Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
TERPERANGKAP GAIRAH CINTA SATU MALAM

TERPERANGKAP GAIRAH CINTA SATU MALAM

bocahtua

5.0
Komentar
1.6K
Penayangan
2
Bab

"Maaf, sepertinya aku salah ruangan." Shopie mencoba mencari alasan. Dan, bukankah ini sempurna. Siapapun pasti tahu, dia sedang mabuk berat. "Aku akan keluar." Shopie berusaha bangkit dan laki-laki itu hanya memperhatikan dengan acuh. Tidak berusaha membantu. Saat berusaha berjalan, langkah Shopie gontai. Membuatnya limbung dan mendarat di tubuh lelaki itu. Membuat mereka berdua sudah tidak ada jarak sama sekali. "Maaf," kata Shopie lirih. Menekan tubuh lelaki itu agar ada kekuatan baginya untuk mendorong diri. Tangan Shopie merasakan tubuh di balik baju yang dikenakan lelaki itu, padat dan berotot. Di bagian mana sebenarnya dia meletakkan tangannya? Dada. Dia pasti benar-benar seksi saat seluruh pakaiannya terbuka, batin Shopie. Membuat pipinya terasa panas. Penasaran, Shopie ingin sekali lagi melihat wajah lelaki itu. Jadi dia mengangkat kepalanya. Pandangan mereka bertemu kembali. Kali ini, hanya sejengkal jaraknya. "Pergilah," kata lelaki itu. Kali ini suaranya tidak setegas tadi. Lelaki itu sebenarnya serius mengatakan hal itu. Shopie dapat membaca dari wajahnya. Namun, hal itu malah membuat Shopie bertingkah di luar nalarnya. Dia malah semakin merapatkan diri. Berjingkat. Meletakkan tangannya yang bebas ke balik kepala lelaki itu dan mendorongnya. Membuat bibir lelaki itu bertemu dengan bibirnya. Jadi, semua yang terjadi, Shopie lah yang memulainya.

Bab 1 CINTA SATU MALAM

"Aku diterima kerja!!!" Shopie berteriak sambil melompat-lompat kegirangan. Handphone yang dipegangnya ikut terguncang-guncang, membuat tampilan dirinya di panggilan grup call terlihat tidak jelas. Saat ini Shopie memang melakukan panggilan video grup dengan dua sahabatnya, Liana dan Adele.

"Yey, congrate," ucap Liana dengan tepukan anggun yang dibuat-dibuat. "Akhirnya kurang satu pengangguran di Indonesia ini."

"Kamu senang diterima kerja atau senang bisa ketemu Gerard setiap hari," sindir Adele.

Sambil mengatur dirinya agar berdiri tegak kembali, Shopie memfokuskan diri melihat kamera handphone. Dia mencoba menghimpun kembali senyumnya yang tak bisa terkendali sambil menyelipkan rambutnya yang menjuntai ke balik telinga.

"Menurutmu, mana yang bikin aku lebih senang?" Shopie mengedipkan mata.

Adele mencibir. Memutar kedua bola matanya. "Apa perlu aku jawab?"

Shopie tertawa lepas. Meski tingkah Adele terkesan meremehkan, dia tahu, sahabatnya itu begitu meyayanginya.

"Jelas Gerald lah." Liana yang menyahut pertanyaan Shopie. Membuat gadis itu terkikik dan menutup mulutnya.

"Aku juga butuh kerja, woy." Shopie berusaha mengelak. Meski, hal itu terlihat hanya alasan saja.

"Kalau kamu benar-benar butuh kerja, kenapa lamaran kerjamu cuma nyasar kantor Gerald doank." Jari telunjuk Adele terlihat menunjuk-nunjuk di layar. Matanya terlihat melotot, walau itu hanya pura-pura. "Aku ngajakin kerja di kantorku, malah ditolak mentah-mentah."

"Dahlah, susah bicara sama bucin, Del."

"Agree."

"Jadi, kita rayakan malam ini?" tanya Shopie. Tujuannya sebenarnya menelpon mereka karena hal ini. Liana dan Adele selalu menjadi orang pertama yang diajaknya untuk merayakan segalanya.

"Aku pikir kamu tidak akan menanyakan hal itu, bitch."

"Kita mabuk malam ini, Babe," kata Liana.

"Aku yang traktik," ucap Shopie.

"Deal." Liana dan Adele berucap serempak.

Setelah menutup panggilannya, Shopie memeluk dirinya sendiri dan menghempaskan dirinya ke ranjang. Membayangkan wajah Gerald yang akan selalu bisa dia temui setiap hari di kantor. Cinta pertamanya.

Kata orang, cinta pertama tidak mungkin mati dan bisa terlupa. Dia merasa kata-kata itu benar. Karena itu berlaku pada dirinya.

Shopie menyusuri kenangannya beberapa hari lalu. Saat dia melakukan interview pada perusahaan Caraka Perkasa, lelaki itu, Gerald ada di sana. Duduk menghadapinya bersama dengan tiga orang petinggi perusahaan lainnya.

Terus terang saja, Shopie gugup duduk di sana. Bukan karena dia merasa tidak kompeten dengan lamaran yang diajukannya, tetapi karena Gerald selalu memandangnya. Tersenyum simpul padanya dan terkadang mengetuk-ngetuk jarinya sesekali.

Hal lain yang paling ditakutkan oleh Shopie pada saat wawancara adalah dia terselip lidah. Karena matanya tidak bisa berkonsentrasi dan selalu melirik Gerald yang duduk di sisi kiri meja. Mata elang lelaki itu benar-benar membuatnya mabuk kepayang hingga membuat seluruh tubuhnya bisa bergetar.

Sekuat tenaga dia berusaha memfokuskan diri. Menjawab semua pertanyaan dengan sebaik mungkin sepanjang yang dia tahu.

Dan hari ini, semuanya terbayar dengan tuntas. Dia diterima bekerja di perusahaan advertising Caraka Media grup, tempat Gerald akan selalu bisa dilihatnya setiap hari.

Apa benar dia bisa melihatnya setiap hari?

Terserahlah. Membayangkan dia satu gedung bekerja setiap hari di perusahaan yang sama dengan Gerald saja sudah membuatnya merinding. Membuatnya seperti remaja belasan tahun yang dipenuhi rasa cinta yang mengambung-ambung.

Untuk meluapkan perasaannya terakhir kali, Shopie kembali berteriak. Lagaknya seperti seorang petarung yang memenangkan kejuaraan pertama kali di ajang bergengsi. Dunia seakan ada digenggamannya. Cinta seakan dalam dekapannya.

Shopie membulatkan tekad, dia akan mabuk bersama dua ratu pesta itu malam ini.

Meluapkan perasaan hati yang sedang berisi ribuan kupu-kupu yang mengepak-ngepak dan membuatnya melayang.

*

Semua mata lelaki memandangnya. Bahkan ada yang tidak berkedip dan terus mengekori gerakannya saat berjalan.

Shopie, Liana dan Adele bukannya tidak tahu hal itu. Mereka sudah terbiasa. Sehingga, kali ini pun mereka abai. Hanya sesekali mencoba melirik genit pada beberapa lelaki yang memiliki wajah menawan dan tubuh yang seksi.

"Jangan macam-macam dulu," Adele memperingatkan. Dia mengucapkannya dengan berteriak agar bisa menembus suara musik yang menghentak-hentak gendang telinga. "Ke meja bar, pesan minuman dan lihat situasi."

Shopie mengangguk patuh. Sedangkan Liana hanya memutar bola matanya.

Gadis berpostur tinggi semampai itu memang tidak suka diatur. Namun, dorongan Adele terpaksa membuatnya berjalan dengan enggan menuju bar yang satu meter dari mereka berdiri sekarang.

Keadaan hampir saja tidak mendukung rencana pesta yang sedang mereka buat. Saat mereka sampai di depan Dragonfly Club, mereka sempat tertahan. Club sedang dibooking seluruhnya oleh seorang anak pengusaha ternama untuk merayakan ulang tahunnya. Jemima Adi Nugroho. Shopie tidak mengenal nama itu. Berbeda halnya dengan Liana dan Adele. Mereka bahkan terdengar kesal saat mendengar nama gadis itu saja.

Untung saja, mereka bertiga mengenal pemilik club ini. Dengan suara manja Liana, dia langsung menelpon Alex Widjaja dan meminta diperbolehkan masuk. Dan Liana tidak pernah gagal mendapatkan apa yang dia mau. Hanya saja, kali ini Alex meminta mereka hanya duduk di meja bar saja. Tak ada meja lain yang tersisa.

"Sudahlah, toh kita tidak membutuhkan meja," kata Liana sambil mengambil duduk di depan meja bar. Pandangannya tertuju ke lantai club yang telah dipenuhi banyak orang yang meliuk-liukan badan mereka mengikuti irama musik. "Kita akan menghabiskan waktu kita malam ini di sana."

"Demi kesuksesan Shopie." Adele berteriak.

"Untuk Shopie yang sedang dimabuk cinta!" Liana berteriak. Meski suaranya tertelan suara ingar-bingar lantunan musik DJ.

"For Shopie and Gerald!!!"

Shopie tergelak. Pipinya terasa memanas. Dia pun ikut berteriak mengikuti sahabatnya.

*

Shopie terbangun dengan kepala yang terasa berat, berputar dan seakan dihantam-hantam oleh puluhan palu yang tak terlihat. Dia mengerang dan mengangkat tangan kanannya ke pelipis dan menekan-nekannya lembut. Seakan-akan dengan begitu kepalanya tidak lagi terasa goyang.

Dengan seberkas sinar yang memantul di matanya, masuk melewati sela-sela tirain gelap, dia mencoba membuka. Awalnya pandangannya terasa kabur, dinding yang ada di depannya seakan bergerak. Matanya membuka, menutup, membuka, menutup. Lalu terbuka sepenuhnya.

Dinding ruangan ini berwarna putih polos, tanpa ada hiasan apapun. Bukan warna orange seperti yang selalu bisa menenangkannya saat bangun. Susunan buku-buku, deretan boneka babi dan piala-piala yang entah dia lupa dimenangkan pada tahun berapa. Dinding di depannya benar-benar tidak dikenalnya. Asing, dengan aroma yang familiar. Kamar hotel.

Masih tetap berbaring, Shopie meremas selimut yang menutupi tubuhnya. Mencoba memikirkan sesuatu. Mengingat-ingat, kenapa dia bisa sampai di sini.

Dia mabuk. Sudah pasti. Shopie ingat menegak beberapa gelas koktail seakan itu air mineral yang bisa menghilangkan dahaganya. Lagipula, bukannya itu tujuan pesta bersama sahabatnya?

Ah, Liana. Adele.

Shopie menelengkan kepalanya ke sisi pembaringan. Berharap kedua sahabatnya itu berada bersamanya. Terbaring mengenaskan karena mabuk. Seperti dirinya.

Akan tetapi, dia terperangah. Karena tubuh di sampingnya bukan milik kedua temannya. Melainkan tubuh seorang lelaki yang sedang tertelungkup. Salah satu tangannya terbuka lebar hingga menjuntai ke sisi ranjang, sedang tangan yang lainnya berada di samping kepalanya dan terlihat seperti memeluk bantal.

Shopie kembali meluruskan kepalanya. Menunduk memandangi tubuhnya. Shit. Bahunya telanjang dan hanya tertutup selimut tebal. Ragu, Shopie perlahan mengangkat selimut yang menutupi dadanya. Berdoa agar apa yang dibayangkannya tidak menjadi kenyataan. Meski itu hanya harapan. Karena, tubuhnya di bawah selimut itu, tidak mengenakan apa-apa.

Sial.

Shopie menjatuhkan selimut kembali ke tubuhnya. Kedua tangannya lunglai dan terhempas di samping tubuhnya. Membuat bunyi samar yang membuat tubuh lelaki di sampingnya sedikit bergerak.

Shopie melirik. Lelaki itu tidak terbangun. Syukurlah. Shopie belum siap akan mengatakan apa jika lelaki itu menghadapinya.

Shopie memandang langit-langit kamar dengan tatapan menerawang. Matanya sudah benar-benar terbuka lebar. Dia berusaha dengan cepat mengingat kembali kejadian tadi malam. Terutawa awal kejadian saat berjumpa dengan lelaki di sampingnya ini.

Samar. Ingatan Shopie masih meraba-raba.

Dimana semuanya bermula?

***

Dengan gerakan tangan, Shopie berusaha memberi kode pada Liana dan Adele bahwa dia ingin ke toilet. Kepalanya sudah terlalu pusing dan isi perutnya seperti terkena tornado.

Meski ingin berjalan dengan cepat, nyatanya Shopie berjalan dengan susah payah. Memegangi perutnya yang terus bergolak. Sesekali dia berhenti dan menyandarkan diri ke dinding, berusaha menenangkan perutnya. Berbicara dengan perutnya agar tidak bikin malu dengan muntah di sembarang tempat.

Saat sampai di toilet, Shopie ingin berteriak kesal. Banyak wanita yang mengantri menunggu toilet kosong. Membuatnya ingin benar-benar kehilangan kesadaran dan bertingkah tidak masuk akal. Menerobos barisan wanita yang berdiri menunggu salah satu pintu toilet terbuka.

Oh Tuhan, malam ini semuanya seperti ingin menerbangkan diri. Meski ada beberapa gadis berdiri tegak, memperbaiki dandannya, beberapa orang bertingkah seperti dirinya. Menahan gejolak yang meluap-luap melewati tenggorokan.

Saat bersandar di salah satu dinding toilet, Shopie merasa seluruh persendian luruh. Dia merasa lemas dan hampir saja memuntahkan isi perutnya. Jika tidak segera ditutupnya dengan telapak tangan. Rasanya ada muntahan yang sempat melewati lidahnya dan tertelan kembali. Rasa asamnya memenuhi seluruh mulutnya. Dia merasa jijik seketika.

Salah satu pintu toilet terbuka. Dengan berjalan gontai dia segera masuk. Tidak mengunci toilet lagi. Langsung mensejajarkan kepalanya di depan lubang toilet. Seketika seluruh isi di perutnya keluar tanpa bisa ditahan lagi.

Lega. Itu yang dirasakannya saat itu. Rasanya semua beban sudah terlepas. Meski, kepalanya terasa sakit luar biasa.

Sekuat tenaga Shopie berusaha berdiri tegak. Sudah lama dia tidak lagi mabuk sehebat ini. Dua tahun? Tiga tahun? Dia benar-benar lupa.

Shopie terkekeh tanpa sadar. Malam ini benar-benar terasa menyenangkan dan memualkan.

Saat berjalan keluar dari toilet dan menyusuri koridor, Shopie banyak menunduk dan menekuri langkahnya. Dia lebih banyak menggunakan instingnya untuk kembali pada sahabatnya. Tidak lagi memperhatikan ke arah mana dia berbelok dan menuju. Hanya berjalan, seolah itu jalan yang benar.

Ketika membuka salah satu pintu, Shopie sempat tertegun. Melihat ruangan yang kosong. Tak ada lantai dansa, orang-orang menari dan melompat ataupun suara musik yang menghentak. Ruangan itu sepenuhnya kosong dan berisi furniture mewah. Bahkan, dari melihatnya sudah bisa terasa.

Ada sofa panjang dengan bulu halus berwarna krem, secorak dengan warna dinding yang ada. Lampu hias yang menggantung di atas langit-langit bahkan menampakkan kegagahannya. Karpet bulu dengan warna gelap melapak di bawah sofa dan meja sofa. Membuat Shopie membayangkan kenyaman saat berbaring di sana.

Entah mengapa Shopie melepas sepatunya. Tanpa ragu dia masuk. Menutup pintu di belakangnya dan berjinjit menuju sofa yang menggoda. Dia ingin berbaring sebentar, rasanya seluruh tubuhnya benar-benar lelah.

Sempat menelusup dalam pikirannya, ini ruangan siapa? Namun, dienyahkannya. Membaringkan diri benar-benar membuatnya membuang pertanyaan sia-sia seperti itu. Siapapun yang akan mendapatinya di ruangan ini nanti, dia akan mencari alasan yang benar-benar masuk akal. Berlindung di balik mabuknya, mungkin?

Ruangan ini benar-benar sepi dan tidak tersentuh. Shopie menghempaskan tubuhnya dan berbaring di sofa dengan sebelah kaki tetap menapak ke karpet bulu. Sedikit menggerak-gerakan telapak kakinya untuk merasakan kenyamanan.

"Kamu ngapain di sini?"

Suara itu terdengar jauh sekaligus dekat. Membuat Shopie hanya menggumam kecil. Dia berpikir itu hanya suara angin yang lalu. Atau, hanya khayalan. Ah, kepalanya benar-benar terasa menyakitkan.

"Bangun!" Lagi, suara itu terdengar dalam dan dingin. Kali ini disertai dengan pahanya yang terasa ditekan-tekan dengan ujung jari-jari.

Membuka matanya, Shopie melihat sosok lelaki jangkung berdiri memandanginya. Menunduk dengan wajah datar.

Gerald, batin Shopie.

"Bangun!" kata lelaki itu lagi.

"Ger ...," Bibir Shopie melebar. Dia bangun dengan bertopang pada tangannya. Berusaha duduk dan memijat pelipisnya.

"Ngapain kamu di sini?" Lelaki itu kembali mengulangi pertanyaannya.

Suaranya asing di telinga Shopie.

Suara Gerald selalu lembut.

Jadi, Shopie mendongkakkan kepalanya. Tatapannya dengan lelaki itu bertemu.

Jika saja hatinya belum tertaut pada Gerald, dia akan jatuh takluk melihat paras lelaki itu. Ketampanannya benar-benar mempesona dengan rahang tegas yang menggoda.

"Maaf, sepertinya aku salah ruangan." Shopie mencoba mencari alasan. Dan, bukankah ini sempurna. Siapapun pasti tahu, dia sedang mabuk berat. "Aku akan keluar."

Shopie berusaha bangkit dan laki-laki itu hanya memperhatikan dengan acuh. Tidak berusaha membantu.

Saat berusaha berjalan, langkah Shopie gontai. Membuatnya limbung dan mendarat di tubuh lelaki itu. Membuat mereka berdua sudah tidak ada jarak sama sekali.

"Maaf," kata Shopie lirih. Menekan tubuh lelaki itu agar ada kekuatan baginya untuk mendorong diri.

Tangan Shopie merasakan tubuh di balik baju yang dikenakan lelaki itu, padat dan berotot. Di bagian mana sebenarnya dia meletakkan tangannya?

Dada.

Dia pasti benar-benar seksi saat seluruh pakaiannya terbuka, batin Shopie. Membuat pipinya terasa panas.

Penasaran, Shopie ingin sekali lagi melihat wajah lelaki itu. Jadi dia mengangkat kepalanya. Pandangan mereka bertemu kembali. Kali ini, hanya sejengkal jaraknya.

"Pergilah," kata lelaki itu. Kali ini suaranya tidak setegas tadi.

Lelaki itu sebenarnya serius mengatakan hal itu. Shopie dapat membaca dari wajahnya. Namun, hal itu malah membuat Shopie bertingkah di luar nalarnya. Dia malah semakin merapatkan diri. Berjingkat. Meletakkan tangannya yang bebas ke balik kepala lelaki itu dan mendorongnya. Membuat bibir lelaki itu bertemu dengan bibirnya.

Jadi, semua yang terjadi, Shopie lah yang memulainya.

Shopie merasa malu dengan dirinya.

Dia mengusap-usap wajahnya kuat untuk membuang perasaan jengah yang bersarang. Seolah dengan begitu, semua perlakuannya tadi malam akan terlupakan. Luruh, seperti sel kulit mati yang digosok ramuan lulur.

Suara dengkuran kecil terdengar dari lelaki itu. Lelaki yang dia yakin tak pernah dikenalnya, bersapa dengannya, apalagi sampai mengobrol lebih dalam.

Lelaki itu sepenuhnya asing dan Shopie malah bercinta dengannya.

Dengan gerakan perlahan, Shopie menyibakkan selimut. Bangun dengan pandangan tetap waspada, kalau-kalau saja lelaki itu berbalik dengan mata terbuka.

Shopie mengambil pakaiannya satu persatu yang berserakan di lantai. Mengenakannya secepat mungkin dan hati-hati. Berusaha untuk tidak menimbulkan suara sedikitpun.

Shopie melirik jam yang ada di dinding di seberangnya. Pukul 07.00. Sial, sebentar lagi dia harus berada di tempat kerjanya yang baru. Tidak boleh terlambat di hari pertama. Reputasinya bisa menjadi taruhan.

Sebelum melangkah pergi, Shopie memandangi tubuh lelaki itu yang masih tidak bergerak. Jika bertemu lagi, apa yang harus dia katakan pada lelaki itu? Malam tadi menyenangkan?

Sekilas, Shopie merasa seperti itu. Tidak, kesadarannya sudah perlahan kembali. Dan rasanya memang seperti itu. Ada ingatannya yang menyerang tiba-tiba, saat dia berteriak dengan perasaan puas. Bukan, sekali.

Pipi Shopie kembali memanas. Membuatnya menepuk-nepuk kedua pipinya untuk menenangkan diri.

Haruskah dia mengucapkan terima kasih untuk tadi malam? Bahkan, dia belum mengetahui nama lelaki itu. Apa tadi malam dia sempat mengucapkan namanya?

Ah, tapi kalau dia mengucapkan terima kasih, apa dia seperti wanita nakal yang terbiasa bercinta satu malam? Bukankah itu memalukan?

Shopie menggelengkan kepalanya. Lebih baik dilupakan, batin Shopie memutuskan. Tak perlu ada hubungan apapun lagi.

Dia telah lama menyerahkan hatinya pada Gerald. Malam ini, hanya malam lalu yang akan mudah terlupakan.

Sebaiknya, dia segera pergi dari sini. Sebelum lelaki itu terbangun.

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku