Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
WINGLESS ANGEL

WINGLESS ANGEL

Langit Jingga

4.3
Komentar
41.3K
Penayangan
73
Bab

Meninggalkan Akmal adalah keputusan final yang dipilih Helsa. Namun kepergiannya tidak sendiri, Helsa membawa sebagian dari laki-laki itu. Adryan Van Brawijaya. Seorang dokter residen di Mawar Medika yang sedang mengambil spesialis Hematologi dan Onkolagi di salah satu universitas ternama di Jakarta. Pernikahan dadakan yang dilaksanakan bersama Helsa tidak membawa perasaan curiga oleh keluarganya. Sampai pada suatu hari, sebuah rahasia besar terkuak dalam pernikahan mereka. Helsa tengah mengandung anak dari mantan kekasihnya. Pernikahan yang seharusnya diawali dengan kebahagiaan berubah penuh air mata. Helsa diderah perasaan bersalah dan juga kebencian dari Ibu mertuanya.

Bab 1 TUMBUH BERSAMA

"Ananda Adryan Van Brawijaya bin Franco Brawijaya, saya nikahkan dan saya kawinkan engkau dengan Helsa Septian binti Almarhum Yuda Andrean dengan Mas kawin berupa seperangkat alat sholat dan uang tunai sebesar uang satu milyar, dibayar tunai."

"Saya terima nikah dan kawinnya Helsa Septian binti Almarhum Yuda Andrean dengan Mas kawin yang tersebut dibayar tunai."

"Para saksi, sah?"

"Sah," jawab segenap saksi pernikahan disana.

Air mata gadis tujuh belas tahun yang baru saja resmi dipersunting itu jatuh membasahi pipinya. Pria itu menoleh padanya, karena akan mencium kening sebagai sunnah. Lalu dibalas dengan ciuman pada punggung tangan pria itu, oleh istrinya.

***

Gadis bersurai panjang itu bernama⸺Helsa Septian. Mata sayunya sembab karena terlalu banyak memuntahkan cairan bening. Keadaan tubuhnya melemah, wajahnya pun pucat. Helsa bahkan belum mengisi perutnya dengan makanan sejak semalaman.

"Kita ke rumah sakit aja, ya, Sayang. Mama takut kamu tipes," seru wanita berpakain formal itu.

"Nggak usah, Ma. Helsa cuma kurang istirahat, nanti juga baikan," sergahnya, lalu menghampiri wanita yang dipanggilnya Mama.

"Mama belum berangkat?" tanyanya.

"Bagaimana Mama bisa berangkat, jika keadaan kamu seperti ini?" Renata⸺wanita berusia kepala empat yang kini disibukkan oleh perusahaan peninggalan mendiang suaminya. Sejak pagi tak tenang karena keadaan putri semata wayangnya.

"Mama berangkat aja, klien Mama lebih penting sekarang," ujar Helsa memberi semangat untuk Renata

Renata tersenyum, mengusap surai hitam Helsa. "Kamu yakin?"

"Mama selalu lupa Helsa punya Mbak Ana," ujar Helsa dengan kekehan dibelakangnya.

"Ya udah. Tapi, Sayang, kalau kamu Masih kayak gini terus, Mama pulang."

Helsa mengangguk, wajahnya terlihat semakin pucat. Ia memeluk Renata penuh cinta kemudian mencium punggung tangan Mamanya.

"Mama berangkat, Sayang," pamit Renata dan keluar dari kamar putrinya. Sebelum benar-benar pergi, wanita paruh baya itu mencium singkat pipi anak gadisnya.

Helsa mengamati langkah Renata yang kian hilang dari pandangannya. Bahagia sekali bisa melihat Mamanya kembali tersenyum setelah kepergian Papanya beberapa bulan yang lalu. Walaupun Helsa tahu Renata Masih sering menangis sendiri.

Gadis yang kini duduk di bangku kelas dua belas SMA itu merupakan anak tunggal dari pengusaha sukses di bidang properti. Kesibukan orang tuanya membuat Helsa selalu sendiri. Hal itu yang menyebabkan gadis kelahiran tahun reforMasi ini mencari kebahagiaan diluar. Salah satunya bersama kekasihnya, Akmal Malik.

Oh, lebih tepatnya mantan kekasih.

Dua tahun berpacaran tidak menjamin kekasihnya itu setia. Awalnya memang seperti itu, namun seiring berjalannya waktu, sebuah kesalahpahaman membuat pemuda tersebut berpaling darinya. Video tak senonoh yang merekam kekasihnya tidur bersama gadis lain membuat kehidupan Helsa hancur. Dunianya runtuh dalam sekejap. Dan yang menyakitkan adalah saat ini, gadis tersebut sedang dalam keadaan hamil.

"Helsa boleh minta sesuatu?"

"Apa?"

"Bawa pergi Helsa sejauh mungkin."

"Maksud kamu?"

"Helsa mau lurusin amanah Papa. Helsa nggak bisa terusin semuanya bersama Akmal. Helsa mencintai Akmal, tapi rasanya sulit sekali untuk bisa terima dia kembali."

"Kamu serius dengan ucapan kamu?"

"Helsa akan temui Akmal kalau nanti semuanya sudah lebih tenang."

Air mata gadis itu meluruh, mengingat percakapannya satu minggu yang lalu bersama seorang pria yang selalu berada saat ia jatuh. Pria yang tidak pernah bosan menemani Helsa.

"Sa, lo nggak pernah keguguran," lirihnya.

Gadis itu terjatuh lemas pada karpet yang membentang di bawah kaki ranjang. Dia kembali menyadari bahwa janin itu tidak pernah hilang. Bagaimana bisa dia memberi kesempatan kepada dokter Adryan, sedangkan saat ini dia sedang mengandung anak dari mantan kekasihnya.

Kehamilannya sudah diketahui para sahabatnya, terMasuk kekasihnya. Dan kini, sudah satu minggu Helsa absen dari sekolah. Ia bingung harus mengadu pada siapa, sedangkan Renata belum mengetahui kehamilannya. Helsa terlalu takut untuk memberitahu kenyataan pahit ini kepada Mamanya. Helsa takut wanita itu sakit. Helsa tidak ingin kehilangan lagi. Sudah banyak perpisahan yang ia lalui.

***

Senja kini berganti malam. Rumah itu memang selalu terlihat sepi jauh sebelum kepergian Yuda Andrean⸺sang kepala keluarga. Makan malam sudah terjadi pada pukul 19.00 WIB. Sudah hampir 30 menit Renata berkutat dengan laptop di ruang kerja suaminya, yang kini diambil alih olehnya. Ya, sejak kematian Yuda beberapa bulan yang lalu, Renata, lah, yang mengganti posisi suaminya di perusahaan.

"Ma..."

Suara lembut itu menyapanya dari ambang pintu. Renata melepaskan kacamata, kemudian dengan pandangan teduh dan rentangan dua tangan itu memberi isyarat agar putrinya mendekat.

Gadis pemilik mata sayu itu kini sudah duduk bersimpuh dibawah kaki Mamanya. Helsa menangis dengan meloloskan kalimat maaf dari mulutnya. Melihat itu, Renata pikir saat ini Helsa tidak baik-baik saja. Tangan itu bergerak menangkup wajah yang sudah bersimbah air mata.

"Kenapa, Sayang?"

Kosong, begitu yang Renata lihat dari dua manik mata putrinya. Renata melihat pelupuk mata yang kian menghitam dan mata yang sembab.

Helsa memegang tangan wanita itu, mencium punggung tangan wanita yang selalu ia bangkang ucapannya. Sepertinya kata maaf tidak bisa membayar segalanya.

"Mama..., apa bahasa yang tepat untuk anak yang selalu melawan orang tuanya? Apa bahasa yang tepat untuk anak seperti Helsa, yang membawa aib di keluarga?"

"Helsa, Mama nggak ngerti apa yang kamu maksud," ujar Renata.

"Helsa mau berhenti sekolah," cicitnya tanpa mau membalas tatapan Renata.

Renata menyentuh dagu gadis itu. "Kenapa mau berhenti sekolah? Empat bulan lagi, Sayang," seru Renata.

"Empat bulan terlalu lama untuk menanggung beban ini, Ma. Helsa takut, Ma." Tangis itu semakin meradang, Helsa menatap penuh penyesalan kepada wanita itu.

Dengan segela keberaniannya, gadis itu menggenggam erat tangannya. "Helsa hamil, Ma."

Deg!

Untuk beberapa detik semuanya bergeming. Jantung Renata berdetak dua kali lebih cepat. Sama halnya dengan Renata, kini Helsa bukan hanya air mata yang membasahi wajahnya, tapi juga peluh dari dahi dan pelipis.

Setelah bergulat selama dua hari dengan pikirannya, malam ini Helsa memberanikan diri untuk mengakui kehamilannya pada Renata. Dan sekarang, pengakuan itu baru saja ia ucapkan pada sang Mama.

Perasaan kecewa dan kesedihan saling beradu pada wajah wanita paruh baya di depannya. Sekali lagi, Helsa mengumpulkan keberanian untuk memberikan alat test pack pada Renata. Runtuh pertahanannya, Renata membuang benda putih bergaris dua itu sejauh mungkin dan memeluk Helsa dengan tangisan hebat. Tangisan seorang Ibu yang sudah gagal menjadi orang tua.

Sejak kejadian Akmal membawa kabur putrinya hingga ke Labuan Bajo, sudah meyakinkan perasaan Renata bahwa putrinya akan mendapatkan Masalah yang besar. Dan sekarang, benar terjadi. Helsa mengandung anak dari pemuda yang tidak pernah Renata restui.

Luka akan kehilangan suaminya belum mengering, dan dengan tidak punya perasaan Helsa membuka perban itu tanpa memandang siapa yang dia sakiti.

"Kalau sudah seperti ini, kamu mau jadi apa Helsa?" Isak tangis terdengar dari dalam ruangan itu. Hati Renata hancur berkeping-keping.

Helsa adalah harapan satu-satunya Renata. Bagaimana bisa dia melepaskan putrinya keluar dari rumah ini? Renata hanya memiliki Helsa seorang.

***

"Banyak-banyak istirahat ya cantik. Minum air putih yang teratur. Jangan stres. Nggak usah mikir hal yang memperlambat kesehatannya. Biar cepat pulang. Nggak enak lama di rumah sakit," nasihat pria berjas putih pada pasiennya.

Sejak pagi, pasien di Mawar Medika begitu padat, mulai dari yang rawat jalan sampai yang rawat nginap. Tapi, dokter dengan marga Brawijaya ini tetap dengan tangan terbuka menangani semuanya.

Adryan Van Brawijaya⸺Seorang dokter umum yang bertugas di rumah sakit tersebut. Adryan juga disebut dokter residen karena sedang dalam pengambilan spesialis Hematologi dan Onkologi. Spesialis yang memfokuskan diri pada komponen darah dan permasalahannya. Adryan lulus di salah satu Universitas di Inggris dan melanjutkan sekolah spesialisnya di Indonesia.

Dan pasien yang baru di nasehatinya adalah seorang anak perempuan berusia dua belas tahun yang mengidap leukimia atau kanker darah. Namanya Denta. Gadis kecil itu menjadi pasien keduanya setelah bertugas. Pasien pertamanya adalah gadis berusia tujuh belas tahun yang memiliki riwayat anemia akut. Namanya Helsa⸺gadis SMA yang berhasil memporak-porandakan hatinya.

"Dokter udah punya istri?" tanya anak itu dengan tatapan yang sangat polos.

Adryan tersenyum simpul. "Belum. Kenapa memangnya?"

"Yahhh..., dokter lahirnya kecepatan," ujar Denta penuh penyesalan.

"Kenapa gitu?" imbuh ibunya, penasaran.

"Iya, dokter ganteng banget, pintar lagi. Kalau kita seumuran, Denta mau nikah sama dokter," celetuk Denta. Mata polos yang memandang Adryan terlihat sangat geMas.

Adryan dan ibunya tertawa, ada anak kecil yang pikirannya seperti ini. Dokter muda itu teringat akan Helsa. Gadis itu merupakan pasien pertamanya yang sangat berani padanya.

"Dokter ganteng, ngapain kesini? Bukannya pagi tadi udah kontrol?"

"Kamu panggil saya ganteng? Makasih. Kamu orang pertama loh."

"Dokter lihat Akmal nggak?"

"Pacar kamu itu? Kayaknya dari kemarin deh, dia nggak muncul disini."

"Kamu ngapain?"

"Helsa boleh pinjam handphone nggak?"

"Buat telepon pacar kamu? Saya nggak punya kontaknya? Kenal aja enggak."

"Nggak kenal, tapi pas Helsa nanya Akmal, dokter bilang pacarnya Helsa."

"Ganti ya, pulsa saya. Nggak gratis!"

"Iyain. Sini."

Adryan tersenyum mengingat awal pertemuan itu. Lucu sekali wajah pucat Helsa yang hampir tidak pernah senyum saat itu. Bergelayut dengan ingatannya, Adryan tidak menyadari bahwa ponselnya bergetar.

"Dokter, ponselnya bergetar," kata Denta memperingati.

Adryan terkesiap, segera mengambil benda pipih tersebut dari dalam saku jas. Dahinya mengerut saat mendapati siapa yang meneleponnya.

"Saya permisi, Bu."

"Denta, dokter permisi ya," pamit Adryan kepada mereka, lalu keluar dari kamar nginap itu.

"Halo...," sapa Adryan, setelah menekan tombol hijau pada layar ponselnya.

"Iya. Kebetulan pasien saya tersisa satu orang lagi, setelah itu saya temui ibu⸺Sampai jumpah."

Setelah memutuskan sambungan telepon, pria itu melanjutkan aktivitasnya untuk mengontrol satu pasien lagi. Namun, pikirannya melayang jauh, tumben sekali Renata ingin menemuinya. Apa mungkin Helsa sedang sakit?

***

"Adryan, sepertinya kamu tidak bisa melanjutkan amanah suami saya," ujar Renata dengan serius. Ada penyesalan yang tersorot dari matanya.

Mendengar perkataan Renata membuatnya terasa leMas. "Helsa berubah pikiran, Bu? Saya paham sekali, dia begitu mencintai kekasihnya."

Suasana ruangan milik Renata terasa canggung, udara sekitar mereka terasa panas walaupun ada dua Ac di ruangan tersebut. Pertemuan itu terjadi di perusahaan induk keluarga Helsa⸺Andrean Corp. Lebih tepat lagi milik Papanya.

Setelah menyelesaikan tugasnya hari ini, Adryan segera menemui Renata disini. Ia sendiri penasaran dengan apa yang mau dibicarakan wanita ini.

"Bukan. Ini tentang kondisinya saat ini," ujar Renata.

Renata menarik pelan nafasnya, lalu menghembuskan dengan sangat kasar. "Adryan, Helsa sedang mengandung janin milik Akmal."

DUARR!

Seperti bom yang meledak, Adryan menatap sendu wanita itu. Harapannya pada Helsa pupus. Baru saja gadis tersebut membuka jalan untuknya, tapi sekarang jalan itu seolah ditutup kembali. Adryan bingung harus menanggapi apa pada Masalah ini. Berat sekali mengatakan iya dan tidak. Apa mungkin Helsa memang ditakdirkan untuk Akmal?

"Berat sekali saya mengatakan hal ini kepada kamu," imbuh Renata.

Tersirat perasaan bersalah dari wajah wanita itu. "Maafkan kami. Mendinag Papa Helsa pasti memahami jika kamu menolak amanah darinya," ujar Renata kembali melumpuhkan harapan dokter tampan itu.

"Helsa akan berangkat ke Kanada setelah urusannya bersama Akmal selesai."

Adryan menyerngit. Tidak paham apa yang dimaksud Renata. "Maksud ibu?"

"Ma, Helsa udah putusin pisah sama Akmal. Tadinya Helsa mau lurusin amanah Papa, tapi keadaannya berubah, Ma. Nggak mungkin Mas Adryan mau nerima Helsa dalam keadaan seperti sekarang."

"Helsa memutuskan untuk tidak bersama Akmal, dia akan melanjutkan sekolahnya di Kanada. Saya nggak tahu apa yang terjadi pada mereka. Tapi, saya yakin ini keputusan tepat yang diambilnya."

Ingatan Renata kembali pada malam itu. Malam dimana, Helsa mengakui kehamilannya yang sedang berjalan lima bulan.

"Saya mau bertemu dia. Boleh, Bu?" tanya Adryan.

"Helsa di Villa milik Papanya di Puncak. Kamu bisa temui dia disana," jujur Renata.

"Saya akan share lokasinya," imbuh Renata mengakhiri percakapan mereka siang itu.

***

Hamparan kebun teh dan kabut yang menyelimuti daerah Puncak memanjakan mata sayu seorang perempuan kini berdiri pada balkon. Tak henti-hentinya Helsa memuja alam yang begitu indah dan juga memuja Villa milik Papanya.

Sudah dua malam Helsa menginap bersama Mbak Ana disini, dia tidak ingin diganggu siapapun. Setelah memberi pengakuan atas kehamilannya, Helsa tidak memberi peluang kepada siapapun untuk menemuinya. Kecuali Renata dan Mbak Ana. Dia bahkan memutuskan kontak bersama teman-temannya, termasuk dokter Adryan.

Kata Helsa, pria itu pantas mendapatkan perempuan yang lebih baik. Helsa sudah menutup rapat harapannya kepada dokter Adryan. Dia bertekad untuk membesarkan anak itu seorang diri, tanpa melibatkan Akmal sekalipun.

"Kamu mau ninggalin Mas?"

Tubuhnya menegang tatkala suara pria yang sangat dikenalnya masuk pada indera pendengaran. Derap langkah kaki itu semakin dekat. Dengan cepat Helsa membalikkan tubuhnya. Benar saja, Adryan menghampirinya dengan tatapan sendu.

"Tau dari mana Helsa disini?" Ia langsung menodong dengan pertanyaan itu.

"Kalau jodoh nggak bakal kemana," sarkas Adryan.

Pria itu sudah berdiri di sampingnya. Sama seperti Helsa, Adryan dibuat takjub dengan pemandangan di depannya.

"Papa kamu pandai memilih lokasi untuk Villa," puji Adryan. Lalu ia menoleh pada Helsa, memandang wajah gadis itu. "Sama seperti kamu. Papa kamu tidak salah memberi amanah untuk saya."

"Mas, kita udah nggak bisa ketemu lagi. Helsa mau Mas pergi dari sini," pinta perempuan bersurai panjang itu.

Adryan menatapnya dari samping sekali lagi. "Mas udah tahu semuanya, Helsa."

"Ya udah, mau ngapain lagi temuin Helsa. Nggak ada gunanya lagi," ketus Helsa dengan nada suara yang sudah naik satu oktaf.

Pria itu menghampirinya, menggenggam erat kedua jemari gadis itu. "Kalau kemarin-kemarin kamu yang minta sama Mas, boleh 'kan hari ini Mas minta sesuatu dari kamu?"

"Apa?" Helsa menatapnya culas.

"Kita tumbuh bareng, ya?"

"Mas, Helsa, dan dia," lanjut Adryan sembari mengusap perut Helsa dari luar.

"Izinkan Mas jadi imam buat Helsa, dan Ayah untuk dia."

Helsa tertegun, beberapa saat kemudian ia menghempaskan tangan Adryan. "Nggak!" tolak Helsa, "Masih banyak wanita diluar sana, yang lebih baik dari Helsa."

"Helsa nggak butuh dikasihani. Helsa bisa sendiri."

Gadis itu melempar tatapannya ke arah yang berbeda. Matanya digenangi cairan bening yang sialnya sudah meluruh tanpa persetujuannya.

"Helsa, lihat Mas!" Adryan menangkup wajah wanita itu. Lalu mengambil jarak lebih dekat. "Kamu pilihan Mas. Ini bukan soal rasa kasihan, Mas tulus sama kamu. Sejak awal, sejak Mas melihat kamu di rumah sakit, Mas sudah menyatakan perasaan pada kamu."

"Nggak bisa!" Lagi-lagi Helsa menjauhkan tangan Adryan.

"Apa yang nggak bisa? Karena dia bukan milik Mas?" tanya Adryan.

Helsa sudah menangis dibuat pria itu. Adryan terlalu memaksakan perasaannya. Helsa yakin itu hanya perasaan kasihan kepada perempuan hamil seperti dia.

"Helsa, kita mulai semuanya dari awal. Tinggalkan semua yang sudah berlalu," titah Adryan.

Perkataan Adryan langsung di hadiah tatapan tidak suka dari Helsa. "Mas, hubungan ini bukan hanya Mas dan Helsa, tapi juga menyatukan dua keluarga yang berbeda. Apa mungkin bisa keluarga Mas Adryan terima Helsa dengan kondisi seperti sekarang?"

"Percayakan semuanya sama Mas," tutur Adryan mencoba untuk meyakinkan Helsa.

Jawaban itu membuatnya frustasi. Adryan bersikeras dengan keputusannya yang sangat bahaya. Apa yang akan ia katakana kepada keluarganya tentang kehamilan Helsa? Mungkinkah dia berbohong?

"Please, marry me."

Helsa membekap mulutnya saat sebuah cincin berlian seberat satu karat berada di hadapannya. Pria itu tidak main-main dengan ucapannya. Dan saat ini ia melamarnya.

"Sa, Mas mau hidup selamanya sama kamu. Tolong kasih kesempatan yang sama seperti minggu kemarin." Adryan tertunduk dengan cincin yang masih di depan Helsa.

"Mas...," Helsa mengangguk lirih, Adryan tahu Helsa Masih terlihat ragu.

"Seriously?" tanya Adryan memastikan.

"Iya, Helsa mau menikah dengan Mas Adryan."

Mendengar jawaban tulus Helsa, Adryan segera melingkarkan cincin itu pada jari manis wanita yang sudah resmi menjadi calon istrinya. Ada setitik air mata yang jatuh dari mata coklat pria itu.

"I love you," ucap Adryan.

Adryan menautkan keningnya pada kening Helsa, menyalurkan segala rasa bahagianya kepada wanita itu, mendekap kembali Helsa dalam pelukannya. Perasaan kecewa yang sempat melandanya kemarin sudah dinetralisir oleh kebahagiaan hari ini.

Lanjutkan Membaca

Buku lain oleh Langit Jingga

Selebihnya

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku