/0/31172/coverbig.jpg?v=452ddc1055e6a2463afd92da6bf9685b&imageMogr2/format/webp)
Selama dua tahun terakhir, Kalila menganggap bahwa berbagi rezeki dengan keluarga suaminya, Arkan, adalah bentuk bakti yang tulus. Sebagai wanita karier yang sukses, ia tak keberatan menyokong gaya hidup mertuanya hingga cicilan yang tak ada habisnya. Meski sahabat-sahabatnya sudah berkali-kali mengingatkan bahwa ia hanya dijadikan "sapi perah" oleh keluarga Arkan, Kalila tetap bergeming karena percaya pada kekuatan cinta. Namun, perlahan tabir itu terbuka. Kalila mulai merasa lelah saat jerih payahnya hanya dianggap sebagai kewajiban yang tak perlu diapresiasi. Puncaknya, ia memutuskan untuk "mati rasa" dan menutup semua akses finansialnya. Tidak ada lagi uang belanja mewah untuk mertua, dan ia tak peduli lagi saat uang kuliah adik iparnya terancam menunggak. Kalila memilih berhenti menjadi pahlawan bagi mereka yang tak tahu cara berterima kasih. "Saat kesetiaan dibalas dengan eksploitasi yang tak berujung, apakah ego masih pantas disalahkan jika seseorang memilih untuk pergi menyelamatkan dirinya sendiri?"
Lampu meja kerja masih menyala, satu-satunya sumber cahaya di ruang tengah yang mulai terasa sunyi. Kalila menyandarkan punggungnya ke kursi kayu yang mulai terasa keras di tulang belikatnya. Matanya perih, efek menatap layar laptop selama hampir dua belas jam hari ini. Namun, di balik rasa lelah yang menghimpit, ada senyum tipis yang tak bisa ia sembunyikan. Di samping laptopnya, tergeletak sebuah map biru berisi surat keputusan resmi: Kalila kini menjabat sebagai Senior Manager Pemasaran.
Kenaikan jabatan ini bukan cuma soal gengsi. Ini soal angka di rekening yang bakal bertambah, soal bonus yang lumayan besar, dan yang paling penting, soal pengakuan atas semua lembur dan keringatnya selama ini. Kalila membayangkan wajah Arkan saat mendengar kabar ini. Ia membayangkan pelukan hangat suaminya, mungkin sebuah makan malam romantis sederhana, atau sekadar ucapan, "Aku bangga banget sama kamu, Sayang."
Kalila melirik jam dinding. Sudah pukul delapan malam. Arkan belum pulang, padahal katanya hari ini kantornya tidak ada lembur. Kalila memutuskan untuk tidak mengirim pesan lagi. Ia ingin memberikan kejutan. Ia beranjak ke dapur, menuangkan air putih, lalu mulai memikirkan restoran mana yang ingin ia datangi besok untuk merayakan pencapaian ini. Mungkin tempat steak yang dulu pernah mereka datangi saat baru jadian.
Suara kunci pintu berputar memecah lamunan Kalila. Arkan masuk dengan wajah yang tampak kusam, kemejanya sudah keluar dari ikat pinggang, dan tas kerjanya disampirkan asal-asalan di bahu.
"Baru pulang, Mas?" sapa Kalila, mencoba menjaga nada suaranya agar tetap ceria.
Arkan hanya bergumam tidak jelas, melepas sepatunya tanpa menoleh. "Iya, macet parah. Mana laper banget lagi. Ada makanan nggak?"
Kalila agak kecewa dengan sambutan dingin itu, tapi ia berusaha maklum. Mungkin Arkan sedang banyak masalah di kantor. "Ada tadi aku pesen ayam bakar, aku panasin dulu ya. Eh, Mas, aku ada kabar bagus."
Arkan duduk di sofa, langsung mengeluarkan ponselnya dan mulai asyik membalas pesan. "Kabar apa?" tanyanya tanpa mengalihkan pandangan dari layar.
Kalila mendekat, membawa map biru tadi dan meletakkannya di atas meja kopi tepat di depan Arkan. "Coba liat deh."
Arkan melirik map itu sebentar, lalu membukanya dengan malas. Matanya menyisir baris-baris tulisan di sana. "Senior Manager? Wah, naik jabatan lagi kamu, Kal? Hebat ya."
"Iya, Mas. Akhirnya perjuanganku nggak sia-sia. Gaji pokoknya naik tiga puluh persen, terus ada tunjangan posisi juga. Besok kita makan enak yuk? Aku yang traktir," ujar Kalila dengan semangat.
Arkan meletakkan map itu kembali ke meja. Alih-alih senyum lebar atau pelukan yang Kalila harapkan, Arkan justru menghela napas panjang-tipe helaan napas yang biasanya menjadi pembuka sebuah permintaan.
"Wah, pas banget kalau gitu, Kal," kata Arkan. Suaranya tiba-tiba berubah, tidak lagi datar, tapi lebih... manis. Ada nada persuasif yang sangat familiar di telinga Kalila.
Kalila mengernyit. "Pas banget gimana?"
"Itu... Ibu tadi sore telepon aku. Dia nangis-nangis," Arkan menggeser duduknya agar lebih dekat dengan Kalila. "Katanya dia malu banget pas acara arisan tadi siang. Semua temennya pamer tas baru, cuma Ibu yang masih pake tas lama yang udah ngelupas kulitnya. Terus Dimas juga butuh uang buat bayar kegiatan kampus yang katanya wajib. Aku bingung mau bantu pake apa, gaji aku bulan ini udah mepet banget buat bayar cicilan motor sama iuran lingkungan."
Senyum di wajah Kalila perlahan luntur. Ia merasa seperti baru saja disiram air es di tengah euforia-nya. "Mas, aku baru aja ngasih tau soal kenaikan jabatanku. Kamu bahkan belum nanya gimana perasaanku atau seberapa capek aku bulan ini. Kok langsung bahas tas Ibu sama uang kuliah Dimas?"
Arkan langsung memasang wajah defensif. "Lho, kok kamu ngomongnya gitu? Ya aku kan bangga sama kamu, tapi ya realistis aja, Kal. Sekarang kamu punya uang lebih, apa salahnya kita bantu keluarga? Ibu itu orang tua aku juga, orang tua kamu sekarang. Dimas itu adek aku. Masa kita tega liat mereka kesusahan sementara kita malah foya-foya makan enak?"
"Bukan mau foya-foya, Mas. Aku cuma pengen ngerayain hasil kerja kerasku sendiri. Dan soal Dimas, bukannya bulan lalu aku udah kasih uang lebih buat biaya bukunya? Masa sekarang ada tagihan lagi?"
"Ya namanya juga anak kuliahan, Kal. Banyak pengeluaran nggak terduga. Kamu kan dulu juga kuliah, harusnya paham lah," Arkan mulai menggunakan nada bicara yang membuat Kalila merasa bersalah. "Terus soal Ibu, tas yang dia mau itu nggak seberapa kok dibanding kenaikan gaji kamu. Mereknya itu lho, yang lagi tren di kalangan ibu-ibu arisannya. Biar Ibu nggak minder lagi."
Kalila terdiam. Ia menatap Arkan yang kini menatapnya penuh harap. Di kepala Kalila, ia mulai menghitung. Kenaikan gajinya memang lumayan, tapi ia punya rencana untuk mulai menabung lebih banyak untuk uang muka rumah yang lebih besar, atau mungkin asuransi kesehatan tambahan. Sejak mereka menikah dua tahun lalu, hampir 70% kebutuhan rumah tangga dan cicilan ditanggung oleh gaji Kalila. Gaji Arkan entah lari ke mana, seringkali habis untuk membantu ibunya, membayar hutang-hutang kecil Dimas, atau sekadar hobi otomotif Arkan yang tidak murah.
"Berapa harga tasnya, Mas?" tanya Kalila lirih.
Arkan menyebutkan sebuah angka yang membuat jantung Kalila mencos. Angka itu hampir setara dengan setengah dari bonus kenaikan jabatannya.
"Mas, itu mahal banget cuma buat sebuah tas!" seru Kalila.
"Yah, namanya juga barang bermerek, Kal. Tahan lama. Itung-itung investasi buat Ibu biar dia seneng. Ibu kan udah tua, kapan lagi kita bisa bahagiain dia kalau nggak sekarang? Kamu kan menantu kesayangan Ibu, masa tega?"
Kalimat 'menantu kesayangan' itu terasa hambar di telinga Kalila. Ia tahu betul, ia disebut kesayangan hanya saat dompetnya terbuka lebar. Saat ia mulai mempertanyakan pengeluaran, Ibu mertuanya akan mulai menyindir soal 'istri yang terlalu dominan' atau 'perempuan yang lupa kodrat kalau sudah punya jabatan tinggi'.
"Aku harus pikir-pikir dulu, Mas. Aku capek banget malam ini," kata Kalila sambil berdiri, meninggalkan Arkan dan map biru yang kini terasa tidak ada harganya lagi.
"Jangan lama-lama mikirnya ya, Sayang. Besok Ibu mau berangkat arisan lagi soalnya. Dia udah terlanjur janji sama temennya mau pamer tas baru," seru Arkan dari ruang tengah.
Kalila menutup pintu kamar dengan pelan. Ia tidak langsung tidur. Ia duduk di pinggir tempat tidur, menatap pantulan dirinya di cermin meja rias. Wajahnya tampak kusam, kantong matanya menghitam. Ia sukses di kantor, ia dipuja oleh atasan dan disegani oleh bawahan, tapi di rumah ini, ia merasa seperti mesin ATM yang hanya perlu dirawat agar terus bisa mengeluarkan uang.
Teman-temannya, terutama Maya, sudah berkali-kali mengingatkannya. 'Kal, lu itu istri, bukan tulang punggung seluruh silsilah keluarga Arkan. Berhenti manjain mereka sebelum lu abis nggak bersisa,' kata Maya suatu sore saat mereka minum kopi. Waktu itu Kalila membela diri, mengatakan bahwa itu adalah bentuk pengabdian. Tapi malam ini, kata-kata Maya terngiang seperti peringatan darurat.
Keesokan paginya, Kalila terbangun dengan kepala yang berat. Di meja makan, Arkan sudah duduk manis dengan secangkir kopi yang ia buat sendiri-sebuah pemandangan langka. Biasanya Kalila yang menyiapkan segalanya sebelum berangkat.
"Pagi, Sayang. Gimana? Udah dipikirin soal yang semalem?" tanya Arkan dengan senyum paling manis yang ia punya.
Kalila menghela napas, mengambil roti tawar. "Mas, aku bakal kasih buat uang kuliah Dimas. Tapi buat tas Ibu, aku cuma bisa kasih setengahnya. Sisanya tolong Mas yang usahain, atau Ibu cari model lain yang lebih murah."
Wajah Arkan langsung berubah. Manisnya hilang berganti masam. "Setengah? Kal, itu sama aja bohong. Ibu mana mau pake barang setengah-setengah gitu. Masa kamu tega sih? Kamu kan baru naik jabatan, uang segitu mah kecil buat kamu sekarang."
"Ini bukan soal kecil atau besar, Mas. Ini soal prinsip. Aku juga butuh nabung buat masa depan kita. Kita masih ngontrak, Mas. Kita belum punya rumah sendiri. Apa kamu nggak kepikiran ke sana?"
"Rumah kan bisa nanti, Kal. Kesempatan bahagiain Ibu nggak dateng dua kali. Kamu kok jadi perhitungan banget sih semenjak naik jabatan? Apa bener kata orang, kalau perempuan uangnya lebih banyak dari suami, dia jadi sombong dan pelit sama keluarga?"
Deg. Kalimat itu menghujam tepat di ulu hati Kalila. Sombong? Pelit? Selama dua tahun ini, siapa yang membayar cicilan motor Arkan? Siapa yang membayar tagihan listrik rumah mertua setiap bulan? Siapa yang membelikan Dimas laptop baru saat laptop lamanya rusak?
"Aku nggak sombong, Mas. Aku cuma capek," suara Kalila bergetar.
"Ya udah, kalau kamu emang nggak mau bantu, nggak papa. Biar aku cari pinjaman ke tempat lain aja. Biar aku yang malu sama Ibu karena punya istri sukses tapi nggak mau bantu keluarga sendiri," Arkan berdiri, menyambar tasnya, dan pergi begitu saja tanpa pamit, meninggalkan Kalila yang terpaku di meja makan.
Air mata yang sejak semalam ia tahan akhirnya luruh juga. Rasa bangga atas kenaikan jabatannya kini berubah menjadi beban yang menyesakkan. Kalila menyadari satu hal yang menyakitkan pagi itu: kenaikan jabatannya bukanlah kabar bahagia bagi keluarganya, melainkan kabar bahwa "limit penarikan" mereka baru saja ditingkatkan.
Sesampainya di kantor, Kalila tidak bisa fokus. Selamat dan jabat tangan dari rekan-rekan kerjanya terasa hampa. Di kepalanya hanya ada bayangan tagihan, permintaan uang, dan wajah Arkan yang kecewa. Ia mulai bertanya-tanya, sampai kapan ia harus bertahan dalam pola seperti ini? Apakah benar ini yang namanya pernikahan, di mana kebahagiaan satu pihak harus dibangun di atas pemerasan pihak lain?
Ponselnya bergetar di atas meja. Pesan WhatsApp masuk. Dari Ibu mertuanya.
"Kalila, selamat ya atas jabatan barunya. Ibu bangga banget punya menantu kayak kamu. Arkan bilang kamu mau kasih hadiah tas buat Ibu ya? Tadi Ibu udah liat di toko, warnanya bagus-bagus. Ibu tunggu ya kirimannya, biar nanti pas arisan Ibu bisa bilang ini hadiah dari menantu Ibu yang hebat itu. Makasih ya, Sayang."
Kalila meletakkan ponselnya dengan tangan gemetar. Belum juga ia mengiyakan, Arkan sudah lebih dulu "menjual" namanya demi janji palsu itu. Kalila merasa terjebak. Ia merasa dikepung dari segala arah. Ia ingin berontak, tapi rasa tidak enak dan doktrin "istri sholehah" yang selama ini ditanamkan padanya masih terlalu kuat.
Ia menghela napas panjang, menatap tumpukan berkas di mejanya yang menuntut perhatian penuh. Dunia menuntutnya menjadi profesional yang tangguh, sementara di rumah, ia dituntut menjadi sumber dana yang tak boleh mengeluh. Hari pertama jabatannya sebagai Senior Manager dimulai bukan dengan perayaan, melainkan dengan awal dari rasa lelah yang jauh lebih dalam dari sekadar kurang tidur. Ia belum tahu, bahwa benih pemberontakan itu sudah mulai tumbuh, hanya menunggu satu tetes air lagi untuk meledak.
Bab 1 rasa lelah yang menghimpit
21/12/2025
Bab 2 Suasana kantor yang dingin
21/12/2025
Bab 3 Hari Sabtu seharusnya jadi waktu
21/12/2025
Bab 4 kafe kecil yang agak tersembunyi
21/12/2025
Bab 5 rasa pahit
21/12/2025
Bab 6 Arkan masuk lewat celah emosinya
21/12/2025
Bab 7 melewatinya begitu saja
21/12/2025
Bab 8 bayar cicilannya pake bonus
21/12/2025
Bab 9 Tiga hari di rumah sakit
21/12/2025
Bab 10 keluarga sudah nunggu buat menerkamnya
21/12/2025
Bab 11 menenangkan buat Kalila
21/12/2025
Bab 12 hidup Kalila sudah benar-benar berubah total
21/12/2025
Bab 13 suasana makin melow
21/12/2025
Bab 14 sesak itu tertinggal di belakang
21/12/2025
Bab 15 rasanya aneh banget
21/12/2025
Bab 16 keributan terakhir dengan Dimas
21/12/2025
Bab 17 Pernikahan mewah
21/12/2025
Bab 18 keriuhan pesta yang megah
21/12/2025
Bab 19 Keringat masih menempel tipis
21/12/2025
Bab 20 menyalakan shower
21/12/2025
Bab 21 merasakan tubuhnya pegal luar biasa
21/12/2025
Bab 22 mendinginkan suasana
21/12/2025
Bab 23 menggendongnya kembali
21/12/2025
Bab 24 kemesraan di hotel
21/12/2025
Bab 25 pertama di rumah baru
21/12/2025
Bab 26 pembuktian
21/12/2025
Bab 27 menjadi laki-laki yang memujanya
21/12/2025
Bab 28 pemulihan pasca operasi
21/12/2025
Bab 29 pewaris karena rahimku
21/12/2025
Buku lain oleh Reno Badini
Selebihnya