Lantaran tunangannya meninggal akibat kecelakaan naas, Vincent harus mencari wanita lain untuk menjadi istri dan melahirkan anak untuknya. Tapi Vincent tidak semudah itu melupakan wanita yang dicintainya. Di saat yang sama, Tiffany baru saja dikhianati juag ditipu oleh pria yang dicintainya bertahun-tahun. Ia membutuhkan uang untuk melunasi hutang yang ditinggalkan pria kurang ajar itu. Lantas, ketika Vincent memintanya untuk melahirkan anak untuknya dengan bayaran setimpal, apakah Tifa akan menerimanya? Apalagi setelah melalui malam-malam panas bersama pria itu.
Pria muda itu gagah, tampan, tubuhnya pun tercetak kesempurnaan. Walaupun tersembunyi di balik kaos putihnya, tapi mata Tifa samar-samar dapat melihatnya. Yang makin membuat Tifa iri adalah pandangan matanya yang hangat, lembut, dan terpercik rasa cinta yang mendalam pada seorang wanita yang terbaring lemah di ranjang rumah sakit.
"Aku serius waktu melamarmu, Flo. Aku mencintaimu dan ingin kamu menjadi istriku," seru pria itu lamat-lamat.
Wanita muda itu walaupun dipenuhi alat-alat medis di sekitarnya dan terlihat rapuh, tapi serta-merta berusaha tampil kuat dan tersenyum pada pria itu, "Justru karena itu, Vins. Aku juga mencintaimu. Kebahagiaanmu paling penting. Tetaplah melanjutkan mimpi kita walau tanpa aku."
Tifa berasa sedang menonton drama Korea langsung di hadapannya. Pria yang tadi dipanggil Vins itu, betul-betul sempurna menjadi pemain utama pria. Tifa berharap bisa memeluk punggung gagah itu sekali saja. Atupun merasakan genggaman tangannya yang gagah dan seakan bisa melindunginya dari peluru nyasar sekalipun.
Sumpah demi apapun, Tifa ingin berganti posisi dengan wanita itu.
Deringan ponsel Tifa yang bergetar heboh di saku celananya, seketika memupuskan harapan manis tadi. Baru saja Tifa akan menolak panggilan tersebut dan mematikan ponselnya, tiba-tiba tangan kokoh yang tadi ia amati dari jarak aman tersebut merebut paksa ponselnya.
"Siapa kamu?! Berani-beraninya kamu masuk ke kamar orang!" sergah pria itu itu dengan tegas beserta tatapan matanya yang memicing tajam padanya.
Tifa terenyak dalam diam. Selain fakta baru bahwa parfum pria itu yang begitu maskulin dan sangat memabukkan, suaranya benar-benar terdengar berwibawa, dan ketampanannya sudah nggak bisa diragukan lagi.
"Kamu bisu, tidak bisa menjawab pertanyaan saya?! Hah?" kali ini Vins mencengkeram tangan kanan Tifa keras-keras.
Lagi-lagi, Tifa hanya bisa diam dan meringis. Sekalipun remasan tangan Vins begitu kencang, masih saja Tifa menyisakan sedikit kekagumannya pada pria menawan di hadapannya ini.
Persis sejak pertemuan tak terduga, kehidupan keduanya tak sama lagi.
***
Dua puluh menit yang lalu,
Kejar-kejaran dengan satpam atau staf Rumah Sakit sudah menjadi hal biasa bagi Tifa. Malah sepertinya aktivitas tersebut menjadi rutinitas hariannya. Seperti saat ini, ketika seorang satpam bertubuh gempal yang sangat antusias mengejarnya. Mungkin dendam kesumat pada Tifa lantaran pengejaran-pengejaran lalu nggak membuahkan hasil, malah pria itu yang ditegur atasannya. Tentu saja kecepatan serta ketangkasan wanita muda seperti Tifa nggak bakal bisa disamakan dengan Pak Rambo, pria gempal berusia nyaris empat puluh mungkin.
Rambut kuncir kuda Tifa bergoyang ke sana ke mari, tatkala ia memicingkan pandangannya ke seluruh arah. Mengawasi segala sudut. Siapa tahu, staf rumah sakit mencekal tangannya tiba-tiba tanpa bisa ia duga kemunculannya. Saking sengitnya ajang lari-larian siang ini, Tifa bahkan lupa sudah berada di bagian bangunan mana rumah sakit. Ada di lantai berapa juga ia tak ingat sama sekali.
Tapi nggak ada waktu untuk menebak-nebak lantaran Tifa sedang diburu segelintir manusia yang sedang memakinya juga menyumpahinya segala kata-kasar. Aduh, menjual jus buah organik termaksud dosa besar ya?
Iya sih, kalau kamu lakukan di rumah sakit tanpa meminta izin dari pihak berwenang.
Apalagi sudah diperingatkan berulang-ulang oleh pihak rumah sakit.
Bukan Tiffany Lesmana namanya kalau menyerah semudah itu.
Masih dengan napas ngos-ngosan luar biasa, Tifa menyender beberapa saat pada tembok di sebuah sudut. Ia berniat untuk mengatur napas sebentar, berpikir untuk rute pelarian dan strategi apa yang harus ia lakukan di situasi sekarang. Namun, segala rencana itu mendadak buyar. Lantaran samar-samar ia mendengar percakapan beberapa staf rumah sakit yang familiar.
Datangnya dari ujung lorong, posisi Tifa saat ini masih tertutupi tembok.
Tapi kan berharap sama dewi keberuntungan itu nggak mudah ya. Cara kerjanya pun nggak bakal bisa kita prediksi. Makanya terkadang kita perlu mengusahakan yang terbaik untuk diri kita sendiri.
Diliputi rasa panik yang luar biasa, akhirnya Tifa segera berlari menuju pintu di salah satu selasar lantai rumah sakit ini. Pintu itu nyaris saja tertutup kalau tidak buru-buru Tifa tahan dengan kakinya. Sepertinya baru saja ada yang masuk ke kamar tersebut.
Seketika, Tifa berdoa lamat-lamat dalam hatinya. Berharap bukan salah satu perawat maupun staf rumah sakit lainnya yang sudah familier dengan wajahnya. Kali ini kalau sampai tertangkap lagi, ia nggak tahu harus berkelit dengan alasan apa lagi.
Rupanya tanpa disadari Tifa, langkahnya menuntun pada sebuah takdir lain.
Sebuah kamar kelas satu dengan seorang pasien yang merupakan wanita muda dan tunangannya, seorang pria tampan yang menawan.
***
Tak ada yang lebih menyakitkan ketika sebuah kenyataan pahit terucap. Kebohongan paling manispun kalah oleh sebuah kenyataan bahwa hidup tidak akan lebih lama lagi. Perpisahan selamanya. Tidak bisa lagi bertemu kehidupan.
"Pokoknya aku yakin dengan keputusanku!" sergah Vins tegas. "Nggak ada yang bisa mengubahnya. Makanya kamu nggak perlu berusaha keras untuk membujukku."
Mendengar pernyataan tegas pria tersebut, gadis itu malah tertawa lembut. Bahkan suara tawanya selembut kebaikan hatinya, yang selalu bisa membuat Vins terpesona dan jatuh cinta berkali-kali pada wanita itu. Sialnya, wanita itu menggunakan tawanya untuk membuat Vins selalu kalah. Padahal tadi ia sudah latihan untuk terdengar judes dan galak.
"Siapa sih yang bisa menolak lamaran Vincent Kyler?" seru Flo dengan jail. "Aku benar-benar jadi cewek paling beruntung se-Indonesia nih."
Hilang sudah mimik tegas dan aura galak yang setengah mati telah Vins latih. Demi acara wisudanya lusa nanti, nyaris semalaman ia melatih ekspresi galaknya di depan cermin. Agar terlihat meyakinkan sedang marah pada gadis pujaannya, Flora Sarasvati.
"Aku benar-benar serius, Flo."
"Ya, sayang. Aku dengar kok," jawab Flo sambil mengelus lembut bunga-bunga matahari yang terletak di dalam vas yang ada di meja sebelah kiri ranjangnya.
Dari semua jenis bunga, Flo paling suka bunga matahari. Selain warnanya kuning, yang merupakan warna kesukaan Flo, bunga matahari adalah bunga paling cantik yang pernah ia lihat. Nampak serasi jika disatukan dan berdiri pada arah yang sama, menuju matahari sesungguhnya. Seperti dirinya yang kerap mengikuti arah Vins pergi.
"Sebentar saja, Flo, aku pengin kamu percaya aku serius. Tentang rencana pernikahan kita. Kenapa sih kamu selalu mengalihkan topik ini?" sergah Vins kemudian menghela napas dan duduk di pinggir ranjang rawat inap Flo. "Aku serius waktu menyatakan bahwa aku mencintaimu dan menginginkanmu jadi istriku. Seperti rencana yang telah kita susun. Masa depan yang kita harapkan selama ini."
"Rumah berlantai kayu dengan halaman luas karena kamu ingin main kejar-kejaran dengan anak kita. Ayunan gantung serta kolam renang supaya kamu bisa santai beberapa saat setelah bekerja. Sampai akhirnya kamu masuk ke rumah karena mencium harum kentang balado dan tumis kangkung kesukaanmu," sambung Flo sambil bersandar pada lengan kanan Vins.
"Di manapun, Flo. Asal bersama kamu dan anak-anak kita. Keluarga kita." Vins meyakinkan Flo sekali lagi sambil memegang kedua tangannya.
Hening beberapa saat. Flo memerhatikan kedua mata cokelat tua milik Vins. Tatapan hangat itu masih ada. Seperti dulu saat pertama kali Flo bertemu Vins di koridor fakultas ekonomi. Pria di hadapannya ini masih Vins yang sama. Pria yang ia yakini akan mengisi masa depan dan hari tuanya nanti.
Menjadi kekasih Vincent Kyler bukan sesuatu yang mudah. Reputasi keluarga Vins yang sudah mendunia mengalahkan reputasinya sebagai model yang baru saja naik daun kala itu. Namun, empat tahun telah berlalu. Berbagai ujian telah mereka lalui. Kini, mereka yakin dan mantap akan melangkah ke jenjang yang lebih serius.
Sampai vonis sialan itu menggagalkan segala rencana itu.
"Aku serius waktu melamarmu, Flo. Aku mencintaimu dan ingin kamu menjadi istriku," seru Vins sambil menggenggam tangan Flo erat-erat.
Flo berusaha tersenyum, menahan pedih yang berteriak di dalam hatinya. "Justru karena itu, Vins. Aku juga mencintaimu. Kebahagiaanmu paling penting. Tetaplah melanjutkan mimpi kita walau tanpa aku." Flo mengusap-usap pipi prianya dengan lembut. Vins paling menyukai saat Flo mengelus lembut pipinya.
Tifa yang sejak awal meringkuk di balik tirai hijau yang menjadi pembatas antara ruangan tempat ranjang tersebut dan pintu keluar, menelan ludah berkali-kali. Ia seperti menyaksikan langsung salah satu adegan drama Korea.
Bab 1 Dasar Egois!
12/05/2022