Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
5.0
Komentar
603
Penayangan
18
Bab

Siti Laila as Sila, merupakan anak ustadz. Namun, karena orangtuanya sibuk dan tidak terlalu memperhatikan Sila, Sila menjadi anak yang keras. Di hadapan orangtuanya Sila seperti anak yang normal normal saja,tapi di belakang mereka Sila adalah sosok pendendam. "Aku mau berhenti balas dendam, aku mau tobat. Dosa aku udah banyak," lirih Sila melepaskan tangannya dari tangan Lucas. "Coba aja kalo mau keluarga lo hancur, tak bersisa." _________________________________ Ig.zaanyasima

Bab 1 Flashback

"Yahh kasian! Kamu enggak punya orang tua kan? Makanya ngambil raport sendiri," ujar salah seorang anak sambil menatap remeh gadis kecil yang menunduk di hadapannya.

"Dia itu punya mama-papa tapi, mama-papanya sibuk sama adik-adiknya," sahut teman di sampingnya. Sedangkan, 'dia' yang disebut tetap diam menunduk.

"Iya, makanya kamu jangan nakal. Jadinya mama kamu lebih sayang sama adik kamu."

"Mama kamu enggak sayang kamu, ya? Kasian!"

"Ayo, jangan main sama anak nakal."

Mendengar kata 'nakal' gadis kecil ini itu tak terima dan mulai menangis. "Hiks, mama aku sayang aku! Aku enggak nakal hiks," balasnya dengan sesenggukan. Dia benci dihina, dia sangat benci dicaci tapi, dia nggak tahu harus apa. Bahkan mamanya saja lebih sayang adiknya dari pada dia.

"Mama bohong hiks, mama bilang mama bakal datang hari ini tapi, mama malah nggak dateng. Aku benci dibohongi! Aku benci!" lirihnya dengan emosi.

Akhirnya, gadis kecil itu pulang ke rumahnya. Ia membawa rapotnya dan sertifikatnya yang tertera tulisan 'peringkat dua' di sana. Harusnya, dia senang karna bisa membuat mama-papanya bangga. Namun kini, dia sedih karena mamanya tidak datang mengambil rapotnya.

"Assalamualaikum, Lai pulang!" teriak gadis itu. Biasanya mamanya akan menghampirinya, tapi ini tidak ada tanda-tanda mamanya ada di rumah.

"Mama!" teriaknya lagi.

"Sini dek di dapur ada kakak, kakak lagi masak," ucap seseorang dari arah dapur kala mendengar Lai berteriak.

Lai celingak-celinguk, ia datang menghampiri kakaknya dan bertanya, "Mama mana, Kak?"

Sang kakak menghampiri Lai, melihat mata sembab Adiknya. "Kamu nangis? Kenapa?" Ia mengusap rambut adiknya dengan lembut. Lai yang ditanya malah semakin menangis.

"Mama mana?!"sentaknya.

"Astaghfirullah! Kamu kenapa? Mama sama papa pergi ke rumah Tante Dina, Tante Dina lahiran dek."

"Mama tadi bohong dan sekarang mama ninggali Lai. Mama jahat! Mama lebih sayang adek, mama lebih sayang tante. Mama jahat kak, mama jahat!" Lai menghentakkan kakinya, lalu meninggalkannya kakaknya menuju kamarnya.

"Mama bohong! Mama nggak ambil rapot Lai. Papa juga bohong, pergi nggak ajak Lai. Tante juga, katanya mau ajak Lai kalo lahiran, tapi mana? Semua bohong! Lai benci bohong! Lai benci semuanya! Lai benci!"

Gadis itu menangis, tak mengeluarkan suara lagi. Mungkin sudah lelah, karena dari tadi dia sudah menangis lama, dia beranjak ke kasur motif angsanya dan mulai tertidur. Gadis itu meringkuk di bawah selimutnya. Perlahan kelopak matanya mulai terpejam.

"Kamu enggak boleh dihina, kamu anak pintar. Kamu harus kuat, kamu enggak akan bisa lagi dibohongi. Kamu pasti bisa semangat." Suara itu, suara bisikan yang terdengar asing di telinga Lai. Lai tidak tau itu bisikan dari siapa. Yang pasti, bisikan itu membangkitkan sesuatu di dalam diri Lai.

***

Dua anak kecil sekitar umur sembilan tahun sedang mengobrol di taman main.

"Aku kemarin dengerin mama baca koran, katanya ada psikopat," ucap salah satu anak berambut panjang digerai, dengan bando sebagai aksesorisnya.

"Hush, kamu diam!" sarkas kasar salah satu anak lain yang berambut pendek. Ia mendekatkan mulutnya ke telinga anak berambut panjang tadi. "Kamu tau nggak kenapa aku selalu ikut Eja ke mana-mana? Eja nyuru apa pun aku turutin?"

"Enggak tau, emang kenapa?" tanya anak itu penasaran, sambil memperbaiki bandonya yang miring karna ulah temannya.

"Dia itu psikopat. Jadi kalo kamu mau selamat, kamu harus nurutin semua kemauan dia, kalo engga dia bakal bunuh kamu!"

"Aku nggak mau dibunuh," gumam anak itu.

Tiba-tiba seorang anak laki-laki datang dengan kacamata hitam melekat di matanya. "Heh kalian! Lagi ngapain aku mau jajan kalian ikut nggak?"

"Ayo kita ikut! takut dia marah," ucap anak berambut pendek.

"Iya ayo." Mereka berlari menuju laki-laki berkacamata itu. "Kamu kalo butuh aku bilang aku nggak akan nolak."

Anak laki laki itu merasa heran, lalu mendapat bisikan dari si rambut pendek dan akhirnya paham. Setelah kejadian itu, anak berambut panjang sering disuru-suru oleh kedua anak tadi. Sampai tiga hari kemudian, anak perempuan berambut panjang di suru membeli jajanan di warung, dan anak laki-laki ditinggal sendirian di taman. Setelah anak perempuan kembali, dia melihat ada orang dewasa yang menarik narik anak laki-laki terlihat seperti akan terjadi penculikan.

Perempuan berambut panjang bersembunyi di semak semak. Setelah berancang-ancang ia berteriak, "Eh, om polisi di sini aja mainnya di taman!"

Penculik tadi panik dan mengurungkan niatnya untuk menculik. Anak perempuan itu pun menghampiri anak yang hampir diculik tadi. "Kamu nggak papa?"

"Aku gak papa makasih," ujar anak laki laki dengan tatapan bersalah.

"Sama-sama, nih jajan kamu." Perempuan itu menyodorkan keresek hitam yang sedari tadi ia pegang.

Laki-laki itu menggeleng. "Buat kamu aja, aku minta maaf karna udah bohongin kamu. Sebenarnya, aku bukan psikopat. Aku bohong sama kamu, biar kamu nurut sama aku. Aku minta maaf," ucapnya sambil menunduk.

Anak perempuan syok mendengarnya dia merasa ditipu, dibohongi, dipermainkan, "Kamu jahat!"

Anak itu pergi meninggalkan anak laki-laki yang menangis. Dia berlari tak tau arah sambil meneteskan air mata. Gadis kecil yang benci kebohongan, benci dikhianati dan diperlakukan semena-mena. Larian kecil berubah menjadi langkah, karna kecapean. Ia terus menangis, sampai tak sadar jika dia tersesat. Gadis kecil itu melihat sekitar mengusap air matanya menahan diri untuk tak mengeluarkan suara. Namun sia-sia, air matanya terus menetes karna ketakutan.

Dia menyadari jika dia berada di tempat sepi sendirian. Ada rumah yang tak jauh dari pandangannya. Namun, rumah itu nampak tak berisi, terkesan horor. Rumah yang penuh dengan sarang laba-laba, berdebu dan sangat kumuh. Tangisannya mulai bersuara dan kakinya tak tau harus berjalan ke arah mana, melihat sekitar tak ada orang di sana.

"Lai hiks kuat, Lai kuat hiks," lirihnya meyakinkan dirinya sendiri.

"Woy, berisik!"

Teriakan itu membuat tubuh Lai bergetar, tangisnya semakin kencang. Seorang remaja datang dengan wajah kesalnya. Namun, Setelah remaja itu melihat ke arah Lai, mimik wajahnya berubah. Dia tersenyum tulus dan segera menghampiri Lai.

"Hei, kamu kenapa? Jangan takut ayo ikut kakak, nanti kakak anterin kamu pulang!" Hibur remaja itu sambil mengusap bahu sang anak.

Gadis itu meredakan tangisannya. "Lai takut ... Lai hiks ... tidak tahu jalan hiks untuk pulang."

Sang remaja itu paham dengan apa yang dikatakan Lai. "Gak papa, kamu tinggal di mana? Nanti kakak anterin."

"Aku tinggal di komplek xxx."

"Ya udah sekarang ikut kakak jalan-jalan dulu, mau enggak? Biar kamu nggak sedih lagi. "

Lai mengangguk antusias. "Mau, Kak."

***

Lai menangis kencang, setelah mendapat kabar bahwa sang kakak pergi ke Jakarta tanpa pamit padanya. Dia marah, tentu saja. Kecewa, apalagi. Untuk kesekian kalinya, lagi-lagi dia telah dibohongi oleh orang terdekatnya.

Mamanya mendekat ke arah gadis itu mengusap-usap punggungnya lembut, "Udah sayang kakak kamu ke Jakarta buat kerja, biar bisa dapat uang buat kamu sama adek kamu sekolah."

Bukannya mereda tangisan gadis itu malah mengencang. "Kakak bohong, Mah! Kakak bohong, kakak bilang dia bakal temenin aku tidur. Dan Kakak malah ninggalin aku, padahal kakak udah janji nggak bakal ninggalin aku."

"Enggak sayang kakak kamu enggak bohong, kakak kamu engga ninggalin kamu, dia masih ada di sini di hati kamu." Mamanya menunjuk ke arah dada Lai. "Kita masih bisa video call atau telponan. Kakak kamu juga bakal pulang sebulan sekali. Jadi kamu jangan merasa kalo kakak kamu ninggalin kamu ya."

Tangisannya mulai mereda, Lai juga mulai menghapus air matanya kemudian menganggukkan kepalanya. "Aku boleh main nggak, Mah? Aku mau jalan-jalan liat pemandangan di luar."

"Emang kamu enggak capek, tadi kan habis nangis?" tanya sang Mama.

Lai menggelengkan kepalanya. "Enggak mah, aku cuma mau main sama kakak ganteng biar aku seneng boleh ya?"

"Boleh, tapi mandi dulu sana!"

"Yeay! Main sama kakak ganteng."

Lai nampak sangat bersemangat, seolah melupakan kakaknya dan tangisan bawang bombai yang tadi. Dengan alasan, karna dia bisa ketemu dengan kakak gantengnya, orang yang pernah mengantarkan dirinya pulang dengan ketika dia tersesat.

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku