Pelayan Ranjang Maduku
/0/31172/coverbig.jpg?v=452ddc1055e6a2463afd92da6bf9685b&imageMogr2/format/webp)
eras di tulang belikatnya. Matanya perih, efek menatap layar laptop selama hampir dua belas jam hari ini. Namun, di balik rasa lelah yang menghimpit, ada senyum tipi
ng penting, soal pengakuan atas semua lembur dan keringatnya selama ini. Kalila membayangkan wajah Arkan saat mendengar kabar ini. Ia memb
tuskan untuk tidak mengirim pesan lagi. Ia ingin memberikan kejutan. Ia beranjak ke dapur, menuangkan air putih, lalu mulai memikirkan rest
dengan wajah yang tampak kusam, kemejanya sudah keluar dari i
alila, mencoba menjaga nad
epatunya tanpa menoleh. "Iya, macet parah.
lum. Mungkin Arkan sedang banyak masalah di kantor. "Ada tadi aku p
lnya dan mulai asyik membalas pesan. "Kabar apa?
i dan meletakkannya di atas meja kopi
alas. Matanya menyisir baris-baris tulisan di sana. "Sen
ik tiga puluh persen, terus ada tunjangan posisi juga. Besok kit
au pelukan yang Kalila harapkan, Arkan justru menghela napas panjan
iba-tiba berubah, tidak lagi datar, tapi lebih... manis.
nyit. "Pas ba
san tadi siang. Semua temennya pamer tas baru, cuma Ibu yang masih pake tas lama yang udah ngelupas kulitnya. Terus Dimas juga butuh uang buat bayar k
oria-nya. "Mas, aku baru aja ngasih tau soal kenaikan jabatanku. Kamu bahkan belum nanya gimana
is aja, Kal. Sekarang kamu punya uang lebih, apa salahnya kita bantu keluarga? Ibu itu orang tua aku juga, orang tua
kerasku sendiri. Dan soal Dimas, bukannya bulan lalu aku udah kas
n mulai menggunakan nada bicara yang membuat Kalila merasa bersalah. "Terus soal Ibu, tas yang dia mau itu nggak seberapa k
lebih banyak untuk uang muka rumah yang lebih besar, atau mungkin asuransi kesehatan tambahan. Sejak mereka menikah dua tahun lalu, hampir 70% kebutuhan rumah tangga dan cicilan dita
asnya, Mas?" ta
ntung Kalila mencos. Angka itu hampir setara d
get cuma buat sebua
i buat Ibu biar dia seneng. Ibu kan udah tua, kapan lagi kita bisa bahagi
nya saat dompetnya terbuka lebar. Saat ia mulai mempertanyakan pengeluaran, Ibu mertuanya akan mulai meny
am ini," kata Kalila sambil berdiri, meninggalkan Arka
ngkat arisan lagi soalnya. Dia udah terlanjur janji sama
di cermin meja rias. Wajahnya tampak kusam, kantong matanya menghitam. Ia sukses di kantor, ia dipuja oleh atasan dan diseg
uarga Arkan. Berhenti manjain mereka sebelum lu abis nggak bersisa,' kata Maya suatu sore saat mereka minum kopi. Waktu itu Kalil
Arkan sudah duduk manis dengan secangkir kopi yang ia buat sendiri-sebuah pe
soal yang semalem?" tanya Arkan deng
ang kuliah Dimas. Tapi buat tas Ibu, aku cuma bisa kasih setengahnya. Sis
tu sama aja bohong. Ibu mana mau pake barang setengah-setengah gitu. Masa kamu
a butuh nabung buat masa depan kita. Kita masih ngontrak, Mas. K
k jadi perhitungan banget sih semenjak naik jabatan? Apa bener kata orang, kalau pe
ni, siapa yang membayar cicilan motor Arkan? Siapa yang membayar tagihan listrik rumah
as. Aku cuma capek,"
r aku yang malu sama Ibu karena punya istri sukses tapi nggak mau bantu keluarga sendiri," Arkan berdi
menjadi beban yang menyesakkan. Kalila menyadari satu hal yang menyakitkan pagi itu: kenaikan jabatannya buk
ada bayangan tagihan, permintaan uang, dan wajah Arkan yang kecewa. Ia mulai bertanya-tanya, sampai kapan ia harus bertahan dalam po
as meja. Pesan WhatsApp
au kasih hadiah tas buat Ibu ya? Tadi Ibu udah liat di toko, warnanya bagus-bagus. Ibu tunggu ya kirimann
" namanya demi janji palsu itu. Kalila merasa terjebak. Ia merasa dikepung dari segala arah. Ia ingin berontdituntut menjadi sumber dana yang tak boleh mengeluh. Hari pertama jabatannya sebagai Senior Manager dimulai bukan dengan perayaan, melainkan dengan awal dari rasa le