/0/31109/coverbig.jpg?v=dc7fd2ea8d59b490b40f101fc8dd1010&imageMogr2/format/webp)
Aura tidak pernah menyangka bahwa keputusannya untuk menikahi Gavin akan membawanya ke dalam pusaran obsesi yang berbahaya. Gavin adalah pria lembut yang sangat memuja kakaknya, Adrian Mahendra, seorang pengusaha dingin yang memegang kendali penuh atas keluarga Mahendra. Karena alasan ekonomi dan wasiat mendiang ayah mereka, Gavin bersikeras memboyong Aura untuk tinggal di kediaman mewah milik Adrian. Keputusan itu menjadi awal dari mimpi buruk sekaligus godaan yang membingungkan bagi Aura. Di balik sikap formal dan ketegasannya, Adrian menyimpan ketertarikan gelap pada istri adiknya sendiri. Setiap sudut rumah megah itu seolah menjadi perangkap. Adrian menggunakan kekuasaan dan karismanya yang mengintimidasi untuk perlahan-lahan menjerat Aura, memanipulasi keadaan agar Aura merasa berhutang budi dan bergantung padanya. Di antara rasa setianya pada Gavin dan pesona maskulin Adrian yang memabukkan, Aura terjepit dalam situasi yang mengancam akal sehatnya.
Hujan menderu di luar kaca jendela mobil, menyamarkan pemandangan Jakarta yang mulai lampu-lampunya mulai menyala. Aura menggenggam erat tali tas tangannya di pangkuan. Perasaannya tidak keruan. Di sampingnya, Gavin menyetir dengan senyum lebar yang tak kunjung hilang sejak mereka meninggalkan kontrakan kecil mereka tadi siang.
"Kamu bakal suka rumahnya, Ra. Aku janji. Mas Adrian itu orangnya memang kelihatan kaku, tapi dia baik banget. Dia nggak mau kita kesusahan di awal pernikahan kayak gini," suara Gavin terdengar begitu ringan, seolah beban hidup mereka baru saja diangkat ke langit.
Aura hanya tersenyum tipis, jenis senyum yang dipaksakan agar suaminya tidak bertanya macam-macam. "Tapi, Vin... apa nggak sebaiknya kita mandiri dulu? Aku nggak enak kalau harus numpang di rumah kakak kamu. Apalagi kita baru nikah dua bulan."
Gavin tertawa kecil, tangan kirinya meraih jemari Aura dan mengecupnya singkat. "Ini bukan numpang, Sayang. Mas Adrian sendiri yang minta. Lagian, rumah sebesar itu cuma diisi dia sama pelayan, apa nggak sepi? Dia itu kakak kandungku, satu-satunya keluarga yang aku punya setelah Papa meninggal. Dia cuma mau jagain kita."
Jagain kita. Kata-kata itu terdengar seperti janji manis di telinga Gavin, tapi entah kenapa terasa seperti peringatan di telinga Aura. Aura teringat pertemuan singkatnya dengan Adrian Mahendra di hari pernikahan mereka. Pria itu berdiri tegak dengan setelan jas mahal yang tampak sangat pas di tubuh tegapnya. Matanya tajam, hitam pekat, dan saat mereka bersalaman, Adrian tidak melepaskan genggamannya sedikit lebih lama dari yang seharusnya. Tatapannya waktu itu bukan tatapan seorang kakak ipar yang menyambut anggota keluarga baru, melainkan tatapan seorang predator yang baru saja menemukan mangsa yang menarik.
Mobil mewah Gavin-yang sebenarnya juga hadiah dari Adrian-berhenti di depan gerbang besi raksasa yang terbuka otomatis. Sebuah rumah mewah bergaya modern minimalis berdiri angkuh di hadapan mereka. Dinding-dinding kaca setinggi plafon memperlihatkan pencahayaan kuning hangat di dalamnya, tapi bagi Aura, rumah itu tampak seperti sangkar emas yang dingin.
Begitu mereka turun, beberapa pelayan berseragam rapi langsung menyambut, mengambil alih koper-koper mereka dengan cekatan. Di tengah lobi yang luas dengan lantai marmer yang mengkilap, sosok itu sudah menunggu.
Adrian Mahendra berdiri dengan tangan terbenam di saku celana kainnya. Ia hanya mengenakan kemeja hitam dengan lengan yang digulung hingga siku, menonjolkan urat-urat di tangannya yang kuat.
"Selamat datang di rumah," suara Adrian berat dan berwibawa, menggema di ruangan yang luas itu.
Gavin langsung menghampiri kakaknya dan memeluknya singkat. "Mas! Makasih banyak ya, maaf kalau kita ngerepotin."
"Nggak pernah repot buat adik sendiri, Vin," jawab Adrian, tapi matanya tidak menatap Gavin. Matanya tertuju lurus pada Aura yang masih berdiri mematung di dekat pintu. "Aura, kenapa masih di sana? Sini."
Aura melangkah mendekat, merasa kakinya sedikit lemas. "Halo, Mas Adrian. Terima kasih sudah mengizinkan kami tinggal di sini."
Adrian maju selangkah, memperpendek jarak di antara mereka hingga Aura bisa mencium aroma parfum maskulin yang tajam dan mahal-campuran antara kayu cendana dan tembakau. Adrian mengulurkan tangan, menyentuh bahu Aura pelan, lalu turun ke lengannya. Sentuhannya terasa panas di kulit Aura yang dingin.
"Mulai sekarang, ini rumah kamu juga. Apapun yang kamu butuhin, bilang sama saya. Jangan sungkan," ucap Adrian dengan nada yang rendah, hampir seperti bisikan yang hanya ditujukan untuknya.
Malam itu, setelah makan malam yang terasa kaku bagi Aura namun sangat akrab bagi kedua kakak beradik itu, Gavin langsung tertidur pulas karena kelelahan pindahan. Namun Aura tidak bisa memejamkan mata. Ia merasa asing dengan tempat tidur yang terlalu empuk dan bantal bulu angsa yang terlalu mewah.
Aura memutuskan untuk turun ke dapur, berharap segelas air putih bisa menenangkan sarafnya yang tegang. Ia berjalan berjinjit, tidak ingin membangunkan siapapun. Rumah itu terasa sangat sunyi, hanya ada suara detak jam dinding yang megah.
Saat ia sampai di area dapur bersih, ia terlonjak kaget. Seseorang sedang duduk di sana, di balik meja bar yang gelap, hanya diterangi oleh lampu kecil di sudut ruangan.
Itu Adrian. Ia sedang menyesap sesuatu dari gelas kristal.
"Nggak bisa tidur?" tanya Adrian tanpa menoleh, seolah dia sudah tahu Aura akan datang.
"Iya, Mas. Masih... adaptasi," jawab Aura gugup. Ia berjalan menuju dispenser, mengisi gelasnya dengan air. Saat ia hendak berbalik untuk kembali ke atas, langkahnya terhenti karena Adrian sudah berdiri tepat di belakangnya.
Aura hampir saja menabrak dada bidang pria itu. Bau alkohol samar tercium dari napas Adrian.
"Gavin orangnya gampang tidur. Dia nggak sadar kalau istrinya lagi gelisah, ya?" Adrian menunduk, wajahnya begitu dekat hingga Aura bisa merasakan deru napasnya di keningnya.
"Gavin cuma capek, Mas," bela Aura, suaranya sedikit bergetar. Ia mencoba melangkah ke samping, tapi Adrian meletakkan kedua tangannya di pinggiran meja bar, mengunci tubuh Aura di antaranya.
Aura mendongak, matanya bertemu dengan mata Adrian yang gelap dan intens. Tidak ada keramahan di sana. Yang ada hanyalah ambisi yang telanjang.
"Kamu terlalu cantik untuk diabaikan, Aura. Gavin mungkin nggak tahu cara memperlakukan permata, tapi saya tahu."
Jantung Aura berdegup kencang, antara takut dan sebuah perasaan asing yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Tangan Adrian terangkat, jemarinya yang kasar membelai pipi Aura dengan sangat lembut, sebelum turun ke lehernya.
"Mas... jangan. Aku istri adik kamu," bisik Aura, suaranya nyaris hilang.
Adrian terkekeh pelan, suara yang terdengar berbahaya di tengah kegelapan malam. "Justru karena kamu istri adik saya, kamu jadi tanggung jawab saya sekarang. Segalanya tentang kamu... adalah urusan saya."
Adrian melepaskan kunciannya dan kembali mengambil gelasnya, seolah interaksi barusan tidak pernah terjadi. "Tidur lah. Besok hari yang panjang. Dan satu lagi, Aura... jangan pernah berpikir untuk mengadu pada Gavin. Dia nggak akan percaya kakaknya yang 'baik' ini punya pikiran kotor tentang istrinya."
Aura lari kembali ke kamar dengan napas tersengal. Ia masuk ke bawah selimut, memeluk Gavin yang masih terlelap. Namun, bayangan tatapan Adrian dan sentuhan tangannya di leher Aura seolah menempel permanen. Aura sadar, kepindahan ini bukan awal dari hidup baru yang bahagia, melainkan awal dari permainan kucing dan tikus yang sangat berbahaya. Di rumah ini, Adrian adalah rajanya, dan Aura baru saja menyerahkan diri masuk ke dalam kandangnya.
Bab 1 Perasaannya tidak keruan
18/12/2025
Bab 2 menandakan Gavin sudah bangun
18/12/2025
Bab 3 Merasa terganggu
18/12/2025
Bab 4 sejak awal pernikahan
18/12/2025
Bab 5 Gavin semakin jarang pulang
18/12/2025
Bab 6 memberikan kabar
18/12/2025
Bab 7 obsesi gila kakak iparnya sendiri
18/12/2025
Bab 8 memotong roti panggangnya
18/12/2025
Bab 9 menghilang entah ke mana
18/12/2025
Bab 10 selingkuhannya
18/12/2025
Bab 11 Kamarnya kerasa dingin
18/12/2025
Bab 12 Pria itu tidak lagi memakai topeng
18/12/2025
Bab 13 Tubuh Aura terasa seolah-olah akan remuk
18/12/2025
Bab 14 terbaring lemas
18/12/2025
Bab 15 Sesuai perintah Adrian
18/12/2025
Bab 16 Malam itu seolah tidak punya ujung
18/12/2025
Bab 17 menemui Bayu
18/12/2025
Bab 18 suasananya terasa sedingin es
18/12/2025
Bab 19 suasana di kamar utama
18/12/2025
Bab 20 kehamilan
18/12/2025
Bab 21 pengkhianatan yang akan terjadi
18/12/2025
Bab 22 Aura terbaring menyamping
18/12/2025
Bab 23 suasana kamar terasa seperti ruang isolasi yang menyesakkan
18/12/2025
Bab 24 Kedua tangannya kini diborgol
18/12/2025
Bab 25 mengandung anakku
18/12/2025
Buku lain oleh Reno Badini
Selebihnya