Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
MUTIARA LEMBAH HITAM

MUTIARA LEMBAH HITAM

Randu

5.0
Komentar
502
Penayangan
66
Bab

Terlahir dari rahim wanita penghibur profesional dan terpaksa hidup berpindah dari satu keluarga ke lain keluarga, menorehkan masa kecil menyakitkan yang membuat Nesa menjadi pribadi dingin dan tak mampu merasakan kehangatan cinta. Namun ia bertekad merubah nasib. Melalui perjuangan panjang yang menyisakan banyak trauma, ia berhasil menjadi pengacara dan akhirnya bertemu Raga, laki-laki yang mampu membuatnya jatuh cinta. Di tengah rencana pernikahan yang sedang mereka rancang, pertemuan kedua keluarga membuat impian mereka berantakan. Tiba-tiba Ibu Nesa dan Ayah Raga menentang pernikahan mereka. Sang Ibu bahkan dengan gamblang menyatakan mereka adik kakak ! Pernyataan yang menghempaskan harapan dan menyibak berbagai rahasia gelap dalam kehidupan mereka.

Bab 1 Cinta Sedarah

"Kalian tidak boleh menikah. Kalian adik kakak!"

Susan memutuskan memberitahu fakta mengerikan itu. Ia tak boleh menyimpan rahasia itu lebih lama. Dengan perasaan campur aduk dan wajah tegang, ia menatap putrinya dengan gelisah. Susan tahu ucapannya sangat menyakiti, tapi ia tak punya pilihan.

Nesa dan Raga tak boleh menikah. Ia tak boleh memberi mereka restu. Tak akan pernah.

Jika tak segera dicegah, langit dan bumi akan murka. Alam mengutuk dirinya. Setan akan berpesta pora menyaksikan dua anak manusia sedarah melakukan hubungan terlarang.

Itu tidak boleh terjadi!

Semua salahnya. Ini hukuman akibat dosa masa lalunya. Jika saja ia bisa memutar waktu dan boleh memilih takdir sendiri, ia ingin menjalani hidup normal seperti orang kebanyakan.

Namun takdir yang memilihnya. Takdir yang terus menyisakan kepedihan dan luka yang seolah tak kunjung usai.

Bahkan setelah meninggalkan lembah hitam, dosa itu terus mengikuti. Tak cukup menghukum dirinya, kini sang putri ikut menanggung akibatnya.

Susan menyeka keringat yang jatuh di pelipisnya.

"Hubungan kalian aib. Kamu harus putus dengan Raga. Tak peduli sebesar apa cintamu pada dia, sudahi semua!"

Nesa menatap Susan dengan mata tak berkedip. Mulutnya bergetar, tak percaya apa yang baru saja ia dengar. Ibu pasti bercanda. Ia anak tunggal. Ia tidak memiliki saudara. Ia berusia dua puluh tujuh tahun, dan tak pernah mengenal Raga sebelumnya. Ia bertemu laki-laki itu enam bulan lalu. Mereka saling jatuh cinta dan tengah merencanakan pernikahan.

"Ibu becanda kan?" Ia mendekat dan meraih tangan Susan. Berharap semua cuma guyonan.

Susan tampak gelisah. Ia berkali-kali menyeka keringat. Padahal mereka berada di ruang berpendingin di kamar Nesa yang nyaman.

"Maaf Nes. Kamu tidak boleh menikah dengan Raga."

Nesa berharap Susan salah. Ya. Ibu pasti salah. Tak mungkin Raga kakaknya.

"Bagaimana mungkin, Bu? Tolong jangan begini. Raga satu-satunya laki-laki yang pernah aku cintai. Jangan becanda, Bu. Lagipula sebelumnya Ibu tidak pernah mempermasalahkan. Kenapa tiba-tiba bicara begini? Apa maksud Ibu?" Nesa menatap Susan dengan nanar. "Ibu sudah ketemu kedua orang tua Raga. Mereka juga sudah merestui. Kenapa sekarang Ibu bicara sesuatu yang tidak masuk akal?"

Susan menatap putrinya. Ada rasa iba. Namun ia harus tegas. Pernikahan mereka tetap harus dicegah.

"Raga kakak kamu!"

"Kakak? Kakak dari mana? Kenapa tiba-tiba ia jadi kakakku? Lelucon apa ini, Bu? Ibu harus menjelaskan semuanya!"

"Aku tidak harus menjelaskan apa pun pada kamu. Pokoknya batalkan pernikahan kalian!"

Wajah Nesa membara. "Aku pikir Ibu benar ingin aku bahagia. Tapi ternyata aku salah. Ibu tidak pernah berubah. Sejak kecil aku diperlakukan semena-mena. Aku dibuang, dicampakkan dan dibiarkan menderita, sementara Ibu bersenang-senang. Kini Ibu masih belum puas juga. Masih ingin menghalangi kebahagiaanku satu-satunya. Apa sebenarnya maumu, Bu?" Napas Nesa tersengal-sengal menahan amarah yang menggelegak di dalam dada. "Aku tidak pernah mengusik kehidupan dan masa lalu Ibu, tapi kenapa Ibu melakukan ini padaku?"

Nesa meremas telapak tangannya yang basah oleh keringat. Meskipun sangat ingin menahan diri, namun kemarahan itu meledak juga. Kemarahan yang telah ia pendam sejak sekian lama.

"Aku tidak pernah melawan Ibu, tidak pernah menyusahkan Ibu. Tapi aku juga tidak terima Ibu semena-mena begini. Sudah cukup penderitaanku, Bu. Jangan Ibu tambah lagi dengan sikap egois yang sangat menyakiti hati."

Seketika kamar itu berubah menjadi sempit dan sesak. Hembusan pendingin ruangan pada suhu delapan belas derajat tak mampu membuat hati anak beranak yang sedang panas itu menjadi dingin.

Keduanya saling tatap dengan wajah memerah.

"Setidaknya tolong jelaskan mengapa ibu bilang Raga kakakku?"

"Tidak ada yang perlu aku jelaskan. Pokoknya dia kakak kamu. Kamu tidak boleh menikah dengan dia!"

"Terus Ibu berharap aku percaya begitu saja? Memutuskan hubungan dengan laki-laki yang aku cintai hanya karena Ibu bilang kami bersaudara? Tanpa tahu faktanya? Bodohkah aku di mata Ibu?"

Nesa semakin geram dengan keegoisan Susan.

"Aku tidak bilang kamu bodoh. Aku tahu kamu pintar. Cerdas. Makanya kamu jadi pengacara. Tapi dalam hal ini kamu tidak berhak mencintai Raga!"

"Aku tidak percaya. Aku tidak punya kakak. Aku bahkan tidak punya ayah."

Mendengar kata-kata terakhir, Susan mendadak berdiri dan hendak berjalan keluar. Ia tak mau melanjutkan pembicaraan yang semakin memanas.

Nesa mendahului berdiri di depan pintu, menghadang Susan agar tidak keluar kamar.

"Jelaskan, Bu!"

"Tidak! Yang jelas kamu harus memutuskan hubungan dengan Raga. Secepatnya!"

Susan menepis tubuh Nesa dan berlalu meninggalkan ruangan.

Pertemuan tiga hari lalu tak pernah ia bayangkan akan berakhir rumit. Ayah calon suami Nesa ternyata Pram. Laki-laki yang pernah sangat ia cintai. Hatinya sakit setiap kali ingat laki-laki itu. Di dunianya yang gelap, Pram pernah membawa setitik cahaya terang dan segenggam harapan. Namun pada akhirnya, ia harus sadar diri. Pram terlalu jauh dari jangkauan. Dunia mereka sangat berbeda.

Orang-orang seperti dirinya, harus rela menerima sepahit apapun kenyataan yang menimpa. Wanita sepertinya tak lebih dari sekedar pelepas dahaga di saat haus melanda. Bak seonggok sampah, setelah tak berguna, dicampakkan begitu saja. Rasa sakit itu bahkan masih terasa hingga kini.

Susan sudah mengubur masa lalunya. Namun rencana pernikahan Nesa dan Raga membuat ia kembali bertemu Pram. Bagai disambar petir, ia terpana menatap ayah calon menantunya, calon besannya.

"Takdir memang senang bermain-main dengan nasibku dan nasib anak gadisku," batinnya nelangsa.

Sementara itu, Nesa yang shock dengan pernyataan Susan, bergelung di tempat tidur. Hatinya sakit. Jiwanya terluka. Semua terlalu berat untuk ia terima. Kata-kata Susan bagai godam yang menghantam tepat di ulu hatinya. Seketika ia merasa limbung. Ia mencengkram seprei tempat tidur dengan kuat.

Tubuhnya terasa ringan, namun kepalanya sangat berat.

Nesa tahu masa lalu ibunya tidak bersih. Susan pernah bergelimang dosa di dunia yang teramat kotor dan menjijikkan. Namun mengatakan Raga kakaknya sungguh tak masuk akal. Laki-laki itu satu-satunya pria yang pernah singgah di hatinya. Ia bahkan nyaris memilih hidup melajang karena tak mampu merasakan getar cinta kepada setiap laki-laki yang coba mendekatinya.

Masa kecil yang menyakitkan telah menorehkan trauma yang teramat mencekam dalam hidup Nesa. Ia tumbuh dalam keluarga tidak normal. Ia tak pernah mengenal ayah. Ia hanya tahu begitu banyak om-om teman ibu yang datang ke rumah. Mereka bergantian datang dan keluar masuk kamar Susan. Terkadang hanya beberapa jam, namun tak sedikit yang tinggal hingga keesokan harinya.

Nesa bahkan pernah mengalami saat-saat sangat menakutkan ketika om-om itu merangsek ke kamarnya saat mabuk. Ia harus berjuang keras membela diri saat teman Susan mendobrak pintu kamarnya yang tertutup rapat. Tubuhnya selalu merinding jika ingat semua yang pernah dialaminya di masa lalu. Semua itu masih terbayang dengan jelas, dan membuat kepalanya terasa kian berat.

Sekarang, saat ia mulai melupakan masa-masa gelap itu, dan mencoba membuka hati untuk seorang pria, tiba-tiba ibu mengatakan mereka adik kakak.

"Drama apa yang sedang kau mainkan, Bu?" lirihnya.

***

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku