Setiap kerajaan pasti memiliki peraturan mereka sendiri yang harus di patuhi oleh anggota kerajaan atau bahkan masyarakat, entah merugikan atau bahkan menguntungkan.
Hah
Hah
Hah
Kedua kakinya gemetar dan berusaha menopang tubuhnya terasa lemas. Dalam sekejap dia terasa mendapatkan mimpi yang nyata, namun mengerikan.
Tangan kanannya gemetar menatap foto pernikahannya dengan sang suami. Hingga sebuah pecahan menggertakan lantai putih dan berkilau itu.
Dadanya naik turun, dia meraba ranjang empuk di sampingnya dan langsung menjatuhkan bokongnya secara kasar.
Kedua tangannya menyilang, memeluk kedua lengan yang terasa dingin, namun suhu tubuhnya terasa panas. Masih jelas di ingatannya, di mana dia mengalami kecelakaan.
Mobilnya melewati pagar pembatas jalan setelah pertengkaran hebat itu.
Tanpa dia sadari, air matanya merembes keluar. Alden, sosok suami yang begitu dingin, kasar dan berwajah datar. Pria itu memperlakukannya seperti sebuah bayangan yang tidak ada manfaatnya.
Hiks
Kedua tangannya mengusap rambut pirang bergelombang itu. Pernikahannya sudah berjalan satu tahun. Namun laki-laki itu tak kunjung mencintainya, selama dua tahun itu dia tidak pernah di sentuh dan bahkan pada saat universary pernikahannya yang ketiga tahun. Alden membawa seorang wanita dan mengatakan wanita itu adalah istrinya.
Bagaikan di hantam petir, Alden mengakui Michel Agason adalah istri pertamanya yang dia rahasiakan. Memang pernikahannya dengan Alden adalah sebuah perjodohan.
Dia jatuh hati pada saat pertama kali bertemu dan menjalankan kewajiban seorang istri, tapi pria itu acuh dan tak acuh.
"Benarkah semua ini?" Bimbang, tapi yang ia alami terasa nyata. Dia ingat, setelah memegang foto pernikahannya. Pamannya Bramantyo menghubunginya dan mengajak makan malam.
"Benda itu,"
Dengan perasaan takut dan bimbang. Kedua matanya melihat ke segala arah. Dan benar saja, sebuah benda pipih di atas sofa yang terletak di sudut itu berbunyi.
Dia menggerakkan badannya dan tertera nama sang paman.
Hah
Dia syok dan melempar benda pipih itu begitu saja. Mundur beberapa langkah, hatinya mendadak sesak. Jadi benar yang ia alami adalah kematian dan hidup kembali.
"Ini...."
Mulutnya menganga, dia menutup kedua mulutnya dengan kedua tangannya.
Cukup lama dia menangis, menangisi nasibnya. Hatinya nyilu, sakit dan setiap hembusan nafasnya terasa perih. Dia menoleh, lalu melangkah ke atas nakas. Sebuah kalender kecil.
"Sekarang tanggal 29 Oktober 2021, tinggal tiga bulan lagi."
Artinya, dia akan bertemu dengan istri pertama suaminya dan setelah itu, ia berdebat dan suaminya memilih cinta pertamanya. Pantas saja, selama satu tahun pernikahan suaminya selalu pulang malam, kadang satu bulan sekali dia pulang ke mansion yang mereka tempati.
Tok
Tok
Tok
"Nyonya, ini saya membawakan camilan untuk nyonya," ucap seseorang dari luar pintu. Salah satu maid yang sangat perhatian pada Aluna dan selalu menemaninya.
"Semuanya benar." Aluna menangis terisak, dia ingat, setelah beberapa saat Mery datang membawakan camilan untuknya. Kali ini dia memang percaya, bahwa dia dihidupkan kembali setelah kematiannya.
"Ini nyata." Dia tidak bisa memungkirinya, sebuah kejadian yang menurutnya aneh.
Dia menyugar rambutnya yang terurai dan kemudian menghapus jejak air matanya. Mendongak ke atas dan menghembuskan nafasnya. Kedua tangannya menarik T-shirt yang ia pakai berwarna maron selutut itu. Pakaian ketat dan mengukir tubuhnya itu.
Hah
"Aku tidak boleh menangis, tenangkan dirimu Aluna. Ayo tenangkan dirimu."
Aluna melangkah, dia membuka pintu kokoh bercat putih itu. Tersenyum seperti sedia kala. "Mery, aku butuh air putih. Salad itu, kamu makan saja. Rasanya aku masih kenyang."
"Tapi Nyonya tadi mengatakan ingin salad buah."
"Ti-tidak, aku tidak berminat. Bawakan saja aku air putih."
Meski merasa aneh, Mery mengangguk dan berlalu meninggalkan Aluna. Sedangkan Aluna dia langsung mengambil benda pipih yang ia lemparkan tadi.
"Hallo Om,"
"..."
"Iya Om, Luna kesana."
Bip
Aluna menghapus kembali air matanya, sekarang ia tahu. Suaminya ternyata mencintai wanita lain dan kini tinggal menantikan waktu dimana ia harus pergi dari mansion ini.
Pria setengah baya itu tersenyum, beberapa bulan tidak bertemu dengan keponakan sekaligus putri angkatnya. Masih menggenang di pikirannya kecelakaan yang menimpa kakaknya, tepat hari ulang tahun Aluna mereka ingin merayakan di luar. Namun naas, kecelakaan itu menimpa mereka dan kedua orang tua Aluna meninggal. Sehingga dialah yang bertanggung jawab menjaga Aluna. Setelah Aluna dewasa dan menyelesaikan S1 di London, ia menjodohkan Aluna dengan anak dari sahabatnya, yang ia yakini Alden akan menjaga Aluna sebaik mungkin.
"Bagaimana kabar mu, Al?" Tanya Om Bram dengan pandangan mata berkaca-kaca.
Dia bersyukur, masih di beri umur melihat putrinya tumbuh sangat cantik. Banyak temannya yang menginginkan sang putri menjadi menantunya. Namun hatinya tertuju pada Alden.
"Aku baik Om, bagaimana kabar Om? Maaf, baru sekarang Al menjenguk Om."
"Om baik, selama kamu bahagia Al. Kebahagian Om terletak pada mu Al. O iya, dimana Alden?" Tanya Om Bram.
Bibir Aluna ingin mengatakan semuanya, tapi ia takut. Om sekaligus ayahnya kecewa. Di kehidupan lalunya, ia pernah menghubungi Alden. Tapi laki-laki itu tidak mengangkatnya. Alhasil, ia malah sendiri datang kerumah pamannya. Jadi tadi, ia memilih tidak menghubungi Alden sama sekali.
"Alden sibuk Om."
Alden? Sebutan yang aneh. Tidak biasanya putrinya tidak mengembel-embelkan mas. "Alden?"
"Iya, Om."
"Semenjak kapan kamu menghilangkan sebutan 'Mas' untuk Alden?"
Om Bram menghela nafas, sejenak dia menatap putrinya dengan tatapan dalam. Entah bagaimana pernikahan keduanya? Apa mereka sudah saling mencintai atau.
"Apa kamu mencintai Alden?"
"Iya Om." Bibir Aluna bergetar, dia memang jatuh hati pada suaminya. Tapi suaminya mencintai orang dan tidak pernah membuka hatinya untuknya. "Al sangat mencintai Mas Alden."
"Syukurlah, hargai suami mu Al."
"Iya Om." Aluna tersenyum tipis, seandainya pamannya tahu. Bahwa dia akan di ceraikan setelah tiga bulan lagi. "Ya sudah, Om kita makan saja," ucap Aluna yang tidak ingin mengingat semua menyakitkan tentang Alden.
Sedangkan di tempat lain.
Sekujur tubuhnya di penuhi oleh keringat panas, baru beberapa menit yang lalu. Dia melakukan hubungan cinta dengan istri pertamanya. Saling mendesah dan mengeluarkan kehangatan. Keduanya pun lunglai di atas ranjang king size itu dan berpelukan menyilami mimpi indah.
Drt
Drt
Sayup-sayup dia mendengarkan bunyi handphone berdering, tangannya meraba di atas nakas dan mengambil benda pipih itu. Sebuah nama tertera yang tak lain sekertarisnya.
"Kamu di mana Alden?" Tanya seseorang dari seberang.
"Apa?"
"Tadi aku bertemu dengan istri mu di toko kue," ujarnya.
"Lalu?"
"Huh, kamu sungguh tidak peduli dengan istri mu?!"
"Kalau kau hanya ingin mengatakan ini, aku mau tidur."
"Jangan menyesal."
Bip
Alden memutuskan hubungan sepihak, dia kesal dengan sekertarisnya yang selalu ikut campur masalah pribadinya. Sering kali ia mendengarkan omelan dari sahabatnya itu, beginilah, begitulah dan membuatnya jengah.
Dia menatap wanita di sampingnya, mengecup dalam keningnya. Ia berharap akan ada anak di antara mereka. Hubungan mereka sudah terbilang cukup lama. Tapi sayang, ayahnya tidak merestui dan menjodohkannya dengan Aluna. Wanita yang sama sekali tidak ia kenal. Sudah dua tahun lamanya dia menikah dan Aluna tak pernah ia sentuh sedikit pun.
Tepat setelah satu minggu pernikahannya, dia menikah diam-diam dengan kekasihnya. Karena ia sangat mencintai Michel dan tidak ingin kehilangannya.
---
Aluna telah selesai makan malam, dia pun bergegas pergi ke kamarnya. Kamar yang begitu ia rindukan, masa di mana ia tidak mengenal cinta dan fokus untuk belajar dan belajar. Ia memandangi foto di atas nakas itu, masa remajanya yang begitu ia rindukan. Masa di mana kehidupannya bebas dan tidak terikat dengan pernikahan yang mengurungnya, harus berpura-pura bahagia di saat bersama orang lain.
"Alden, aku sadar, seberapa pun aku berjuang, kamu tidak akan menoleh, aku sudah lelah mengejar mu dan semua kejadian yang aku alami, aku memilih menyerah. Ya, aku tidak ingin seperti kejadian masa lalu." Aluna menghapus air matanya, dia tersenyum. Menyemangati dirinya sendiri. Mulai sekarang ia tidak akan takut dan mengangkat wajahnya.
Dulu, jika berpapasan dengan Alden. Ia akan menunduk karena takut dengan wajahnya yang bagaikan harimau walaupun tampan. Sekarang ia ingin menjadi Aluna yang dulu, yang bebas melangkah.
Buku lain oleh maira
Selebihnya