Pelayan Ranjang Maduku
et, ada rapat koordinasi antar divisi buat proyek kuartal depan, tapi fokusnya buyar setiap kali ponsel di atas mejanya bergetar. Dia tahu itu bu
tu seolah menari-nari tanpa makna. Pikirannya melayang kembali ke percakapan di meja makan tadi pagi. Rasa sesak di dadanya belum juga hil
elepon langsung dari Ibu mertuanya, Bu Lastri. Kalila menghela napas panjang
um, Bu?" sapanya ber
ni? Ibu ganggu nggak?" Suara di seberang sana terdengar sangat manis
tor sih, Bu.
pa lagi. Tadi malem kan Arkan ke sini, Ibu udah bilang sama dia, eh dia malah bilang katanya dia
ke mana arah pembicaraan i
sek napas rasanya. Kamar Ibu kan nggak ada jendela yang gede, jadi pengap banget. Ibu udah panggil tu
Kalau mau dibelikan yang biasa dulu gimana, Bu? Y
u tadi udah liat-liat di katalog toko elektronik deket sini. Ada itu lho, yang mereknya terkenal, yang ada pembersih udaranya, yang Inverter b
untuk mengecek dana darurat. "Tapi harganya pasti jauh beda ya, Bu, kalau yang tipe itu
masa kamu tega biarin mertua kamu mati kepanasan? Arkan bilang gaji kamu baru naik banyak kan? Masa buat kenyaman
an orang tua, dan membandingkannya dengan gaji Kalila. Kalila merasa sudu
ya," jawabnya pendek, ingin
-bener nggak kuat kalau harus tidur di ruang tamu lagi, badan Ibu sakit semua. Ya udah ya,
barin lagi, Bu.
ak di tengah kantor yang tenang itu. Belum lewat dua puluh empat jam sejak dia dapet promosi
perti ikut mengejeknya. Di dalam mobil, Kalila hanya melamun, membiarkan radio
e keluarganya untuk terus-terusan memalaknya?
di depan TV sambil ngemil. Nggak ada tanda-tanda di
sapa Arkan tanpa dosa.
snya ke sofa. "Ibu
oal AC ya? Tadi dia juga chat aku, katanya udah
ya berapa? Hampir delapan juta kalau sama pasang! Itu AC teknologi te
pa sih jadi sensi banget soal uang? Ibu kan butuh. Dia itu punya asma, kalau udaranya ngga
liah Dimas aku, AC Ibu aku, cicilan motor kamu aku, belanja bulanan aku. Terus gaj
u-bantu cicilan di rumah Ibu, buat bayar utang koperasi yang dulu aku ambil buat biaya nikah kita. Kamu pikir aku seneng
, bukan dengan numpang hidup sama istri terus malah nuntut macem-macem buat keluarga ka
mbongnya udah selangit. Kamu pikir aku nggak usaha? Aku juga kerja! Tapi rezeki aku emang belu
iperes, Mas? B
liin, nggak usah! Biar aku yang cari pinjaman. Biar aku makin n
fa, menutup wajahnya dengan kedua tangan. Isak tangis yang tertahan akhirnya pecah jug
nusia, tapi cuma sebagai angka.' Sekarang Kalila merasakan kebenaran ucapan itu. Di mata Arkan dan ibunya, Kalila bukan lagi seora
temen-temennya, pake sepatu baru yang Kalila curigai dibeli pake uang "buku kuliah" yang dia kasih kemarin. Di bawah
hatan, mengabaikan hobi, bahkan jarang membelikan sesuatu untuk orang tuanya sendiri karena takut uangnya nggak cukup u
ginya, masih dalam mode marah karena keinginannya belum dituruti. Di tengah kesunyian itu, sebuah pik
pan aku m
setiap kali dia mengalah, tuntutan mereka bukannya berkurang, malah makin melunjak. Kalau hari ini d
yang sudah lama dia inginkan tapi selalu dia tunda demi keluarga Arkan. Ada sepatu lari baru, ada skincare yang sudah ha
saan untuk "mengalah demi kedamaian" ternyata masih terlalu kuat mencengkeramnya. Dia merasa kalau dia nggak belii
lila menyelesaikan transaksi itu. Delapan jutl. Bukan karena dia kehilangan uangnya, tapi karena dia merasa baru saja mengkhianati dirinya sendiri lagi. Dia
ik pelan, hampir tak terdengar. "Ini yang t
anyalah sebuah kebohongan yang dia ciptakan untuk menghibur dirinya yang sedang hancur. Kalila memejamkan mata, mencoba ti
ang sukses, dan kembali bekerja keras. Bukan untuk masa depannya, tapi untuk memast