Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Dokter Cantik Mantan Istriku (Penyesalanku)

Dokter Cantik Mantan Istriku (Penyesalanku)

Muzdalifah Muthohar

4.7
Komentar
114.1K
Penayangan
48
Bab

Lima tahun setelah bercerai, aku kembali dipertemukan dengan mantan istriku, Uma. Dia sudah bermertamorfosa menjadi wanita cantik dan sukses, dokter kandungan sekaligus direktur rumah sakit swasta di kotaku. Penyesalan menghantui hidupku, melihat Uma dan anak-anakku. Salahkah aku berharap bisa kembali bersatu dengan mereka?

Bab 1 Ketemu Mantan

"Saya, mau istri saya diperiksa oleh dokter wanita, suster," ucapku pada perawat yang menjaga meja resepsionis.

"Bisa Pak, tapi Bapak harus menunggu satu jam lagi. Masalahnya, di sini dokter kandungan wanitanya adalah direktur rumah sakit, dan sekarang sedang ada rapat dewan direksi.

Kalau Bapak dan Ibu buru-buru, bisa diperiksa dokter Agus sekarang," jelas perawat bertag name Sita, itu ramah.

Aku berfikir sejenak, menunggu itu melelahkan, tapi tak apalah, daripada istriku diobok-obok dokter laki-laki. Jujur aku tidak rela, dengan meski alasan medis.

"Ya nggak pa-pa Suster, saya akan menunggu," ucapku mantap.

"Silahkan ditunggu Pak," pungkasnya, kemudian kembali dengan kesibukannya.

Tak salah aku memilih rumah sakit ini, untuk memeriksakan kehamilan istriku. Rumah sakit milik ormas berlambang matahari terbit ini memang memuaskan pelayanannya.

Dari satpam, resesionis hingga dokternya ramah semua. Cepat tanggap, lihat saja saat aku minta dokter kandungan wanita, direkturnya sendiri bersedia turun tangan.

Pantas saja rumah sakit ini berkembang pesat, padahal awalnya hanya klinik kecil. Ormas ini memang selalu total kalau membangun fasilitas untuk umum, lihat saja sekolah, kampus, hingga rumah sakit besutannya, yang ada dihampir seluruh kota di Indonesia. Semuanya maju.

Anganku kembali pada masa lalu, dulu mantan istriku pernah dinas di sini, tapi mengundurkan diri setelah menikah denganku. Dia seorang dokter umum, yang baru beberapa bulan bekerja, tapi rela melepas karir dan mimpinya, demi mengabdi kepadaku, suaminya.

Tapi sayang, aku yang kurang bersyukur mendapat istri secantik dan sebaik dia. Justru tidak menghargai pengorbanannya dan menganggap dia manja, saat dia berkeluh kesah.

Ah, andai waktu bisa diulang kembali, aku tidak akan membuat dia terluka, apalagi menceraikannya. Aku akan membahagiakannya, tapi sayang itu hanya anganku saja.

"Lama banget sih, dokternya," keluh istriku, membuat lamunanku buyar seketika. Wajahnya terlihat suntuk, bibirnya mengerucut.

Kulihat jam di tanganku sekilas, rupanya sudah satu jam lebih aku menunggu. Tapi dokter wanita yang dijanjikan perawat itu tidak kunjung muncul juga. Aku yang sudah bosan menunggu akhirnya gusar juga.

"Suster, kok Bu Dokternya belum datang juga, hampir dua jam saya menunggu lho?" protesku pada Suster bertagar name Sita.

"Sabar ya Pak, Bu Uma sedang perjalanan ke sini," sahut Suster Sita dengan senyum ramahnya.

"Deg!" Jantungku berdesir lembut, Uma nama dokter yang akan memeriksa istriku? Apaka Uma yang sama? Uma mantan istriku? Ah, pasti hanya kebetulan saja, Uma hanya dokter umum, sedangkan dr. Uma ini spesialis kandungan.

Sesosok wanita berjas putih masuk ke ruang periksa. Dia tinggi semampai, berpenampilan elegan, jadi itu bukan Uma, mantan istriku, melainkan orang lain, yang bernama sama.

"Nyonya Arisandi!" Nama istriku dipanggil dari ruang periksa, aku dan Sandi segera bangkit dan menuju ruangan.

"Silahkan duduk," sapa dokter itu ramah.

"Nyonya Arisandi, umur dua puluh delapan tahun, kehamilan pertama, sudah telat dua bulan," dokter itu membaca kertas karton berwarna biru muda, di genggamannya.

"Keluhannya apa?" tanya dokter itu ramah, dilihat dari matanya yang menyipit, aku yakin dia sedang tersenyum, meski wajahnya ditutupi masker.

"Setiap pagi mual, trus gampang capek, lemes Dokter," jawab istriku menceritakan masalahnya.

"Manja!" desisku dalam hati.

Iya, istri ketigaku ini memang manja sekali. Baru hamil saja, kerjanya malas-malasan, dengan alasan bawaan bayi. Beda dengan Uma dulu, meski dia hamil, tapi tetap gesit mengerjakan tugas rumah, bahkan sambil merawat ibuku yang sakit-sakitan.

Kalau Sandi? Beuh! Jangankan mengurus diriku, mengurus dirinya sendiri saja tidak becus. Apa-apa minta dilayani, bahkan aku terpaksa membayar pembantu, untuk mengerjakan semua kebutuhan rumah termasuk aku dan Sandi.

"Oh, itu biasa Bu, tri semester pertama biasanya mengalami morning sickness, gampang lelah, itu wajar. Tapi tetap harus gerak ya, nggak perlu berat-berat, jalan kaki misalnya.

Kalau dipakai malas-malasan malah nanti nggak baik buat janinnya, kurang sehat." Nasehat dokter Uma.

"Nggak bed res saja Bu Dokter?" sanggah istriku.

"Hah? Bed res? Yang bener aja?" gerutuku dalam hati.

"Nggak perlu, kecuali sudah nggak kuat, nggak ada lagi makanan yang bisa masuk, memang harus bed res. Ibu masih doyan makan, kan?"

"Masih Dokter, terutama yang enak-enak," selorohku.

"Deg!" tiba-tiba jantungku berdetak lebih keras, mata di balik kaca mata itu mirip milik mantan istriku, Uma.

Pandanganku beralih ke dada bagian kiri Dokter cantik itu, "dr. Kusuma Wijayanti Spog", begitu yang nama tertera. Sama persis dengan nama lengkap mantan istriku.

Setelah lima tahun kami berpisah, dia menjelma menjadi wanita berkelas. Tidak seperti saat bersamaku, kusam, kucel, dan kusut.

"Wanita hamil memang begitu Pak, pengennya diperhatikan dan dimanja, turuti saja, selama masih mampu."

Aku merasa tersindir dengan ucapan Uma, atau memang dia sengaja menyindirku? Untuk menyadarkanku, memang begitulah kodrat wanita, ingin selalu disayang dan dimanja.

Dulu, saat dia hamil, aku tak ambil peduli, saat dia pengen ini dan itu, atau mengeluh badannya pegal-pegal. Kuaggap itu semua hanya cara dia cari perhatian saja.

"Mari ke ranjang periksa, biar saya USG," lanjut Uma.

Sandi merebahkan tubuhnya di ranjang, sementara Suster Sita, menutupi tubuh bagian bawah istriku dengan selimut, lalu membuka baju istriku, dan mengoleskan semacam gel, ke perut Sandi.

"Ini janinnya, ukurannya normal, ketubannya juga normal, semuanya normal. Ini artinya kehamilan anda baik-baik saja, " ucap Uma pada Sandi, seolah tidak menganggapku ada.

Uma bersikap seolah kami tidak saling kenal, padahal kami pernah hidup seatap selama 6 tahun.

Usai periksa, kuminta Sandi untuk antre di apotek, sementara aku sengaja menunggu Uma, di depan ruang periksa.

Tak lama kemudian, Uma keluar dari ruang periksa dengan tergesa-gesa.

"Uma!" seruku memanggil namanya.

Uma berhenti sejenak, dan menoleh kearahku. "Maaf, ada yang bisa saya bantu?" ucapnya formal.

"Apa kabarmu?"

"Oh, baik, saya baik-baik saja," ucapnya canggung.

"Anak-anak---" belum sempat kuselesaikan ucapanku, Uma sudah memotongnya.

"Maaf saya buru-buru Pak, ada pasien yang mengalami pendarahan, yang harus segera mendapat tindakan." Uma segera berlalu dan meninggalkan aku begitu saja.

Uma pasti malas menjawab pertanyaan basa basiku, karena setelah bercerai, kami benar-benar putus komunikasi. Tak ada lagi nafkah untuk anak-anak, bentuk tanggung jawabku sebagai ayah. Bahkan sekedar bertanya kabar pun, tak pernah. Aku sudah menelantarkan mereka.

Bersambung...

Cerita ini alurnya maju mundur ya.

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Buku lain oleh Muzdalifah Muthohar

Selebihnya
Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku