Benih Sang Kakak Ipar

Benih Sang Kakak Ipar

Reno Badini

5.0
Komentar
Penayangan
25
Bab

Aura tidak pernah menyangka bahwa keputusannya untuk menikahi Gavin akan membawanya ke dalam pusaran obsesi yang berbahaya. Gavin adalah pria lembut yang sangat memuja kakaknya, Adrian Mahendra, seorang pengusaha dingin yang memegang kendali penuh atas keluarga Mahendra. Karena alasan ekonomi dan wasiat mendiang ayah mereka, Gavin bersikeras memboyong Aura untuk tinggal di kediaman mewah milik Adrian. Keputusan itu menjadi awal dari mimpi buruk sekaligus godaan yang membingungkan bagi Aura. Di balik sikap formal dan ketegasannya, Adrian menyimpan ketertarikan gelap pada istri adiknya sendiri. Setiap sudut rumah megah itu seolah menjadi perangkap. Adrian menggunakan kekuasaan dan karismanya yang mengintimidasi untuk perlahan-lahan menjerat Aura, memanipulasi keadaan agar Aura merasa berhutang budi dan bergantung padanya. Di antara rasa setianya pada Gavin dan pesona maskulin Adrian yang memabukkan, Aura terjepit dalam situasi yang mengancam akal sehatnya.

Bab 1 Perasaannya tidak keruan

Hujan menderu di luar kaca jendela mobil, menyamarkan pemandangan Jakarta yang mulai lampu-lampunya mulai menyala. Aura menggenggam erat tali tas tangannya di pangkuan. Perasaannya tidak keruan. Di sampingnya, Gavin menyetir dengan senyum lebar yang tak kunjung hilang sejak mereka meninggalkan kontrakan kecil mereka tadi siang.

"Kamu bakal suka rumahnya, Ra. Aku janji. Mas Adrian itu orangnya memang kelihatan kaku, tapi dia baik banget. Dia nggak mau kita kesusahan di awal pernikahan kayak gini," suara Gavin terdengar begitu ringan, seolah beban hidup mereka baru saja diangkat ke langit.

Aura hanya tersenyum tipis, jenis senyum yang dipaksakan agar suaminya tidak bertanya macam-macam. "Tapi, Vin... apa nggak sebaiknya kita mandiri dulu? Aku nggak enak kalau harus numpang di rumah kakak kamu. Apalagi kita baru nikah dua bulan."

Gavin tertawa kecil, tangan kirinya meraih jemari Aura dan mengecupnya singkat. "Ini bukan numpang, Sayang. Mas Adrian sendiri yang minta. Lagian, rumah sebesar itu cuma diisi dia sama pelayan, apa nggak sepi? Dia itu kakak kandungku, satu-satunya keluarga yang aku punya setelah Papa meninggal. Dia cuma mau jagain kita."

Jagain kita. Kata-kata itu terdengar seperti janji manis di telinga Gavin, tapi entah kenapa terasa seperti peringatan di telinga Aura. Aura teringat pertemuan singkatnya dengan Adrian Mahendra di hari pernikahan mereka. Pria itu berdiri tegak dengan setelan jas mahal yang tampak sangat pas di tubuh tegapnya. Matanya tajam, hitam pekat, dan saat mereka bersalaman, Adrian tidak melepaskan genggamannya sedikit lebih lama dari yang seharusnya. Tatapannya waktu itu bukan tatapan seorang kakak ipar yang menyambut anggota keluarga baru, melainkan tatapan seorang predator yang baru saja menemukan mangsa yang menarik.

Mobil mewah Gavin-yang sebenarnya juga hadiah dari Adrian-berhenti di depan gerbang besi raksasa yang terbuka otomatis. Sebuah rumah mewah bergaya modern minimalis berdiri angkuh di hadapan mereka. Dinding-dinding kaca setinggi plafon memperlihatkan pencahayaan kuning hangat di dalamnya, tapi bagi Aura, rumah itu tampak seperti sangkar emas yang dingin.

Begitu mereka turun, beberapa pelayan berseragam rapi langsung menyambut, mengambil alih koper-koper mereka dengan cekatan. Di tengah lobi yang luas dengan lantai marmer yang mengkilap, sosok itu sudah menunggu.

Adrian Mahendra berdiri dengan tangan terbenam di saku celana kainnya. Ia hanya mengenakan kemeja hitam dengan lengan yang digulung hingga siku, menonjolkan urat-urat di tangannya yang kuat.

"Selamat datang di rumah," suara Adrian berat dan berwibawa, menggema di ruangan yang luas itu.

Gavin langsung menghampiri kakaknya dan memeluknya singkat. "Mas! Makasih banyak ya, maaf kalau kita ngerepotin."

"Nggak pernah repot buat adik sendiri, Vin," jawab Adrian, tapi matanya tidak menatap Gavin. Matanya tertuju lurus pada Aura yang masih berdiri mematung di dekat pintu. "Aura, kenapa masih di sana? Sini."

Aura melangkah mendekat, merasa kakinya sedikit lemas. "Halo, Mas Adrian. Terima kasih sudah mengizinkan kami tinggal di sini."

Adrian maju selangkah, memperpendek jarak di antara mereka hingga Aura bisa mencium aroma parfum maskulin yang tajam dan mahal-campuran antara kayu cendana dan tembakau. Adrian mengulurkan tangan, menyentuh bahu Aura pelan, lalu turun ke lengannya. Sentuhannya terasa panas di kulit Aura yang dingin.

"Mulai sekarang, ini rumah kamu juga. Apapun yang kamu butuhin, bilang sama saya. Jangan sungkan," ucap Adrian dengan nada yang rendah, hampir seperti bisikan yang hanya ditujukan untuknya.

Malam itu, setelah makan malam yang terasa kaku bagi Aura namun sangat akrab bagi kedua kakak beradik itu, Gavin langsung tertidur pulas karena kelelahan pindahan. Namun Aura tidak bisa memejamkan mata. Ia merasa asing dengan tempat tidur yang terlalu empuk dan bantal bulu angsa yang terlalu mewah.

Aura memutuskan untuk turun ke dapur, berharap segelas air putih bisa menenangkan sarafnya yang tegang. Ia berjalan berjinjit, tidak ingin membangunkan siapapun. Rumah itu terasa sangat sunyi, hanya ada suara detak jam dinding yang megah.

Saat ia sampai di area dapur bersih, ia terlonjak kaget. Seseorang sedang duduk di sana, di balik meja bar yang gelap, hanya diterangi oleh lampu kecil di sudut ruangan.

Itu Adrian. Ia sedang menyesap sesuatu dari gelas kristal.

"Nggak bisa tidur?" tanya Adrian tanpa menoleh, seolah dia sudah tahu Aura akan datang.

"Iya, Mas. Masih... adaptasi," jawab Aura gugup. Ia berjalan menuju dispenser, mengisi gelasnya dengan air. Saat ia hendak berbalik untuk kembali ke atas, langkahnya terhenti karena Adrian sudah berdiri tepat di belakangnya.

Aura hampir saja menabrak dada bidang pria itu. Bau alkohol samar tercium dari napas Adrian.

"Gavin orangnya gampang tidur. Dia nggak sadar kalau istrinya lagi gelisah, ya?" Adrian menunduk, wajahnya begitu dekat hingga Aura bisa merasakan deru napasnya di keningnya.

"Gavin cuma capek, Mas," bela Aura, suaranya sedikit bergetar. Ia mencoba melangkah ke samping, tapi Adrian meletakkan kedua tangannya di pinggiran meja bar, mengunci tubuh Aura di antaranya.

Aura mendongak, matanya bertemu dengan mata Adrian yang gelap dan intens. Tidak ada keramahan di sana. Yang ada hanyalah ambisi yang telanjang.

"Kamu terlalu cantik untuk diabaikan, Aura. Gavin mungkin nggak tahu cara memperlakukan permata, tapi saya tahu."

Jantung Aura berdegup kencang, antara takut dan sebuah perasaan asing yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Tangan Adrian terangkat, jemarinya yang kasar membelai pipi Aura dengan sangat lembut, sebelum turun ke lehernya.

"Mas... jangan. Aku istri adik kamu," bisik Aura, suaranya nyaris hilang.

Adrian terkekeh pelan, suara yang terdengar berbahaya di tengah kegelapan malam. "Justru karena kamu istri adik saya, kamu jadi tanggung jawab saya sekarang. Segalanya tentang kamu... adalah urusan saya."

Adrian melepaskan kunciannya dan kembali mengambil gelasnya, seolah interaksi barusan tidak pernah terjadi. "Tidur lah. Besok hari yang panjang. Dan satu lagi, Aura... jangan pernah berpikir untuk mengadu pada Gavin. Dia nggak akan percaya kakaknya yang 'baik' ini punya pikiran kotor tentang istrinya."

Aura lari kembali ke kamar dengan napas tersengal. Ia masuk ke bawah selimut, memeluk Gavin yang masih terlelap. Namun, bayangan tatapan Adrian dan sentuhan tangannya di leher Aura seolah menempel permanen. Aura sadar, kepindahan ini bukan awal dari hidup baru yang bahagia, melainkan awal dari permainan kucing dan tikus yang sangat berbahaya. Di rumah ini, Adrian adalah rajanya, dan Aura baru saja menyerahkan diri masuk ke dalam kandangnya.

Lanjutkan Membaca

Buku lain oleh Reno Badini

Selebihnya

Buku serupa

Cinta yang Tersulut Kembali

Cinta yang Tersulut Kembali

Calli Laplume
4.9

Dua tahun setelah pernikahannya, Selina kehilangan kesadaran dalam genangan darahnya sendiri selama persalinan yang sulit. Dia lupa bahwa mantan suaminya sebenarnya akan menikahi orang lain hari itu. "Ayo kita bercerai, tapi bayinya tetap bersamaku." Kata-katanya sebelum perceraian mereka diselesaikan masih melekat di kepalanya. Pria itu tidak ada untuknya, tetapi menginginkan hak asuh penuh atas anak mereka. Selina lebih baik mati daripada melihat anaknya memanggil orang lain ibu. Akibatnya, dia menyerah di meja operasi dengan dua bayi tersisa di perutnya. Namun, itu bukan akhir baginya .... Bertahun-tahun kemudian, takdir menyebabkan mereka bertemu lagi. Raditia adalah pria yang berubah kali ini. Dia ingin mendapatkannya untuk dirinya sendiri meskipun Selina sudah menjadi ibu dari dua anak. Ketika Raditia tahu tentang pernikahan Selina, dia menyerbu ke tempat tersebut dan membuat keributan. "Raditia, aku sudah mati sekali sebelumnya, jadi aku tidak keberatan mati lagi. Tapi kali ini, aku ingin kita mati bersama," teriaknya, memelototinya dengan tatapan terluka di matanya. Selina mengira pria itu tidak mencintainya dan senang bahwa dia akhirnya keluar dari hidupnya. Akan tetapi, yang tidak dia ketahui adalah bahwa berita kematiannya yang tak terduga telah menghancurkan hati Raditia. Untuk waktu yang lama, pria itu menangis sendirian karena rasa sakit dan penderitaan dan selalu berharap bisa membalikkan waktu atau melihat wajah cantiknya sekali lagi. Drama yang datang kemudian menjadi terlalu berat bagi Selina. Hidupnya dipenuhi dengan liku-liku. Segera, dia terpecah antara kembali dengan mantan suaminya atau melanjutkan hidupnya. Apa yang akan dia pilih?

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku