Manisa Vitaloca nama yang sangat indah yang diberikan oleh sang Bunda. Semoga seindah kisah cintaku dan ia. All this about You, orang yang 'tak kukenal rupanya, tapi berhasil membuatku jatuh cinta. Kau berhasil membuatku bahagia dan berdamai dengan masa lalu. Iman dan taqwamu yang hanya kudengar dari cerita, membuatku berharap, Kau akan melamarku dengan segera. All this about You ... Kau adalah topik yang selalu kuceritakan kepada Sang Maha Pencipta. Keikhlasan mengajarkanku banyak hal, bahwa benar adanya. Ikhlas adalah jalan terbaik untuk diri, agar senantiasa bahagia.
BAB I Cinta Salah Hanya Membawa Luka
[Pacaran 'tak menjamin, untuk kita bisa berjodoh dengannya.
Antara malaikat Izro'il dan jodoh, kita enggak ada yang tau, siapa yang akan melamar dengan segera.
Mari hijrah.
Karena cinta yang salah, hanya akan membawa luka.]
***
"Manisa, undangan!" teriak Bunda sambil mengetuk pintu kamarku.
"Iya, Bun...," sahutku dan segera bangkit dari tempat tidur membuka pintu. "Undangan dari siapa, Bunda?" tanyaku dengan tersenyum kuda.
"Bunda udah berkali-kali mengingatkan, untuk enggak pacaran!" Omel Bunda sambil menempelkan undangan di keningku.
Bunda adalah sosok wanita yang sangat kucinta. Setelah ayah tiada, kini kami hanya tinggal berdua. Kesalahan yang kubuatlah, yang membuat rumah ini tidak sunyi, akibat omelan Bunda.
"Aman, Bun ... Manisa akan selalu ingat pesan bundaku," Kucium kening Bunda dan segera masuk kamar meninggalkan Bunda dengan wajah yang masih kesal.
Ah rasanya sakit, tapi ada perasaan lega juga. Sakit, karena ia 'tak menepati janjinya, lega karena aku bebas dari dosa, karena cinta yang salah.
"Ya Allah, terima kasih karena Engkau telah menyadarkanku dari cinta yang salah. Semoga luka ini, menjadi penggugur dosa hamba." Kuelus dadaku sambil mengatur napas. Alhamdulillah, hati ini menjadi sedikit lega.
Kuambil hpku, sekadar melupakan dunia nyata dan masuk dunia maya. Iseng-iseng, aku liat isi story orang yang ada di sosial media. Semua isinya foto romantis dengan pacarnya. Iya, aku emang pacaran dulu, tapi kami gak pernah foto-foto romantis begitu. Kami pacaran, tapi dengan kedok pacaran syar'i. Padahal enggak ada itu pacaran syar'i, mau gimana pun, ya, tetap haram. Kalau normal aku sadar, kalau tengah dimabuk asmara, pasti aku lupa.
Tiba-tiba aja, tanganku terhenti, di story seorang wanita tanpa foto profil, yang isi story-nya berbeda dengan yang lain. Dengan foto alam dengan quotes yang sangat menampar, bagiku.
[ Percaya gak percaya, tapi inilah nyatanya. Bahwa cinta yang salah akan berbuah luka.]
Ngejlep banget, tepat sasaran. Bagus banget qoutes-nya. Tanganku langsung mengklik tanda balasan.
[Terima kasih untuk qoutes -nya. Semoga berbuah pahala, ya, Kak, niat baiknya.]
"Manisa!" teriak seseorang sambil menggedor-gedor pintu kamarku. Yang membuat jariku, tidak jadi mengirim balasan itu.
"Wih, bisingnya anak satu ini," gerutuku dan bangkit membuka pintu. Yang sebelumnya, kulemparkan hpku di atas kasur.
"Apa?" cetusku dengan kesal saat tiba dihadapannya.
"Kamu datang, gak? Tempat mantan mu," godanya sambil mencolek dagu tirusku.
Ini namanya Aisyah, sepupuku sekaligus sahabatku. Iya, dia emang suka usil, heboh, dan malu-maluin. Percayalah kalau dia malu-maluin. Dulu, kami pernah membeli skincare, karena harganya yang cukup mahal, jadi kami memutuskan untuk bagi dua. Iya skincare bagi dua, jadi setiap mau pakai, aku harus ke rumahnya. Ah, emang gak kerjaan banget sih itu, tapi demi wajah cerah, aku rela. Hiks, nyeselnya, padahal sama aja, tetap jomblo juga. Ah, jomblo lagi ....
"Aisyah, kamu ngapain?" tanyaku saat melihatnya yang tengah ngatak-ngatik comberan.
Bukannya dijawab, dia malah asik dengan kerjaannya itu, membuatku kesal dan berjalan menghampirinya.
"Iya!" teriaknya dan dengan menyilangkan tangan, untuk melindunginya. "Aku nyari sabun cuci wajah kita yang hanyut." lanjutnya dengan kecepatan kilat, karena takut dengan kayu yang aku pegang.
Tawaku pecah seketika, melihat wajahnya yang khawatir, takut, dan panik itu. Iya, sabun pencuci wajahnya itu tidak sabun cair, ia berbentuk batangan.
"Ketawa pula," ucapnya dengan kesal.
"Itu ngapain, dicari, Aisyah?" sahutku dan lanjut ketawa, aku gak bisa nahan ketawa, sampai perutku sakit.
"Ya, biar kamu gak marah," sahutnya.
"Terus kalau dapat?"
"Ya, aku aman. Kamu gak jadi marah,"
Oke, aku atur napas baik-baik. Mencoba menahan diri agar gak tertawa lagi.
"Aisyah," ucapku sambil memegang kedua pundaknya, agar wanita ini bisa mencerna perkataan ku dengan baik. "Kalau sabun-nya dapat, emangnya kamu mau pakai?"
"Hahaha," tawanya pecah seketika karena baru sadar dengan kebodohannya.
Alhamdulillah, akhirnya itu anak sadar juga. Aku hanya menggeleng-gelengkan kepala, gak abis pikir dengan sifatnya yang konyol itu.
"Ada apa, Mbak?" tanya seorang lelaki tetangga kami juga, dia seorang Hafidz muda.
"Eh, Mas. Gak ada apa-apa kok," sahutku kaget dengan kedatangannya, udah kaya hantu aja.
"Saya tadi dengar, kok ketawa-ketawa?" tanyanya yang masih heran.
Ah, berarti tadi ketawaku kedengeran dong? Ah, malunya aku. Aku hanya membalasnya dengan senyuman.
"Iya, Mas. Tadi saya nyari sabun cuci wajah kami," ucap Aisyah tanpa pikir panjang. Asal banget kalau ngomong. Tuh 'kan wajah lelaki itu tampak menahan tawa. Malu-maluin banget ni Aisyah.
Ah, kejadian itu gak bisa terlupa. Masih melekat dengan jelas di otakku.
"Datang," sahutku asal.
"Oke, mantap. Gitu dong, walaupun udah mantan, harus tetap jaga silaturahmi,"
"Iya," sahutku malas meladeni ucapannya.
Dia hanya tertawa dan pergi meniggalkanku, yang sebelumnya, ia colek lagi daguku. Huh, kesal banget punya teman seperti dia.
"Bagus, deh kalau pergi," gerutuku sambil memegang daguku yang habis, ia colek terus.
Kubaringkan badanku, yang semangkin kecil karena banyak beban pikiran. Ah, gara-gara belakangan ini suka mikirin dia, yang udah pasti gak mikirin aku. Ah, iya, aku baru ingat, tadi aku mau ngirim pesan. Segera kuambil hpku, ah sayangnya udah hilang, ini gara-gara Aisyah.
• "Aisyah," geramku sambil mengotak-ngatik hpku. Tetap saja, hasil nihil, aku gak dapat story dia lagi. Ah, mala aku lupa lagi, apa nama Facebook-nya.
"Semoga aja, nanti bisa ketemu lagi, ya, Allah,"
Segera kupejamkan mata ini, rasanya sangat lelah, padahal gak ada kerja apa-apa. Ah, entalah, belakangan ini, aku hanya ingin sendiri, makanya Bunda gak ada marah. Alhamdulillah, Bunda bisa ngertiin anaknya yang sedang patah hati.
***
"Tidak sah!" teriak ku saat melihat mantanku tengah akad, yang membuat semua orang menatapku.
"Manisa!" Aisyah menarik lengan bajuku, supaya aku sadar apa yang tengah aku lakukan. "Bukankah, tadi Kamu udah janji, gak akan merusak akad ini," bisik Aisyah di telingaku.
"Aku gak rela, Ais, Kamu gak tau apa yang aku rasakan," rengekku. Aku gak rela, dia udah janji ingin melamarku.
"Iya aku ngerti," Aisyah menatap dengan bingung. "Setidaknya, Kamu jangan malu-maluin dirimu sendiri."
Benar sih, katanya Aisyah, tapi aku beneran gak rela. Dia jahat kali.
Aku maju mendekati kerumunan, "Aku hamil, ini anakmu," lirihku yang membuat semua orang kaget.
Plakkk!!!
Tamparan keras yang mendarat dengan tepat di wajahku. Bunda, itu Bunda yang menamparku. Aku terus menatap Bunda dengan mata yang memanas, tampak raut wajah Bunda yang sangat marah. Sebelumnya, aku gak pernah melihat wajah Bunda semarah ini.
Aisyah memelukku erat, seolah-olah, ia lah yang tau, apa yang tengah aku rasa 'kan. Langsung kupeluk tubuhnya, menangis sekuatku. Berharap, semua rasa sakit ini akan ikut lepas, seperti tangisku.
"Manisa, Manisa ...," terdengar suara orang yang sedang memanggilku.
"Manisa, bangun!"
Aku langsung tersentak dari tidurku, tampak wajah Bunda yang bingung.
"Kenapa, nangis?" tanya Bunda.
"Ya Allah, ini semua mimpi," ucapku dalam hati.
Asli, aku sangat bingung, apa yang harus aku jawab. Gak mungkin, kan, aku jawab jujur.
"Makanya lain kali, kalau tidur baca doa," omel Bunda dan berlalu pergi.
Kubuang napas lega, ketika melihat Bunda pergi.
"Alhamdulillah," ucapku lega.
Ku tarik bantal ke pangkuanku, sambil mengatur napas. Bisa-bisanya aku mimpiin dia. Ngaku udah dihamili lagi, 'kan malu banget.
"Wih," Aku begidik, mengingat mimpiku. "Jangan sampai ini jadi kenyataan, ya Allah." doaku.
***
"Sudah siap?" tanya Aisyah dengan senyum ngejeknya.
"Udah," cetusku, kesel banget liat wajahnya.
"Senyum dong," goda Aisyah, nyolek daguku.
"Em...," kutunjukkan senyum kuda, yang masam tepat di hadapannya.
"Masam banget senyumnya. Yang manis dong, kaya namamu, Manis...,"
"Sa, Manisa! Jangan dikurangi," potongku.
"Hahaha, ya udah, ayo berangkat,"
Dengan malas, kuikuti langkah Aisyah sambil berdoa dalam hati, semoga aja mimpiku gak jadi nyata.
"Bismillah, huh," Aku membuang napas beratku yang terasa agak sesak.
Sesampainya kami di pernikahan Iqbal --Mantanku--. Kulihat, dia tampak bahagia, tanpa merasa bersalah. Ingin rasanya, kurobohkan ini pernikahan.
"Sadar Manisa," Aku menggelengkan kepala, jangan sampai aku berbuat hal yang tidak enak.
"Manisa!" panggil Aisyah, yang sudah masuk geng teman sekolah kami. "Sini," ajaknya sambil melambaikan tangan.
"Iya," Segera kulangkahkan kaki ini ke sana.
"Mantan-mantan," goda teman-temanku.
Sudah kuduga, pasti aku akan diejek. Aku sangat risih dengan semua ini.
"Em ... Gays, aku ada janji ni. Manisa, ayo kita beri kadonya," ajak Aisyah sambil menarik tanganku.
Aku tau, pasti dia peka dengan perasaanku. Aku tersenyum ke teman-temanku, sebelum pergi.
"Selamat, ya," ucapku kepada istri Iqbal, sambil tersenyum.
"Foto dulu," tawar Iqbal.
"Waduh, aku buru-buru ini," sahut Aisyah, yang membuatku mengurungkan niat untuk bicara.
"Sebentar saja," ucap istri Iqbal. Ah, istrinya sangat cantik dan rama.
"Maaf, ya," sahut Aisyah dan segera berlalu.
Kutersenyum sekali lagi, ke istrinya Iqbal dan menganggukkan kepala di depan Iqbal, sebelum pergi mengikuti langkah Aisyah.
"Aisyah, tunggu!" teriakku setelah keluar.
"Apa?" sahutnya.
"Makasih, ya,"
"Apaan?" tanyanya sok gak tau.
"Ulululu, tayang," godaku dan memeluknya.
"Selagi aku ada, aku selalu ngertiin, Kamu. Sekalipun, Kamu hanya diam," Aisyah membalas pelukanku dengan erat.
"Aku gak mau kehilangan, Kamu," rengekku melepas pelukan dan menatapnya.
"Egois," ejeknya.
"Plis ... jangan menghilang, udah cukup banyak yang menghilang di hidupku." Aku mengacungkan jari kelingking.
"Janji," sahutnya sambil menggapai jari kelingkingku.
"Kejar aku," ucapnya dan berlari meninggalkanku.
"Ais, jangan lari!" teriakku dan lari mengejarnya.
Aisyah terus lari sambil melihatku ke belakang.
"Aisyah! Awas!" teriakku kuat.
Sebuah mobil mewah, menabrak Aisyah sampai dia terguling beberapa meter.
"Aisyah!" Aku lari menghampiri Aisyah.
Satu persatu, orang datang menghampiri dan orang yang ada di mobil juga keluar.
"Tolong bawa ke rumah sakit, Pak!" pintaku, aku terus menetap Aisyah, yang kepalanya berlumuran darah.
"Maafin aku," lirih Aisyah, aku menggelengkan kepala, aku masih belum menerima semua ini.
Aisyah terus menatapku. Kuletak kepalanya kepangkuanku, dengan badan yang sudah bergetar, kutundukkan kepalaku, mendengarkan ucapan Aisyah.
"Maaf," lirihnya dengan napas yang hanya ada ditenggorokkan. "Kamu ... akan ... mendapatkan ... yang ... lebih ... baik," ucapnya terbata-bata dan tersenyum.
Dengan sekuat tenaga, aku membantu dia, mengucapkan dua kalimat syahadad. Tangisku pecah, sudah tak tertahankan lagi. Melihat Aisyah yang memejamkan mata-nya untuk terakhir kalinya.
***