Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
5.0
Komentar
45
Penayangan
10
Bab

Dialogue yang salah akan menghadirkan banyak masalah. Dialogue yang cacat membawa kita pada kondisi sesat. Dialogue yang mencla mencle juga mampu menghadirkan Dia, Lo, Gue. Tidak ada benar dan salah, terkadang hanya karena beda bahasa. Bisakah Dia-Lo-Gue diselesaikan dengan DIALOGUE? Kisah cinta antara Arga, Binar, dan Arya. Di sisi lain, ada Arga, Melia, dan Levy. Dua segitiga cinta yang menarik untuk diikuti.

Bab 1 Arga Jatuh Cinta

Hadirmu adalah sebuah kenyataan

Mengenalmu mungkin ketidaksengajaan

Mencintaimu bukanlah keharusan

Memilikimu hanya sebatas angan

Bukan salah Tuhan karena menciptamu

Tapi salah diriku yang terus memujamu

Mata seharusnya tertutup

Seperti hati layaknya terkunci

Arga tersenyum kecut setelah menuliskan dua bait puisi di buku agendanya. Untuk Melia, gadis pujaan dia sedari SMA. Entah kenapa, pagi ini dia teringat kembali pada gadis tersebut. Ada kerinduan yang tiba-tiba menyeruak, tanpa dapat dikendalikan. Walau sudah beberapa kali ditolak dengan kalimat pedas dan menghunjam, tetap saja dia tak bisa melupa. Cinta pertama, bahkan mungkin selamanya.

*

Arga Eka Putra, demikian Ayah memberiku nama. Kata 'Putra' di bagian paling belakang adalah nama beliau. Sosok tenang, penyabar, tetapi sangat tegas dalam memegang prinsip hidup. Setidaknya, itu yang menjadi ciri khas dalam sifat dan karakter Ayah di ingatanku.

Awal SMA, aku jatuh cinta pada teman sekelas yang bernama Melia Irawati. Ayah tersenyum saat aku menceritakan tentang dia. Dan masih teringat jelas pesan Ayah kala itu.

"Kalau kamu sungguh-sungguh suka sama dia, perjuangkan, Ga. Diterima, ya alhamdulillah. Kalau ditolak, ya maju lagi. Ditolak itu hal biasa, Ga. Ayah dulu juga ditolak sama ibumu berkali-kali, kok. Nggak terhitung malahan. Buktinya, kena juga, kan? Wong lanang kuwi menang milih, wong wedok kuwi menang nolak, Ga. Ingat itu," tutur Ayah.

Ayah menegaskan bahwa seorang pria memang punya kuasa untuk memilih, perempuan mana yang akan dia lamar atau dia nyatakan cinta. Sementara wanita, mereka punya ranahnya sendiri untuk berkuasa dalam menolak lamaran yang tidak dia suka. Sudah kodratnya demikian. Jadi, sebagai seorang pria, tak boleh takut ditolak dan tak boleh mudah menyerah. Kurang lebih, itu yang ingin Ayah tekankan kepadaku saat itu.

Buah tidak akan jatuh jauh dari pohonnya. Pepatah itu terbukti benar. Mengikuti jejak serta pedoman ayahku, hal itu juga yang kemudian aku lakukan pada Melia. Aku mencoba untuk mengesampingkan rasa malu serta minder untuk mencoba mendekati gadis itu. Beruntungnya aku yang diberkahi otak cemerlang sehingga Melia sering meminta bantuanku untuk memahami beberapa pelajaran. Ya, setidaknya aku masih punya kelebihan dan poin plus di mata gadis pujaanku itu.

Duduk berdua dan saling berdekatan ketika mengajari Melia adalah momen paling indah bagiku kala itu. Saat aku bisa duduk sambil memangkas jarak di antara kami berdua, memandang wajah yang hanya berjarak beberapa jengkal saja dari wajahku. Bahkan, aku bisa mencium aroma rambutnya yang unik, berbeda dari teman-teman yang lainnya.

Aku memang bukan tipikal pemuda romantis, juga bukan remaja gaul, apalagi menonjol dari segi pergaulan. Secara penampilan, bukannya aku tidak tampan. Kata teman-teman, aku ini cukup menarik, kok. Hanya saja, aku ini tipikal pemuda yang rapi dan standar saja dari segala sisi, baik itu pilihan baju maupun aksesoris. Nothing special kalau kata orang-orang. Tidak ada istimewanya sama sekali. Semua serba standar dan serba biasa saja.

Pertama kali menyatakan cinta kepada Melia, aku hanya berani mengutarakannya lewat tulisan saja. Satu lembar kertas yang aku tulis dengan penuh kesederhanaan. Tak ada kata indah, romantis, apalagi puitis. Ya, sama persis seperti diriku tadi. Sangat standar dan biasa saja.

Melia, mau tidak jadi pacarku? Arga.

Ya, pesan yang aku tulis memang sesingkat dan sesederhana itu. Bahkan, aku tidak berani memberikannya secara langsung kepada Melia. Aku sisipkan kertas itu di sela halaman buku pelajaran dia yang tadi sengaja aku pinjam sebentar. Hingga beberapa hari aku menunggu jawaban, tetapi belum ada sama sekali dari dia. Bahkan, Melia juga tidak menunjukkan reaksi apa pun selama kami bertemu di kelas keesokan harinya. Hal itu sempat membuatku bingung. Namun, aku berpikir, mungkin dia belum menemukan kertas itu. Sampai suatu malam, tiba-tiba dia mengirimiku pesan via telepon genggam.

[Ngaca, Ga. Ngaca! Nggak usah lagi lo deket-deketin gue!]

Pesan itu teramat singkat, tetapi cukup untuk membuat seisi kamarku seolah berguncang karena terkena gempa. Aku baru saja masuk ke kamar dari pulang sekolah dan membaca pesan menyakitkan itu. Ternyata, begini rasanya ditolak cinta. Seperti ini rupanya patah hati. Rupanya, aku mengalaminya sekarang.

Aku tak punya cukup keberanian untuk membalas pesan dari Melia itu. Aku biarkan saja. Aku mencoba untuk mengendapkan semua rasa dalam sepi serta sedihku. Selama beberapa hari, kedua mataku sulit sekali untuk terpejam. Makan pun terasa tidak enak sama sekali. Semua terasa hambar. Jadi seperti lagu dangdut, tetapi memang itu yang aku rasakan saat ini. Bukan salah Melia kalau dia sampai menolak cintaku. Mungkin, memang aku yang terlalu tidak tahu diri hingga berani mencintai gadis seperti dia.

Di kelas, aku tidak berani mendekati Melia, bahkan untuk sekedar menyapa dirinya. Sungguh, tidak nyaman dalam situasi seperti ini. Sudah lebih dari satu minggu, kami terjebak dalam suasana yang tidak mengenakkan. Tiba-tiba, aku teringat pada pesan Ayah untuk tidak menyerah. Pagi itu, aku kembali memberanikan diri untuk menyapa Melia lagi, seolah tak pernah terjadi apa-apa di antara kami berdua.

"Hai, Mel. Kamu sudah kerjakan PR Biologi?" tanyaku dengan nada yang aku buat sebiasa mungkin, walau tetap sedikit gemetar.

Melia hanya menatapku sekilas, tanpa menjawab sepatah kata pun. Dia lalu beranjak dari kursi dan berlalu meninggalkan kelas kami. Tidak masalah. Aku lega. Setidaknya, aku sudah bisa memulai percakapan lagi. Ya, meski tidak ditanggapi oleh dia. Semoga saja, suasana di antara kami berdua bisa segera mencair lagi. Setiap hari, pasti akan aku sempatkan untuk menyapa Melia, walau mungkin tidak akan dia jawab, seperti hari ini. Semangat!

Benar kata Ayah. Setelah tiga hari aku memberanikan diri untuk menyapa, Melia mulai memberikan respon. Secara perlahan, hubungan kami berdua kembali seperti dulu lagi. Gadis itu mulai menanyakan beberapa hal tentang pelajaran yang tidak dia mengerti dan aku kembali bisa mencium aroma rambut khas milik dia lagi saat duduk di sampingnya. Benar-benar anugerah dari Tuhan.

Cintaku kepada Melia memang tak pernah berkurang, bahkan terus bertambah setiap harinya. Penolakan yang pertama dulu, aku anggap sebagai bentuk ketidaksiapan dia saja untuk memiliki hubungan yang lebih dari sekadar teman denganku. Dan aku akan memberi dia waktu untuk bisa lebih mengenalku.

Hari ini, Melia tampak lebih cantik dari hari biasanya. Dia terlihat sangat berbeda dengan cardigan rajut berwarna merah yang pagi ini dia kenakan. Sering terbersit tanya di dalam hatiku, kenapa gadis secantik dia masih belum punya pacar juga? Padahal, yang naksir sama dia juga pasti banyak. Atau memang dia belum mau pacaran di masa sekolah?

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku