan seperti Mbak Arumi yang justru menjatuhkan harga diri di depan banyak orang dengan melakukan hal ini. Maaf, bukannya saya kurang ajar. Namun, saya tidak bisa menerima lamaran Mbak. Saya masih ingin mengayomi masyarakat dengan baik dan masih menutup masalah percintaan yang sifatnya sangat pribadi."

Napas Arumi tercekat. Hatinya begitu nyeri ketika mendengar penolakan keras yang dilayangkan oleh Mahendra.

Jemari lentik itu mengusap sudut matanya yang berair. Membuat Mahendra sedikit merasa bersalah. Namun, mau bagaimana lagi? Lebih baik langsung mengatakan demikian, daripada memberi harapan palsu.

"Apa karena saya miskin, Pak? Tidak pernah pergi ke salon. Saya jelek? Saya tidak berpendidikan?" Suara lirih Arumi begitu menyayat hati.

Namun, siapa yang peduli? Hampir semua orang yang ada di ruangan itu sudah menatap jijik ke arahnya.

"Saya tidak mau banyak mengucapkan sesuatu yang sekiranya nanti justru membuat Mbak Arumi sakit hati. Lebih baik Mbak pulang, tenangkan diri di rumah."

Arumi mengangguk ketika Mahendra mengusirnya secara halus. Dia harus sadar diri dan harusnya juga tak nekat seperti ini.

"Saya pergi dulu, Pak Lurah. Assalamualaikum!"

"Waalaikumsalam!" Walau banyak yang jengkel, tapi mereka semua tetap menjawab salam dari Arumi.

Gadis berpaikaian lusuh itu berjalan gontai keluar dari ruangan kepala desa. Banyak tatapan mencemooh yang dilayangkan oleh para pekerja di kantor desa. Sebab, mereka tadi sempat melihat dan mendengarkan lamaran dari Arumi lantaran pintu ruangan kepala desa tidak ditutup.

"Rum, kamu kok nekat sekali, toh? Lebih baik macul di sawah bantuin Bapak sama Ibumu daripada bikin malu kayak gini!" ujar salah satu wanita paruh baya yang memang mengenal Arumi.

"Wanita itu hakikatnya diperjuangkan, bukan memperjuangkan. Ujung-ujungnya kamu dipermaluin, 'kan, yo?"

"Wes, isin aku, Rum. Sebagai perempuan mbok ya jaga martabat. Jangan kayak gini."

"Kamu sama Pak Lurah itu beda jauh. Pak Lurah dari kecil anak konglomerat. Sementara kamu ndak punya apa-apa. Pendidikan saja cuma lulusan SMA. Pak Lurah sudah S3 malahan."

Arumi terlanjur malu mendapat hinaan sedemikian rupa. Dia pun berlari keluar menjauhi area kantor desa.

Harusnya Arumi memang sadar diri, tidak gegabah seperti ini. Permintaan kedua orang tuanya untuk menerima pinangan dari anak juragan kelapa sawit membuatnya hilang akal.

Sejak dulu Arumi begitu mendambakan sosok Mahendra. Lelaki yang usianya beda delapan tahun dengannya. Mahendra 28 tahun, sedangkan dirinya masih 20 tahun.

"Dari dulu aku kagum sama Kang Mas Mahendra. Tapi aku hanya bisa mengagumi dalam diam dan dari kejauhan. Wajar kalau dia ndak tau namaku dan kenal aku yang hanya anaknya orang miskin ini."

Arumi berjalan gontai sembari memandangi sandal jepit lusuh yang kakinya kenakan. Berjalan melewati lorong berkerikil yang belum teraspal agar sampai di gubuk tempat tinggal keluarganya.

Rumahnya termasuk di pelosok. Apalagi, desa di sini lorong-lorongnya masih belum teraspal. Hanya jalan besar atau jalan utama menuju kota saja yang sudah beraspal.

"Jadi miskin itu susah, ya. Bukannya ndak bersyukur, tapi lebih ke miris saja. Apalagi sekarang ini hanya orang yang berduit yang begitu dijunjung tinggi."

Sejak tadi Arumi terus saja bergumam sembari berderai air mata. Penolakan Mahendra masih terngiang jelas di benaknya.

Beberapa kali dia menghela napas. Berusaha untuk kuat. Masih ada hari esok untuk berusaha kembali memenangkan hati Mahendra.

"Kamu darimana toh, Nduk?" tanya wanita paruh baya membuat Arumi mendongak.

Wanita itu adalah Misri, ibu dari Arumi. Ia begitu kaget mendapati anak gadisnya pulang ke gubuk dengan keadaan berlinang air mata.

"Loh, Nduk? Kenapa nangis begini?" Misri mengusap wajah putrinya.

Tak peduli jika tangannya masih kotor oleh tanah lantaran pekerjaannya di sawah. Hingga, membuat wajah Arumi sedikit belepotan.

"Ibu, aku ndak mau dijodohin sama anak juragan sawit!" keluh Arumi kembali menangis tersedu.

"Ndak bisa. Kamu tetap harus menikah dengannya karena suatu hal!" Sengit seseorang yang baru saja keluar dari gubuk.

"Sesuatu apa? Berikan Rumi alasan!"

Bersambung ....

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku