Hidup Lilis yang semula normal seperti remaja SMA pada umumnya berubah setelah rumah tangga kakaknya mengalami masalah. Kakak iparnya melampiaskan semuanya kepada Lilis di saat orang rumah sedang pergi. Hingga sebulan kemudian ayahnya menemukan testpack dengan dua garis di dalam kamarnya. "Evan boleh menikahi Lilis, tapi hanya secara sirih saja. Setelah anak itu lahir, kalian harus bercerai. Hak asuh anak akan jatuh padaku dan Evan. Ini akan menjadi rahasia selamanya. Bagaimana?" "Aku tak sudi! Lebih baik aku pergi mengasingkan diri dan membesarkan anakku seorang diri." Kakak kandungnya menolak memberikan sang suami kepada adiknya. Padahal semakin lama kandungan Lilis akan semakin besar. Sedang kakak iparnya menginginkan Lilis beserta anak di dalam kandungannya. Namun, dia juga enggan untuk bercerai dari istrinya. Bagaimana keputusan Lilis dalam menghadapi semua ini?
# Bab 1
"Jus apel kemasannya sepuluh, dan buah apelnya lima kilogram, ya. Totalnya seratus lima puluh ribu rupiah. Pulsanya sekalian, Kak?" kata kasir di sebuah mini market.
"Tidak usah," jawabku sambil memberikan uang dua lembar berwarna merah dan biru.
"Uangnya pas ya, Kak. Terima kasih. Silahkan datang kemari lagi!"
Aku mengangguk dan mengambil bungkusan belanjaan milikku.
"Sejak kapan kamu suka sama yang berbau apel?" tanya Sindi, sahabatku.
"Entah." Aku menggedikkan bahu. "Apa aku nggak boleh makan apel?" tanyaku dengan muka sedih. Akhir-akhir ini aku agak sensitif kalau disinggung sedikit.
Aku memang tak suka apel. Tapi 'dia' yang suka apel. Makanya aku jadi ingin sekali makan buah apel atau meminum jus apel. Mungkin ini yang disebut ngidam.
Aku langsung keluar dari mini market. Sindi berlari mengikutiku di belakang.
"E-eh. Boleh, kok. Tentu saja boleh," jawab Sindi sambil nyengir. "Tumben aja, gitu. He he."
Aku diam saja, tak menanggapi ucapan Sindi. Kami terus berjalan hingga kami sampai di perempatan. Aku harus belok ke kanan, sedang Sindi harus lurus.
"Kita berpisah di sini, ya." Aku melambaikan tangan pada Sindi.
"Iya, Lis. Kamu harus istirahat begitu sampai di rumah. Kalau kamu sakit, mending besok kamu nggak usah berangkat sekolah. Aku khawatir tau, saat kamu pingsan di kelas tadi pagi." Sindi mengomel sampai bibirnya maju ke depan.
Beruntungnya aku punya sahabat sepertimu, Sin. Ya, tadi pagi aku pingsan di sekolah. Saat akan diperiksa, aku berdalih karena tidak sarapan, makanya pingsan.
"Iya-iya, tenang aja. Aku bakalan langsung istirahat sampai di rumah. Dah." Kutinggal saja Sindi yang masih mengomel kaya ibu tiri. Yang ada aku pingsan lagi.
Namaku Lilis Arum Peony, putri bungsu dari Pak Arifin dan Bu Ratna. Aku masih bersekolah, kelas 1 di salah satu SMA Negeri di Jakarta. Yang tadi sahabatku, Sindi Nurfadillah, sekaligus teman sebangku di kelas.
Aku mempunyai seorang kakak perempuan bernama Laras Fitri Widiani. Dia sudah menikah dan tinggal bersama suaminya, Kak Evan. Mereka membeli rumah tak jauh dari rumah Ayah dan Ibu.
Sesampainya di rumah, aku langsung ke dapur. Membereskan belanjaan buah yang sudah dibeli tadi sepulang sekolah. Buah apel segar diletakkan di dalam kulkas, sedang jus apel kemasan akan aku bawa ke kamarku sendiri. Supaya kalau malam hari aku mual, aku tidak perlu pergi ke dapur. Menghindari kecurigaan orang rumah juga.
Di jam-jam seperti ini untung rumah masih sepi. Ibu harus memantau ketiga mini marketnya. Sedang Ayah pasti masih di pabriknya.
Rasanya sudah tidak tahan untuk mengistirahatkan tubuhku ini. Akhir-akhir ini aku sering sekali mudah lelah. Apa itu karena efek hamil, ya? Entahlah.
Saat pintu kamar terbuka, kulihat Ayah duduk di atas ranjang tidurku. Tumben, jam segini Ayah sudah di rumah.
"Ayah sudah pulang?" Aku berjalan mendekati Ayah, dan mencium punggung tangannya.
Ayah diam saja, tak menjawab pertanyaanku. Mukanya seperti menampakkan sedih dan kecewa. Tatapannya sangat tajam mengarah ke mataku. Aku belum pernah mendapati Ayah seperti itu kepadaku.
Aku langsung menunduk. Entah mengapa aku merasakan firasat buruk yang akan datang menghampiri.
"Jelaskan pada Ayah tentang benda ini, Lilis!" teriak Ayah sambil berdiri dari atas kasur.
Mataku melebar, sangat terkejut. Selain karena teriakan Ayah, juga karena benda yang diperlihatkan oleh Ayah. Tubuhku gemetar. Rasa lelah yang tadi mendera, menguap seketika.
Ayah mengacungkan benda pipih berwarna putih tepat di depan mukaku. Benda keramat bagi wanita yang sudah menikah, akan membuatnya merasa sangat bahagia. Tapi, tidak untukku yang masih berusia enam belas tahun.
Aku belum ingin hal ini terbongkar untuk sekarang. Tapi, sebagaimana aku menyembunyikannya, bau busuk pasti akan tercium juga.
Ayah akhirnya menemukan testpack itu. Benda yang aku harap bergaris satu, nyatanya bergaris dua.
"Ayo, jawab Lilis! Jangan diam saja!" bentak Ayah sambil mengguncang kedua bahuku.
"Apa Ayah selama ini salah dalam mendidikmu? Ayah tak menyangka kamu bisa melakukan perbuatan zina seperti ini." Ayah menatapku dengan tajam.
Aku langsung bersimpuh di kaki Ayah. Air mata sudah keluar tanpa bisa kucegah. Sungguh, Ayah tidak pernah salah dalam mendidikku. Ayah adalah Ayah terhebat dan cinta pertamaku. Cinta pertama bagi anak perempuannya.
Aku bahkan berharap, besok saat menikah aku ingin mempunyai calon suami yang seperti Ayah. Setia, penyayang, tegas, dan bertanggung jawab. Sangat dingin kepada wanita lain, tapi hangat kepada Ibu dan anak-anaknya.
"Ayah, maafkan aku ...."
Tangisku semakin kencang. Aku masih bersimpuh sambil memeluk kakinya. Aku tau Ayah pasti sangat kecewa padaku. Karena dari dulu, aku paling dekat dengan Ayah. Saat Ibu harus lebih banyak memberikan waktunya untuk Kak Laras yang memang sakit-sakitan sejak bayi, ayahlah yang mengisi kekosongan kasih sayang dari seorang Ibu.
"Jadi ... benar ini milik kamu?" Kulihat mata Ayah terbelalak. Ayah pasti sangat terkejut.
Aku mengangguk sebagai jawaban. Dari dulu aku tak pernah bisa berbohong pada Ayah.
"Astaghfirullah ..." Ayah mengelus dadanya.
"Berapa usianya?" tanya Ayah lagi.
"Sa-satu bulan," cicitku.
Kudengar Ayah menghela nafas panjang, masih sambil mengelus dada.
"Dengan siapa kamu melakukan ini, Lis?"
Pertanyaan ini yang aku takutkan. Sungguh, aku melakukan ini bukan dengan suka rela. Aku diperk*sa.
"Apa kamu sudah memberitahu ayah dari janin itu?" tanya Ayah lagi.
Aku masih diam. Kata-kata yang ingin aku keluarkan seakan tersangkut di tenggorokan.
"Jawab Lilis!" bentak Ayah.
Aku terlonjak karena bentakkan Ayah. "A-aku belum memberitahunya, Ayah. Aku tidak bisa meminta pertanggungjawaban pada ayah bayi ini," jawabku dengan tangisan makin deras.
"Kenapa tidak bisa?"
"Karena dia sudah beristri," cicitku ketakutan.
"Apa?!" Ayah spontan berteriak. Aku semakin menunduk, tak berani mendongak sedikit pun.
"Kamu tidur dengan laki-laki yang sudah beristri? Apa sudah tidak ada laki-laki lajang di luar sana sehingga kamu menjalin hubungan dengan laki-laki beristri?"
Ayah mundur beberapa langkah ke belakang. Melepaskan diri dari pelukanku di kakinya. Kemudian mendudukkan dirinya dengan keras di atas tempat tidur. Mengusap wajahnya dengan kasar.
Aku berjalan dengan lututku mengikuti Ayah. Memeluk kakinya lagi.
"Ayah kecewa ... Ayah sangat kecewa kepadamu, Lis." Suara Ayah bergetar. Mungkin Ayah menahan tangis. Aku tidak tahu, karena aku masih menunduk. "Kenapa kamu sampai melakukan itu, Lis? Apa kamu masih kurang dengan materi dan fasilitas yang dikasih Ayah dan ibumu, sehingga melayani laki-laki yang sudah beristri untuk mendapat materi yang lebih?"
Aku langsung mendongak menatap Ayah. Menggelengkan kepalaku berkali-kali. Sungguh aku tidak seperti yang Ayah pikirkan. Aku benar-benar tidak seperti itu.
Aku ingin mengatakan sejujurnya pada Ayah. Tapi, aku tak ingin membuat gempar penghuni rumah ini. Apa lagi, ini akan menyangkut dua keluarga besar.
Orang yang sudah memperk*saku ialah orang yang sangat Ayah banggakan di depan orang-orang sana.
Allah ... aku harus bagaimana? Aku hanya anak berusia tujuh belas tahun yang masih bersekolah kelas 1 SMA. Bahkan untuk makan dan uang jajan saja masih ditanggung orang tua.
"Ayah, aku berani bersumpah, aku bukan orang yang seperti Ayah pikirkan!" Aku harus membela diriku. Bagaimanapun aku tidak salah di sini. Dia yang salah.
"Lalu bagaimana kamu bisa hamil?" Suara Ayah sedikit turun, tak sekeras tadi.
"Apa Ayah percaya kalau aku diperk*sa?" Aku bertanya dengan hati-hati.
Kulihat mata Ayah melebar. Pasti Ayah terkejut. Anak bungsu yang dijaganya dari semenjak bayi, dilecehkan oleh orang tidak bertanggung jawab.
Aku lebih takut kalau Ayah tidak percaya dengan kata-kataku. Kalau Ayah saja tidak percaya, lalu aku harus berlindung kepada siapa?
"Apa benar kamu diperk*sa? Apa kamu tidak berbohong?"
"Apa aku pernah berhasil membohongi Ayah?" tanyaku sarkas.
Dari kecil aku tidak pernah bisa membohongi Ayah. Aku menatap tepat pada mata Ayah. Kubiarkan Ayah mencari kejujuran di mataku.
"Lalu, siapa yang sudah memperk*samu sampai kamu hamil seperti ini?" tanya Ayah frustrasi.
"Di-dia ... dia ...."
Pandanganku tiba-tiba menggelap. Aku tidak ingat apa pun lagi. Yang aku ingat hanya tubuhku rasanya melayang, seperti ada yang mengangkat tubuhku ini.
*****
Bab 1 Ketahuan Hamil
01/07/2022
Bab 2 Dirawat di Rumah Sakit
04/07/2022
Bab 3 Devan Mahendra Putra
04/07/2022
Bab 4 Pelaku Sebenarnya
04/07/2022
Bab 5 Jamuan Makan Malam
04/07/2022
Bab 6 Jamuan Makan Malam 2
16/07/2022
Bab 7 Awal
17/07/2022
Bab 8 Pengakuan
17/07/2022
Bab 9 Bertanggung Jawab
17/07/2022
Bab 10 Keputusan Lilis
17/07/2022