Dennis dan Sherina yang telah menikah selama dua tahun mengalami duka mendalam saat kehilangan calon buah hatinya untuk yang ketiga kalinya. Janin dalam kandungan Sherina meninggal di usia tujuh bulan, hal itulah yang membuat Dennis begitu marah dan kecewa pada istrinya. Dennis mencari pelampiasan dengan mendatangi sebuah club di malam. Semula ia hanya ingin minum alkohol di sana, namun tiba-tiba Dennis dihampiri oleh seorang wanita muda nan cantik bernama Tamara. Pertemuan itu pada akhirnya membuat Dennis dan Tamara menjalin sebuah hubungan terlarang. Apa yang terjadi ketika Sherina mengetahui perselingkuhan Dennis dan Tamara? Apakah Sherina akan memilih bercerai dari suaminya atau mempertahankan perniakahan tersebut?
"Bu Sherina sudah boleh dibawa pulang," ucap Dokter pada Dennis, suami dari wanita yang sedang terbaring di salah satu ranjang rumah sakit.
"Terima kasih, Dok," balas Dennis.
Setelah menyelesaikan urusan administrasi di rumah sakit itu, Dennis pun membawa Sherina pulang. Sepanjang perjalanan, keduanya tak saling bicara. Sherina menatap nanar ke luar kaca mobil. Tatapannya kosong, sama seperti suasana hatinya kala itu. Sementara hati Dennis justru sedang dipenuhi amarah. Mereka baru saja kehilangan calon buah hati mereka yang sudah berusia tujuh bulan di kandungan Sherina.
"Ini sudah yang ke tiga kalinya, Sherina," ucap Dennis dingin saat mobil itu sudah berhenti di depan sebuah rumah bernuansa modern.
Ucapan Dennis berhasil membuat kepala Sherina berputar sembilan pulang derajat, menatap pada suaminya itu. "Kamu menyalahkan aku, Mas?" lirih Sherina.
Dennis tampak menghela napas sebelum turut menghadapkan wajah pada istrinya itu. "Lantas menurutmu siapa yang harus disalahkan? Apa harus aku?" balas Dennis, suaranya tertahan karena pada saat itu ia masih tampak berusaha menahan emosinya. "Dari awal aku sudah mengingatkan kamu, Sherin ... Berhenti dari pekerjaan itu! Jangan berkeja dulu sampai melahirkan! Tapi kamu keras kepala dan lihat hasilnya, kita kembali harus kehilangan calon bayi kita, untuk yang ke tiga kalinya." Setiap kalimat Dennis ia ucapkan dengan penuh penekanan.
Bagai ditimpuk benda yang keras, Sherina merasa terhenyak. Ucapan suaminya itu justru terasa kian mengoyak luka di hati Sherina, padahal di situasi seperti itu, ia begitu butuh dukungan suaminya. "Apa kamu pikir aku juga menginginkan hal ini, Mas?" Suara Sherina terdengar bergetar seiring sepasang matanya yang tampak mulai memancarkan mata air.
"Kamu tidak menjaganya dengan baik, itu artinya kamu memang menginginkan anak itu mati--"
Plaakkk...
Sherina tak dapat menahan diri untuk tidak malayangkan tangan di pipi suaminya itu. Baginya ucapan Dennis sudah keterlaluan. Ibu mana yang ingin membunuh anaknya sendiri?
Merasakan tamparan sang istri, wajah Dennis semakin merah, ia tampak semakin murka. Laki-laki itu juga mulai mengangkat telapak tangannya, tapi sebelum telapak tangan itu tiba di pipi Sherina, pandangan Dennis lebih dahulu beralih pada seorang wanita paruh baya yang ke luar dari rumah itu, menyambut kedatangan mereka. Dennis pun terpaksa menurunkan tangannya kembali lantas turun dari mobil itu bersama Sherina.
Bu Tari, ibunya Sherina, tersenyum tipis menyambut kedatangan anak dan menantunya itu. Bu Tari juga langsung memberikan sebuah pelukan hangat pada Sherina. "Yang sabar, Insya Allah nanti akan Allah ganti dengan yang lebih baik," bisik Bu Tari.
Mendengar ucapan sang mertua, Dennis langsung mendengus. Menurutnya ini bukanlah tentang Tuhan yang tidak mau memberinya keturunan, tapi mereka yang tak bisa menjaga pemberian Tuhan itu dengan baik. Dua tahun menikah, Dennis sudah berhasil tiga kali menghidupkan benih di rahim sang istri, hanya saja Sherina yang tak berhasil menjaga benih itu hingga benar-benar terlahir ke dunia. Dennis berlalu melewati mertuanya begitu saja.
"Apa semua ini salah aku, Bu?" lirih Sherina dengan air mata yang menggenang di pelupuknya.
"Bukan salah kamu, Sayang. Ini bukan salah siapa-siapa. Ini adalah kehendak dari Allah," balas Bu Tari. "Sekarang kamu istirahat, tenangkan diri kamu, ikhlas, jalani lagi hidup seperti biasanya, dan kembali mencoba berikhtiar."
Sherina menghela napas dalam-dalam. Ikhlas. Ya, satu kata itu terlalu mudah diucapkan, tapi begitu sulit saat dilaksanakan.
"Ibu pulang dulu. Besok Ibu akan datang lagi. Pokoknya kalau ada apa-apa, kamu kabari Ibu saja, ya," ucap Bu Tari.
Sherina menganggukkan kepalanya. Setelah sang Ibu meninggalkan kediamannya, barulah Sherina masuk ke dalam kamar.
"Mas! Kenapa dirusak, Mas?!" Sherina terkejut saat melihat Dennis merusak tempat tidur bayi yang baru mereka pasang satu minggu yang lalu.
"Ini semua ... sudah tidak ada gunanya!" ucap Dennis.
"Jangan, Mas! Baby Arsen pasti akan sedih kalau melihat Mas merusak tempat tidur ini!" Sherina menarik lengan suaminya itu.
"Baby Arsen?" Kepala Dennis memutar menghadap Sherina. "Kamu tahu apa yang paling menyedihkan bagi saya? Yaitu saat saya mencarikan sebuah nama bagus untuk anak saya sendiri dan ternyata nama itu hanya untuk di tulis di batu nisannya. Dan apa menurutmu Baby Arsen akan sedih melihat saya merusak tempat tidurnya ini? Dia akan jauh lebih sedih karena kamu tidak memberi kesempatan bagi dia untuk tidur di sini!" Suara Dennis makin tinggi, membuat dada Sherina kian terasa sesak.
Kepala Sherina tertunduk sempurna pada petak-petak ubin di bawah pijakan kakinya. "Jika aku boleh memilih, mungkin aku lebih memilih biar aku saja yang mati, Mas! Agar Baby Arsen bisa merasakan tidur di atas tempat tidur itu...," tangis Sherina.
Dennis menganggukkan kepala sendiri. "Ya. Bahkan jika saya diberi kesempatan untuk memilih, saya juga akan memilih hal yang sama. Memang lebih kamu saja yang mati!" tandas Dennis. Setelah mengatakan itu, Dennis ke luar dari kamar dengan membanting pintu. Sementara Sherina kembali terisak seorang diri di dalam kamar itu.
***
"Tambah satu botol lagi!" pinta Dennis pada Bartender sebuah club malam.
"Maaf, Tuan ... tapi Tuan sudah minum banyak sekali malam ini," ucap Bartender perempuan di hadapannya.
"Apa maksudmu? Apa kau pikir aku tidak bisa membayarnya? Seluruh tempat ini beserta isinya bahkan beserta dirimu sekalipun masih mampu untuk kubayar!" maki Dennis sambil berusaha membelalakkan matanya, supaya masih kelihatan sangar meski matanya sudah sayu.
"Baik, Tuan." Akhirnya Bartender itu mengalah dan menuruti kemauan Dennis. Dennis bukanlah pengunjung tetap di club itu, bahkan si Bartender tadi baru melihat wajah Dennis satu kali di sana. Bartender itu dapat menyimpulkan, barangkali pria di hadapannya itu sedang banyak masalah, sehingga butuh banyak alkohol untuk menjernihkan pikirannya, meski hal itu hanya ampuh beberapa waktu saja.
"Aaahh.." Dennis menenggak segelas minuman beramora pekat itu lagi. Ia berharap bisa melupakan kematian bayinya itu, tapi rasa kehilangan itu justru terasa kian menggerogotinya. Saat Dennis tengah sibuk memukuli kepalanya sendiri, seorang perempuan mengenakan pakaian hitam serba minum dengan riasan wajah mencolok datang menghampirinya.
"Boleh minta rokokmu, Tuan?" ujar wanita itu.
Dennis mendelik pada sosok itu. "Aku tak punya rokok," sahut Dennis sambil mengibaskan tangannya, meminta agar wanita itu segera menjauhinya.
"Ah, masa sih kau tidak punya rokok. Coba diperiksa dulu," ucap wanita itu lagi.
"Sudah kubilang aku tidak punya rokok. Aku juga tidak merokok. Kenapa kau ngotot sekali?" bentak Dennis.
"Tapi aku yakin kau punya rokok, Tuan." Wanita itu serta merta meletakkan jari-jarinya di antara paha Dennis. Terang saja hal itu membuat Dennis jadi terperanjat karena merasakan sentuhan di area sensitifnya. Beberapa detik berselang, Dennis langsung menepis tangan wanita itu. "Dasar, Jalang!" umpatnya.
Alih-alih marah, wanita itu justru terkekeh mendengar umpatan Dennis. "Sepertinya kau tidak suka tempat yang ramai dan berisik seperti ini, ya? Hmm, baiklah, aku punya banyak pilihan tempat yang sepi dan sunyi, Tuan. Kau tidak akan mendengar apa-apa selain suaramu sendiri." Wanita itu menarik lengan Dennis dengan lembut, membawa laki-laki itu pada sebuah kamar khusus di club tersebut.
Buku lain oleh Twine Twin
Selebihnya