Kehidupan yang pahit, membuat Lavanya memilih menjadi seorang Pemandu Lagu di sebuah karaoke. Pria-pria silih berganti datang dan pergi dalam kehidupannya. Hingga takdir mempertemukannya dengan seorang pria yang mau menerima semua masa lalu kelam Lavanya. Bersama Yudistira, Lavanya mengenal artinya cinta sejati. Dengan Yudistira pula, Lavanya belajar untuk setia dan menjaga kehormatan. Namun, sebuah kenyataan membuat Lavanya tersadar, cinta saja tidaklah sanggup memenuhi semua kebutuhan hidup. Demi membantu Yudistira, Lavanya menggadaikan semua rasa cintanya. Mengumbar senyum dan rayuan, itulah yang dilakukan Lavanya pada setiap pria yang mendekati. Hingga akhirnya Yudistira memergoki istrinya bermesraan dengan pria lain. Akankah pernikahan Lavanya tetap bertahan, walau sudah diterpa badai besar? Apakah Yudistira masih mau menerima Lavanya dan melupakan semua kesalahannya? Adakah cinta yang tersisa untuk Lavanya? Ataukah dia harus kembali hidup sendirian dan menebus semua kesalahannya?
"Van, tolong bantu Ibu dulu sebentar!" Lenny berteriak dari dapur memanggil putrinya yang entah berada di mana.
"Tunggu bentar Bu!" Lavanya balas berteriak menjawab panggilan Lenny. Dia sedang menyapu halaman, dan sebentar lagi selesai.
Tidak lama kemudian, Lavanya bergegas masuk untuk menemui Lenny. "Ada apa Bu?"
Lenny yang sedang memasak di tungku, menoleh saat mendengar suara Lavanya. Dia berdiri dan mengeluarkan uang dari saku celana. "Tolong kamu ke tokonya Koh Liong, beli garam, gula, dan beras. Ini uangnya." Lenny mengangsurkan selembar uang seratus ribu pada Lavanya.
Lavanya mengernyit saat melihat uang di tangan Lenny. "Ibu punya uang? Dapet dari mana?"
"Kemarin kan Ibu bantuin Teh Ranti masak buat acara sunatan anaknya, makanya bisa punya uang. Udah, mending kamu pergi sekarang, biar Ibu bisa masak nasi buat kita makan siang."
Lavanya mengambil uang dari tangan Lenny dan meninggalkan ibunya yang sudah kembali berjongkok di depan tungku. Dia meninggalkan rumah dan pergi ke toko kelontong untuk membeli pesanan Lenny.
Lavanya berjalan dengan kepala tertunduk, sesekali kakinya menendang kerikil yang ada di depannya, sehingga tidak melihat seorang pemuda berjalan dari arah depan.
"Hai Van, mau ke mana?"
Lavanya mengangkat kepala untuk melihat siap yang sudah menyapanya. "Eh kamu Gas," sahut Lavanya sambil tersenyum sopan. "Ada apa?" lanjut Lavanya yang tidak mendengar pertanyaan Bagas tadi.
"Duileh, si Neng, masa nggak denger sih Aa ngomong." Tangan Bagas terulur hendak menjawil dagu Lavanya.
Dengan cepat, Lavanya menepis tangan Bagas. "Nanya mah tinggal nanya, tangannya nggak usah lah ikutan."
Bagas terkekeh senang mendengar ucapan ketus Lavanya yang terdengar sangat merdu di telinganya. "Si Neng meuni somse banget ih, Aa jadi makin gemes pengen nyubit."
Lavanya mundur selangkah untuk menghindari tangan Bagas yang kembali terulur hendak menyentuh wajahnya.
Lavanya mendelik gusar pada Bagas. "Kamu teh mau ngomong apa? Cepetan, saya lagi disuruh ibu belanja."
"Mau belanja ke mana? Biar Aa anter ya, mau?" rayu Bagas yang masih ingin bersama Lavanya.
"Nggak usah, makasih, saya bisa pergi sendiri. Cuma tinggal jalan aja kok, kecuali kalo kamu pake motor, itu beda urusannya." Lavanya mengibaskan rambut dan meninggalkan Bagas yang masih tersenyum menyebalkan. ("Dasar playboy tengil.") Lavanya menggerutu sebal dalam hati melihat kelakuan Bagas.
Melihat Lavanya pergi, Bagas memutuskan untuk mengikuti gadis itu dari belakang. Dia sangat ingin bisa dekat dengan Lavanya, bahkan berharap dapat menikahi gadis cantik itu. Wajah blasteran Lavanya, dan juga tubuh moleknya, terkadang membuat dia sering memikirkan yang tidak-tidak. Tidak dapat dipungkiri, banyak pemuda, dan laki-laki yang berlomba untuk mendapatkan hati Lavanya.
Bahkan, ada pria beristri yang juga mencoba untuk mendapatkan Lavanya dengan iming-iming materi. Namun, sampai saat belum ada satupun yang berhasil menaklukkan hati Lavanya. Gadis itu selalu jual mahal dan tidak tergiur dengan semua hal yang ditawarkan, walaupun sebenarnya keadaan Lavanya serba kekurangan.
Lavanya tiba di toko kelontong milik Liong dan berdiri di depan meja panjang. "Koh Liong, mau belanja dong."
"Eh ada si Lavanya, mau beli apa?' ujar Liong yang baru melihat kehadiran Lavanya.
"Mau beli garam, gula, sama beras Koh, ini uangnya." Lavannya meletakkan uang yang dibawa ke atas meja.
Bagas yang melihat hal itu, bergegas mendekat sambil mengeluarkan dompet dari saku belakang celananya. "Koh, pake duit saya aja." Bagas meletakkan uang di atas meja. Dia mengambil uang Lavanya dan menyerahkan uang di tangannya pada Lavanya. "Kamu ada mau beli apa lagi Van? Tinggal minta aja sama Koh Liong, biar nanti Aa yang bayarin semua."
"Nggak usah Gas, kan saya bawa uang sendiri." Lavanya menolak kebaikan hati pria itu karena tidak ingin berhutang budi.
Lavanya tidak bodoh, dia tahu apa yang diinginkan para lelaki yang mencoba mendekati dirinya, termasuk Bagas. Selama ini, sebisa mungkin, dia selalu menolak pemberian mereka, supaya nantinya tidak akan jadi masalah, kecuali memang tidak ada jalan lain. Itupun dia menegaskan terlebih dahulu bahwa semua itu adalah murni pemberian, dan tidak akan ada embel-embel di belakang.
"Udah, nggak usah sungkan, Aa tulus kok mau jajanin kamu. Mending uangnya kamu kasih ke ibu, buat keperluan yang lain." Bagas mengambil tangan Lavanya dan memaksa gadis itu untuk menerima uang dari tangannya.
"Ih, saya serius Gas, nggak usah." Lavanya berkeras menolak pemberian Bagas dan berusaha mengembalikan uang di tangannya pada pria itu.
Kesal dengan penolakan Lavanya, Bagas mamandang Liong yang sejak tadi memperhatikan sambil tersenyum lebar. "Koh, itu barang-barang yang dibeli Lavanya, dibikin jadi masing-masing dua, terus sekalian kasih mie satu dus, minyak, dan barang buat di dapur. Semua biar saya yang bayar."
"Oke, nggak masalah." Liong tentu saja tidak menolak rejeki yang datang. Hampir setiap Lavanya belanja ke sini, ada saja laki-laki yang akan membayari semua yang dibeli gadis itu, bahkan terkadang ada yang dengan sengaja memesan barang dan minta diantar ke rumah Lavanya. Dan itu semua membuat tokonya menjadi semakin untung.
"Atuh gimana saya mau bawa semuanya?" Lavanya menunjuk semua barang yang diberikan Bagas padanya.
"Kamu tenang aja, ntar Aa cariin becak buat kamu, biar kamu nggak perlu repot dan kepanasan."
"Ini semua beneran gratis kan? Nggak ada udang di balik batu kan? Kamu nggak akan minta ganti kan?"
"Ya nggaklah, Aa teh ngasihnya tulus buat kamu sama ibu kamu."
Lavanya menatap seksama kedua bola mata Bagas. "Ya udah atuh, tapi saya pulangnya sendiri kan? Kamu nggak akan ikut naik di becak kan?"
"Iya, Aa nggak akan ikut."
Lavanya pulang ke rumah dengan senyum lebar menghiasi wajahnya. Untuk beberapa waktu ke depan, dia dan ibunya tidak perlu pusing memikirkan kebutuhan dapur, karena sekarang ada barang-barang pemberian Bagas.
"Loh Van, kenapa jadi belanjanya banyak begini? Uangnya kamu habisin semua?" Lenny terkejut saat melihat barang-barang yang ada di dalam becak.
"Ibu ada-ada aja deh." Lavanya terkekeh mendengar perkataan Lenny. "Uang yang Ibu kasih mana cukup buat beli ini semua?"
"Terus dari mana?" Lenny menatap putri semata wayangnya dengan seksama, dan tersadar akan sesuatu. "Jangan bilang ada yang beliin semuanya."
"Iya Bu, emang dibeliin kok," sahut Lavanya enteng. "Tadi tuh nggak sengaja ketemu sama Bagas, terus dia ngikutin sampe ke tempat Koh Liong, dan ini hasilnya, tapi beneran aku nggak minta dia beliin Bu."
"Kamu ini." Lenny menggeleng tidak percaya mendengar penjelasan putrinya. "Kalo nanti dia minta macem-macem sama kamu gimana?"
"Nggak akan atuh Bu, kan bukan aku yang minta."
Lenny mengembuskan napas mendengar jawaban Lavanya. Dia sudah mendengar selentingan kalau banyak pria, tua dan muda sedang berlomba untuk memiliki putrinya, seperti yang dulu terjadi padanya. Namun, sampai saat ini semua masih aman dan sepertinya Lavanya tidak berniat meladeni keinginan mereka.
Lenny hanya bisa berdoa supaya putrinya tidak salah langkah seperti dirinya dan bisa mendapatkan seorang pendamping yang mencintai Lavanya dengan tulus, bukan karena paras cantik yang dimiliki putrinya.
***
"Van, di depan ada Pak Amin, katanya mau ketemu sama kamu."
"Pak Amin? Mau ngapain Bu?" tanya Lavanya pada Lenny yang berdiri di depan ruangan yang menjadi kamarnya.
"Mana Ibu tau," sahut Lenny sedikit gusar. "Dia kekeuh mau ketemu sama kamu, padahal udah Ibu bilang kamu tidur."
"Dasar manusia aneh, mau ngapain sih?!" Lavanya gusar mendengar perkataan Lenny tentang Amin, pria berusia sekitar empat puluhan yang sedang mengejar dirinya.
"Kamu mau nemuin nggak?"
"Emang ada pilihan lain Bu?" Lavanya balas bertanya pada Lenny. "Kalo aku nggak keluar, dia pasti bakal tetep duduk di depan kan? Yang ada ntar kita malah diomongin sama orang."
"Ibu juga tau, tapi masalahnya, Pak Amin itu kan belum lama cerai sama istrinya. Nanti apa kata orang kalo ngeliat kamu ngobrol sama dia? Belum lagi kalo mantan istrinya denger, mau jadi apa coba?"
"Kalo sama istrinya sih aku nggak takut Bu, kan aku nggak ada gangguin Pak Amin, lagian kan ada buktinya kalo dia yang ke sini, bukan aku yang sengaja mau nemuin." Lavanya bangkit dari dipan kayu dan berjalan ke cermin kotak dekat jendela. Dia mematut sebentar, setelah itu keluar dari kamar untuk menemui Amin.
"Kamu yakin Van mau nemuin Pak Amin?"
Lenny menahan tangan putrinya. Ada rasa khawatir di hatinya melihat Lavanya tetap ingin menemui Amin.
"Iya Bu, aku sekalian mau nyuruh dia pulang."
"Tapi kamu nggak bakal mau kan kalo diajak aneh-aneh sama dia?"
"Aneh-aneh gimana Bu?"
"Ya, siapa tau kalo dia mau minta kamu jadi simpenan atau ngajak kamu pergi nginep gitu, kayak yang pernah dilakuin Pak Bambang dulu."
"Ih, sudi banget Bu," sahut Lavanya ketus. "Orang udah tua kayak gitu, masa iya aku mau Bu. Kalo masih muda, kaya, cakep, kayak Aa Rinto, mungkin aku masih mau. Lah ini, apa yang bisa dibangaain Bu, selain dia orang kaya."
Mau tidak mau Lenny tertawa mendengar perkataan Lavanya. "Ya udah, sana kamu temuin Pak Amin, tapi kalo bisa jangan lama-lama, nggak enak kalo diliat tetangga."
Lavanya meninggalkan Lenny yang masih berdiri di depan kamarnya, menuju ke teras, di mana Amin sudah menunggu sejak tadi. "Bapak mau apa ke sini?!"
"Eh, akhirnya keluar juga." Wajah Amin berseri-seri saat melihat Lavanya datang.
"Ih, ditanya apa, jawabnya apa." Lavanya menggerutu kesal dengan ucapan Amin yang tidak sesuai dengan pertanyaannya barusan. "Bapak mau apa ke sini? Ini tuh udah malem, nggak enak kalo diliat sama tetangga." Lavanya memutuskan untuk tetap berdiri sedikit jauh dari Amin, karena tidak nyaman dengan tatapan pria itu yang seperti hendak menelannya hidup-hidup.
"Kan kamunya yang lama di dalem, nggak keluar-keluar." Amin menyalahkan keterlambatan Lavanya menemui dirinya yang sudah menunggu cukup lama di teras. "Lagian, kenapa kamu nggak nyuruh saya masuk aja? Kan bakal lebih enak kalo ngomongnya di dalem." Amin mencoba mencari kesempatan untuk dapat berduaan dengan Lavanya.
"Ih, siapa juga yang mau ngobrol sama Bapak." Lavanya melipat kedua tangannya di depan dada, karena sejak tadi Amin menatap ke bagian depan tubuhnya. "Enakan juga tidur daripada di sini, mana banyak nyamuk segala. Bapak mending pulang aja gih, saya lagi males ngobrol."
"Terus kapan dong kamu mau ngobrol sama saya?" tanya Amin dengan nada manja.
"Kapan-kapan Pak, nunggu bulan ada tiga belas dulu."
"Yah ..., itu sih nggak akan mungkin atuh Van." Amin kecewa mendengar jawaban ketus Lavanya.
"Ya lagian maksa. Kan dari kemarin saya udah bilang, Bapak nggak usah ke sini terus. Siapa suruh nggak mau denger."
"Ih kamu kalo lagi galak makin geulis deh, saya tambah jatuh cinta sama kamu." Amin mencoba merayu Lavanya dan berharap ada tanggapan dari gadis itu.
"Duh maaf Pak, saya nggak punya uang receh, mending Bapak godain yang lain aja deh." Lama-lama, Lavanya hilang sabar menghadapi manusia bebal macam Amin yang tidak juga mau pergi, walaupun sudah diusir olehnya. "Bapak teh sebenernya mau apa sih? Kok nggak malu sih dateng ke sini terus, padahal udah diusir sama saya?!"
Amin menyeringai lebar mendengar ucapan Lavanya. Dia tidak akan berhenti datang sebelum berhasil memiliki tubuh molek Lavanya yang sangat menggiurkan. "Yang saya mau cuma satu Van, saya mau kamu jadi milik saya, biar cuma semalem gapapa, yang penting saya udah bisa ngerasain kamu. Kamu boleh kok minta apa aja sama saya, pasti saya kasih. Kalo perlu, saya kasih kamu rumah, yang penting jadi milik saya. Kamu mau kan?"
"Dasar gila!" umpat Lavanya gusar karena perkataan Amin.
"Loh kenapa? Bukannya itu tawaran yang sangat menarik? Kamu nggak perlu pusing lagi mikirin hidup, tinggal duduk tenang di rumah, punya segalanya, dan yang terpenting, hanya perlu melayani saya."
"Maaf, saya nggak mau dan nggak sudi! Masih banyak laki-laki yang lebih baik dari kamu dan juga lebih muda dari kamu, dan yang pasti bukan duda!"
Amin menatap penuh amarah pada Lavanya. Kata-kata gadis itu membuatnya merasa terhina. "Awas aja, saya pasti akan balas semua omongan kamu. Dan saya berdoa, semoga kamu dapetin laki-laki yang lebih tua dari saya, dengan status duda juga!"
Buku lain oleh Grace Wang
Selebihnya