Pelayan Ranjang Maduku
n piring, nggak ada lagi suara TV yang menyiarkan berita pagi. Yang ada cuma keheningan yang tebal dan menyesakkan. Kalila bangun dengan perasaan aneh-ada rasa lega yang
lanya pusing kalau belum kena kafein". Tapi hari ini, Kalila cuma mengambil gelas, menuangkan air putih dingin, dan meminumnya perlahan sambil menatap ke luar jendela. Dia ngga
ang siap menumpahkan badai. Matanya merah, rambutnya acak-acakan. Dia melewati Kalila di dapur tanpa menoleh sedi
annya setiap kali mereka bertengkar: silent treatment. Arkan tahu betul kalau Kalila itu tipe orang yang paling nggak tahan didiamkan. Biasanya, kalau Arkan sudah mogok bicara, Kalila baka
rdiri di depan meja makan yang kosong, menatap ke arah tudung saji yang juga kosong dengan tatapan ngg
ya, memecah keheningan dengan nada suar
cermin. "Aku nggak sempat masak. Aku harus b
pe lima menit, Kalila. Kamu sengaj
kin sendiri? Bahannya ada di kulkas," jawab
cuma pelit, tapi juga udah nggak mau ngurusin suami. Inget ya Kal, rejeki suami itu tergantung gimana istri berb
ewat begitu saja di telinganya. Dia menatap Arkan yang berjalan keluar dengan langkah dihentak-hentakkan. Kalila
alanya sesekali masih terpikir soal Dimas. Namun, ketenangan itu nggak bertahan lama.
pasti sudah menceritakan versinya sendiri, versi di mana dia adalah suami
i pantry kantor yang sedang sep
ak ada lagi nada manis atau panggilan 'Sayang' seperti biasanya. "Arkan ke sini pagi-pagi belum sarapan,
a ada buktinya. Dimas pake uang yang aku kasih buat kuli
-baik, Kal. Dia itu di rumah nurut, sholatnya juga rajin. Kalaupun dia ke sana, pasti diajak temennya, dia cuma nggak
uliah, Bu. Tapi kalau dipake buat foya-foy
itu adekmu juga. Kamu nggak takut apa nanti kena azab karena pelit sama mertua dan ipar? Ibu nggak nyangka ya, jabatan Senior Manager itu ternyata bikin kamu ja
nya berdebat dengan Bu Lastri. Bagi Bu Lastri, Kalila hanyalah sebuah sumber dana. Selama uang men
Nanti kita bahas lagi," kata Ka
a Dimas juga. Kamu harus minta maaf sama dia karena udah bikin mental
gak mau makan". Dimas yang badannya paling subur
Assalamualaikum." Kalila langsung mematikan
st tentang kewajiban istri patuh pada suami dan ancaman-ancaman tentang dosa bagi istri yang menyakiti hati keluarga sua
luar biasa. Dia berharap Arkan nggak ada di rumah, tapi
akan dengan wajah yang sangat serius. Di depannya ada
soal masa depan keuangan kita," ka
n duduk di hadapan Arkan. "
isa semena-mena sama aku dan keluargaku. Jadi, mulai bulan depan, semua gaji kamu dan gaji aku harus masuk ke satu rekening b
dang bercanda atau sudah benar-benar hilang akal. "Rekening bersa
ak ada lagi kejadian kamu nyetop uang buat Dimas atau buat
ari ke mana saja? Kamu selalu bilang gaji kamu habis buat cicilan motor dan 'bantu-bantu' di rumah Ibu. Tapi kenyataannya, cicilan motor itu pun seringkali aku yang bayar k
na gaji aku nggak seberapa dibanding
ung." Kalila mengeluarkan ponselnya, membuka aplikasi catatan. "Dalam sebulan, pengeluaran wajib kita itu sepuluh juta. Aku tanggung delapan juta, kamu dua juta-itu pun kalau
-bener udah nggak ada hormat-hormatn
tapi kamu jadikan aku mesin ATM? Kamu diem aja pas adek kamu nip
ta. "Pokoknya aku nggak mau tau. Kalau kamu masih mau diakuin sebagai istri di rumah ini, kamu harus ikut atu
dar 'sholehah' bagi kamu dan Ibu adalah perempuan yang mau diperas habis-habi
ing bersama itu... lupakan saja. Bahkan sepeser pun uang dari bonus kenaikan jabatanku nggak akan ad
r
elempar gelas atau piring. Kalila nggak peduli. Dia duduk di pinggir tempat tidur, tangannya gemetar. Menghadapi Ar
lnya yang kembali menya
i itu makbul lho. Mbak udah dzolim sama aku semalem. Kalau terjad
tangkap basah berbuat salah, malah berani mengancam dengan membawa-bawa doa dan kezaliman?
bahwa apa pun yang dia inginkan harus didapatkan, bahkan jika harus mengorbankan orang lain. Dan Arkan, suaminya, adalah produk d
ngan membaca ulang kontrak-kontrak asuransi dan investasinya. Dia memastikan semua ahli warisnya adalah orang tuanya sendiri, bukan Arkan. Dia tidak mau jik
ent treatment gagal, dan gertakan soal rekening bersama
hat Arkan duduk di sofa dengan waj
aranya terdengar serak, seolah
nti di dekat
g bukan suami yang baik. Mungkin aku emang gagal bimbing kamu. Aku cuma mau ki
na uang, Mas. Makanya, tolong berhenti minta uang terus ke aku buat hal-hal yang nggak penting. Biarkan aku atur u
epon lagi, nangis-nangis katanya dadanya sesak karena AC-
sang dari tokonya. Jadi tolong bilang sama Ibu buat sa
a, Kal," kata Arkan sambil ber
itu terasa seperti lilitan yang mencoba menahannya agar tetap berada dalam kendali Arkan. Dia tahu, permintaan maaf
dia bener-bener minta maaf. Tapi dia bilang dia ada tunggakan buku yang harus dibayar m
ap suaminya dengan tatapan dingin. Ternyata cuma butuh
iri. Atau suruh dia jual sepatu mahalnya yang
ng berubah menjadi kaku kembali. "Kam
Mas. Aku cuma baru ba
pa pun-diam, marah, atau pura-pura sedih-mempengaruhi pendiriannya lagi. Dia mulai mencari informasi tentang pengacara perceraian, hanya sebagai jaga-
rnah lagi menjadi mesin ATM yang bisa mereka tekan tombolnya kapan saja mereka mau. Perjuangan untuk mendapatkan kembali