Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Hasrat Jantan Ayah Tiri

Hasrat Jantan Ayah Tiri

Fajar Merona

5.0
Komentar
3.7K
Penayangan
7
Bab

"Hasrat Ayah Tiri Perkasa" Di balik wajah teduhnya, Om Farhat menyimpan bara hasrat yang tak pernah ia ungkap. Sebagai suami baru ibunya, kehadirannya di rumah seharusnya menjadi pelindung bagi Naya, gadis remaja yang masih mencari jati diri. Namun, batas-batas kesopanan mulai kabur ketika perhatian kecil berubah menjadi tatapan berbeda, sentuhan ringan menjadi godaan terlarang. Naya terjebak dalam pusaran perasaan yang membingungkan-antara benci, penasaran, dan ketertarikan yang tak bisa ia sangkal. Sementara Pak Bram, dengan wibawa dan kekuatan yang dimilikinya, terus bermain di ambang dosa dan kehormatan. Mampukah mereka mengendalikan hasrat yang semakin membara? Ataukah mereka akan terjerumus dalam hubungan yang mengancam kehancuran keluarga?

Bab 1 Jantan

"Mama denger dari orang-orang, kalian masih belum ada kabar baik, ya? Padahal udah lima tahun loh."

Suara Tante Julia meluncur ringan dari bibirnya, ditemani senyum tipis yang seolah-olah ramah, padahal tajamnya menusuk tepat ke ulu hati.

Bella tersenyum tipis, meneguk air putih, mencoba menelan ludah bersamaan dengan gengsi. "Iya, Mam. Kami masih berusaha..."

Belum sempat kalimatnya tuntas, Jenny, si adik ipar yang gemar menyambar, langsung nyeletuk, "Lho, di keluarga kita mah nggak ada tuh yang susah punya anak. Aku aja, baru nikah, langsung jadi. Jeslyn juga, kalo udah nikah, pasti deh nyusul."

Bella menunduk, jemarinya saling meremas di atas rok. Sekuat tenaga ia tahan hembusan napas panjang. Ruang tamu rumah mertunya yang harusnya hangat, mendadak terasa sempit. Dinding-dindingnya seolah menyimpan tatapan dan bisik-bisik lama yang siap meledak lagi.

"Iya, mungkin Bella perlu periksa lebih serius, ya," tambah Tante Julia santai, kepalanya sedikit dimiringkan, matanya menyapu Bella dari ujung kepala sampai kaki. "Siapa tau ada yang perlu dibenerin, toh?"

Sekilas, Bella melirik Justin. Lelaki itu, seperti biasa, malah asik bercakap dengan Om Radit, seolah tak mendengar percikan api yang sudah membakar ujung meja ruang tamu.

Mata Bella kembali lurus. Kali ini, bibirnya melengkung pelan. Suaranya masih lembut, tapi tajam, "Kami sudah periksa, Mam. Dan... yang harus lebih berusaha sebenarnya Mas Justin."

Sejenak, waktu membeku.

Justin yang sedang mengangkat cangkir teh, refleks terbatuk kecil, tersedak kepaluan fakta.

Tante Julia tertawa kecil, tapi wajahnya menegang. "Ah, masa sih? Kayaknya dokter perlu dicek juga tuh. Dari kecil Justin sehat walafiat, nggak pernah rewel, nggak pernah sakit berat."

"Iya, Mam, tapi yang dicek bukan soal itu," balas Bella, lembut namun mantap. "Kualitas benihnya juga diperiksa. Kata dokter, itu salah satu faktor penting."

Justin melirik Bella tajam. Bahasa tubuhnya bicara lebih lantang daripada mulutnya: 'stop sampai sini'. Tapi Bella tak bergeming. Sudah cukup lama ia menahan diri. Sudah cukup lama semua beban hanya mampir di pundaknya.

Jenny mencoba mencairkan suasana dengan tawa hambar, "Halah, paling Mas Justin cuma kurang makan yang bener aja. Nggak usah dibesar-besarin lah."

Bella menghela napas dalam-dalam. Dadanya sesak, tapi wajahnya tetap terjaga, hanya saja matanya mulai berbicara lebih banyak daripada bibirnya.

Lalu, tiba-tiba suara pintu depan menghempas ringan.

"Lho, kok tegang amat nih suasana? Lagi pada ngomongin apa?" Bude Farah datang dengan gaya khasnya: sok santai tapi selalu bawa bensin buat api kecil.

"Ini, Bud. Lagi ngobrolin Bella sama Justin yang belum dapet momongan," jawab Tante Julia sambil tertawa tipis, senyumnya palsu tapi rapi.

"Ah, kenapa nggak bilang dari dulu ke Bude sih?" Bude Farah mendudukkan diri di sofa, meletakkan tas rotan di pangkuan. "Ada tuh Gus Bokis di kecamatan sebelah. Banyak yang berhasil, lho. Didoain, diminumin ramuan, eh bulan depannya langsung isi."

Bella menarik sudut bibir, menoleh ke Justin, berharap kali ini suaminya pasang badan. Tapi seperti biasa, Justin hanya menarik napas panjang, lalu diam.

Dengan sopan tapi tegas, Bella angkat bicara, "Makasih sarannya, Bude. Tapi saya dan Mas Justin sudah sepakat jalani pengobatan medis. Kami percaya prosesnya."

"Oh, jangan sombong, Neng. Usaha tuh bisa lewat mana aja jalannya. Tetangga Bude dulu divonis mandul sama dokter, eh malah punya anak setelah ke Gus Bokis. Jangan terlalu yakin sama orang kota aja," ujar Bude Farah sambil geleng-geleng kepala, seolah kasihan.

"Iya, Bell. Nggak ada salahnya nyoba. Jangan terlalu kaku lah," Tante Julia menimpali lagi, nadanya setengah menghakimi.

Bella mengepalkan tangan di pangkuan. Sekali lagi menahan diri dari kata-kata yang ingin dilontarkan mentah-mentah.

Dan untuk pertama kalinya hari itu, Justin akhirnya bersuara, meski nadanya masih setengah hati, "Kami akan tetap jalani pengobatan dokter dulu, Bude. Tapi makasih ya sarannya."

Bella menoleh cepat ke Justin. Kaget, sekaligus sedikit lega. Meski terlambat dan kurang meyakinkan, setidaknya lelaki itu bicara.

"Ya sudah, kalo nggak mau nurut, semoga aja nggak nyesel nantinya," dengus Bude Farah, menutup topik dengan sengit.

Baru saja suasana hendak mencair, Bude Farah kembali melempar batu, "Eh iya, Farhat ke mana? Kok nggak keliatan?"

"Suami saya lagi dinas ke Semarang, sekalian jenguk Jeslyn," sahut Tante Julia, suaranya mulai terdengar letih.

"Berapa lama di sana?"

"Udah tiga hari, besok siang harusnya pulang. Tapi ya, kalo nggak molor. Ada apa Bude?" tanya Tante Julia, meski ekspresinya sudah waspada.

"Oh, ada urusan dikit. Rumah warisan yang di Setul itu, kemarin ada yang nawar lima ratus juta sekalian sama kebunnya. Heran deh, kenapa Farhat nggak mau lepas aja. Sayang kan, daripada nganggur dikontrakin."

"Oh itu, mau dipake buat kantor baru, Bude," sahut Tante Julia, nadanya agak defensif.

Bude Farah mendengus. "Kantor lagi, kantor lagi. Di Jakarta aja banyak yang bisa disewa. Itu kan rumah warisan, harusnya kalo buat usaha, dibagi dong setengahnya buat kakak dan adik-adiknya Farhat."

Tante Julia menarik napas berat. Matanya melirik jam dinding. "Iya, nanti saya obrolin lagi sama Mas Farhat, Bude."

Bella hanya diam, menyaksikan perang dingin itu bergulir dari satu topik ke topik lain. Ia tahu betul, di keluarga ini, serangan bisa datang dari berbagai arah. Tapi hari ini, setidaknya, ia sudah membalas.

Tante Julia, 50 tahun, adalah ibu dari empat anak: Jordy, Jenny, Justin, dan Jeslyn. Tiga di antaranya sudah berkeluarga, hanya Jeslyn yang masih kuliah di Semarang.

Suami pertama Tante Julia, Almarhum Dharma, telah meninggal beberapa tahun lalu. Setelah itu, ia menikah lagi dengan Farhat, atau biasa disapa Om Farhat. Pria berusia 45 tahun yang dulunya anak buah suami pertamanya. Dari pernikahan ini, mereka tidak dikaruniai anak.

Om Farhat sendiri memiliki dua anak laki-laki dari pernikahan sebelumnya, namun keduanya ikut tinggal bersama mantan istrinya di Bali. Kini, Om Farhat meneruskan usaha mendiang Pak Dharma, sedangkan Tante Julia sibuk mengurus berbagai bisnis lain miliknya.

Bude Farah adalah kakak tertua Farhat. Sejak awal, ia tidak pernah setuju dengan pernikahan adiknya dan Tante Julia. Meski begitu, ia justru sering merongrong harta kekayaannya-terutama warisan dari mendiang Pak Dharma, suami pertama Tante Julia. Seakan-akan dia ikut memiliki hak atas semua itu.

Suasana mendadak kaku setelah ucapan pedas itu meluncur dari Bude Farah. Senyum sinisnya mengambang di udara, tapi semua orang tahu, tak ada yang lucu dari kata-katanya barusan.

Justin meneguk ludah, mengerling Bella yang menunduk, rahangnya mengeras.

Tak butuh waktu lama, Justin bangkit berdiri, menarik lengan Bella halus tapi tegas. "Kami pamit dulu, Mam, Bude."

Tanpa menunggu jawaban, mereka melangkah keluar. Udara malam menyambut, tapi dinginnya tak mampu memadamkan bara di dada Bella. Di atas motor, Bella duduk kaku. Tak ada pelukan di pinggang Justin malam ini. Tangannya mengepal di pangkuan, rahangnya terkunci rapat.

Justin bisa merasakannya. Dan seperti biasa, ia memilih diam.

Suara mesin motor mengisi keheningan yang semakin menyesakkan. Tak ada obrolan, tak ada gurauan. Hanya suara angin dan kepalan amarah yang menggantung di antara mereka.

Sesampainya di rumah, Bella turun tanpa bicara. Pintu rumah dibiarkan menganga, seolah tak penting lagi apakah Justin akan menyusul atau tidak.

Justin menarik napas berat, dadanya terasa penuh. Ia memarkir motor, menutup pintu dengan pelan, seolah berharap suara pelan itu bisa meredam badai di dalam.

Tapi di ruang tengah, badai itu sudah menunggu.

Bella berdiri di sana, punggungnya tegang, tangannya gemetar saat melepas kerudung dengan gerakan kasar. Mata Bella merah, bukan karena air mata, tapi karena amarah yang sudah mendidih terlalu lama.

"Kenapa kamu diam aja tadi, Mas?" suaranya pelan, tapi tajam. Seperti pisau kecil yang menikam perlahan, tepat di ulu hati.

Justin menelan ludah, mencoba menenangkan diri. "Aku nggak mau ribut sama Mama, Bell."

Bella tertawa, pendek, getir. Tawa yang lebih menyakitkan daripada makian. "Oh, jadi biar kamu tetap kelihatan anak baik, aku harus rela diinjak-injak dan dirujak? Lima tahun, Mas. Lima tahun aku disindir, dilecehkan, dianggap nggak bisa ngasih keturunan. Dan kamu? Kamu DIAM SAJA!"

Justin memejamkan mata, suaranya mulai meninggi, lelah menahan. "Aku juga capek, Bell! Aku malu! Aku nggak tahu harus gimana!"

Bella mendekat, matanya menyala, jaraknya hanya sejangkauan tangan. "Kamu tinggal buka mulut, Mas. Satu kalimat aja: 'Jangan salahin Bella, ini bukan salah dia.' Tapi kamu nggak pernah punya nyali! Kenapa? Karena takut jadi anak durhaka? Tapi kamu nggak takut kehilangan aku, kan?"

Kalimat itu menghantam telak. Justin terdiam, menunduk.

Bella terus menekan. Suaranya bergetar, bukan karena tangis, tapi karena kemarahan yang sudah tak tertampung lagi. "Aku ini istrimu, Mas. Tapi di keluargamu, aku kayak orang asing. Nggak dianggap, dihina, direndahkan. Dan kamu? Diam. Selalu diam."

Suasana di ruang itu seperti ditarik kencang, napas terasa berat, udara begitu padat.

Justin mengusap wajahnya dengan kasar. "Aku cuma... aku takut, Bell. Takut ngomong malah makin runyam."

Bella menggeleng pelan, kecewa. "Yang kamu takutkan cuma Mamamu. Bukan kehilangan harga diri istrimu."

Setelah itu, hening. Hanya napas mereka yang berat terdengar.

Bella melangkah ke kamar. Setiap langkahnya seperti cambuk di punggung Justin. Saat pintu hampir tertutup, suaranya terdengar lagi, tajam dan dingin.

"Kalau kamu belum siap jadi suami, kita nggak perlu tidur bareng lagi, Mas."

"Bella..." suara Justin nyaris memohon.

"Aku ingin sendirian dulu, Mas. Aku ingin punya suami yang benar-benar jantan bukan lelaki pengecut!" tegas, tanpa ruang untuk dibantah.

Pintu kamar tertutup dengan bunyi klik yang lebih nyaring dari teriakan apapun. Justin berdiri di ruang tengah, sendirian, dikelilingi dinding-dinding rumah yang malam ini terasa asing dan menghakimi jika dia memang terlalu pengecut untuk menjadi seorang suami.

^*^

Lanjutkan Membaca

Buku lain oleh Fajar Merona

Selebihnya

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku