Hanum selalu mengira jika hidupnya adalah kesalahan dan tak seharusnya ada di dunia. Hidup berdua dengan sang nenek dan menjalani semua dengan sederhana bahkan tanpa orangtua membuatnya tumbuh menjadi gadis arogan dan introvert meski begitu, Hanum tak pernah bisa diam melihat kesewenangan. Hidup Hanum berubah saat Dipta, laki-laki kota yang melarikan diri dari masa lalunya, mulai tertarik pada Hanum dan ingin memilikinya. Meski berbeda prinsip dan latar belakang, tak membuat mereka menyerah dengan hubungan rumit yang mereka miliki. Masalah muncul ketika orangtua Dipta ternyata orangtua kandung Hanum. Mampukah mereka menyelesaikan kesalahpahaman di antara mereka? Masihkah berlanjut kisah cinta Hanum dan Dipta dengan kondisi mereka?
Hanum baru saja menyandarkan motornya di sisi rumah saat dia mendengar rintihan suara asing di balik semak tinggi. Hanum memandang sekeliling. Hujan sedari siang membuat suasana semakin gelap dan mencekam. Berkali-kali Hanum menyentuh tengkuknya yang mulai terasa dingin.
"Tolong!" Hanum yang hendak melangkah meninggalkan sisi halaman kembali berhenti.
"Hanum!" Hanum terlonjak kaget saat nenek menyusul membawakan payung.
"Ah, mak! Bikin Hanum kaget aja!" Hanum tersenyum hangat. Hanum begitu dekat dengan nenek karena hanya neneklah sosok yang ada sejak Hanum mengenal dunia.
"Kalau cuaca begini, mending kamu nginep aja, Num. Emak malah sport jantung nungguin kamu pulang!" Nenek menyerahkan payungnya.
"Gak usah, Hanum toh sudah basah. Mau sekalian mandi!" Hanum menolak payung yang disodorkan neneknya.
"Tolong!" Suara itu masih terdengar meskipun lebih lemah.
"Mak, dengar gak?" Hanum kembali memasang mata dan telinganya. Gadis berlesung pipit itu, menatap neneknya tajam.
"dengar apa? Emak gak dengar apa-apa selain geledek sama hujan!" Hanum mencelos.
"giliran beginian aja gak denger, tapi kalau lagi diomongin denger!"
"Besok suruh Mang soleh benerin pager depan ya, mak!" Lanjut Hanum
"Kenapa? Nabrak lagi? Astaga Hanum! Seneng bener bikin emak kere! Kalau udah deket tuh mbok dikurangin gasnya!"
"Gak asyik gak nabrak, mak!" Hanum tertawa diikuti jeweran neneknya.
"Tolong!" Suara itu semakin lemah. Hanum bergegas ke ujung sisi halaman yang masih tinggi semak belukar.
"Num, jangan cari masalah!" Nenek Hanum berteriak khawatir saat Hanum melangkah. Rumah mereka di ujung jalan dan jauh dari keramaian. Di sisi belakang, ada sungai besar yang dulu menjadi tempat Hanum menyendiri sehari-hari.
"Astaga!" Hanum kembali terlonjak kaget. Laki-laki yang penuh dengan luka dan darah yang bercampur air hujan.
"Kenapa, Num!" Wanita tua itu kembali khawatir saat mendengar suara Hanum yang terdengar kaget.
Hanum tak lagi menjawab. Tangannya segera meraih pundak laki-laki yang kini terbaring lemah. Pakaiannya lusuh oleh lumpur.
"Kenapa kau penuh luka. Macam keluar dari neraka saja!"
"Aku mungkin berasal dari sana!" Laki-laki itu menjawab dengan seringai.
"Baguslah kau masih hidup. Ayo ikut aku!" Hanum tertawa pelan. Lalu memapah laki-laki asing itu, memasuki rumah.
"Hanum, siapa dia?" Nenek Hanum tergopoh-gopoh mengikuti langkah Hanum yang tampak susah memapah laki-laki asing penuh darah.
"Setan, mak!" Jawab Hanum sekenanya.
"Setan?" Wanita tua itu mengulang kata-kata Hanum dengan wajah bingung.
"Masak air, mak. Biar Hanum bersihkan dia!" Nenek Hanum mengangguk lalu berjalan melewati Hanum menuju dapur.
"Aku akan membantumu membersihkan luka-lukamu. Tapi setelahnya, kau harus segera pergi meninggalkan rumah ini. Kami hanya dua orang perempuan, bisa bahaya kalau penduduk melihatmu lama-lama di sini!" Hanum segera bertindak. Mengambil kotak obat dan gunting setelah membaringkan di ranjang yang biasa digunakan neneknya.
Dengan penuh hati-hati merobek pakaian laki-laki itu, lalu mulai membersihkan dan memberikan perawatan.
"Maling apa, sampai ancur begini?" Hanum geleng-geleng kepala. Antara ngeri dan ingin tahu, meski tangannya cekatan membalut lengan dengan perban. Luka menganga di lengan seperti sabetan pedang atau semacamnya belum bekas tusukan. Seumur hidup baru kali ini, Hanum merawat luka yang mengerikan.
"Kau cekatan juga. Terbiasa merawat laki-laki sepertiku?" Mata laki-laki itu menatapnya tajam. Entah kenapa, sejak melihat Hanum, ada sesuatu yang dirasakannya.
"Ya, aku biasa merawat luka, tapi bukan luka perang seperti ini! Aku biasa membantu nenek merawat luka ibu-ibu pasca melahirkan. Nenek suka bantu perempuan miskin melahirkan!" Laki-laki itu kembali terdiam.
"Akan kucarikan pakaian untukmu, kecuali kalau kamu tak mau!" Hanum berdiri.
"Kau bersihkan badan dulu, Hanum!" Nenek membantu Hanum membereskan kotak obat lalu menyerahkan segelas minuman hangat. Hanum baru sadar jika tubuhnya masih basah.
"Terima kasih nek, minumannya segar sekali!" Laki-laki itu tersenyum pada nenek.
"Ya, minuman untuk ibu yang baru melahirkan. Biar lukanya cepat kering!" Hanum tergelak melihat laki-laki itu melongo sedang nenek hanya tersenyum kecil dan menepuk lengannya perlahan.
"Maaf, kita di desa terpencil. Tak biasa menjamu tamu kecuali yang memang datang untuk meminta bantuan!" Laki-laki itu mengangguk dan kembali tersenyum. Hanum menggelengkan kepalanya heran. Laki -laki itu begitu manis saat menatap neneknya, kenapa malah terlihat garang saat menatap dirinya.
Tanpa permisi, Hanum segera ke kamar. Mandi dengan cepat lalu berganti pakaian casual. Gadis bertubuh semampai itu, kembali keluar dengan membawa pakaian. Celana kolor dengan kaos oblong juga sebuah tongkat penyangga kaki.
"Pakailah. Kamar mandi di sana!" Hanum menunjuk kamar mandi.
"Kau bisa kan jalan sendiri?" Laki-laki itu mengangguk lalu berjalan pelan meninggalkan Hanum.
"Makan dulu, Num!" Hanum menoleh ketika wanita tua itu membawakan makanan yang di letakkannya di sisi meja dekat ranjang perawatan.
"Hem!" Jawab Hanum singkat.
"Besok, biar Hanum ke Pak Danu, Mak!" Nenek Hanum mengangguk sambil tersenyum. Sejak nenek terjatuh beberapa waktu lalu, Hanum selalu melarang neneknya bepergian sendiri.
"Tidurlah, Mak! Sudah malam!" Hanum menuntun neneknya menuju kamar. Bagi Hanum, neneknya adalah harta tak ternilai yang harus dia jaga. Dua perempuan berlainan generasi itu, melangkah menuju kamar nenek.
"Maaf buat mak khawatir malam ini. Ada kelas tambahan jadi aku terpaksa pulang agak sore!"
"Ya, mak tahu. Kamu pasti punya alasan sendiri jika pulang kemalaman. Mak percaya, kamu bisa jaga diri!" Hanum mengangguk. Mencium neneknya sesaat sebelum neneknya menutup pintu.
"Kau tak punya baju lain?" Hanum menoleh. Menahan tawa dengan membekap bibirnya. Laki-laki yang gagah dan penuh luka tadi, kini tampil seperti Shelly, banci di ujung jalan besar yang selalu digodanya tiap pagi.
"Kau mau baju nenekku?" Laki-laki itu tak menjawab tapi menatapnya dengan tajam.
"Makanlah lalu istirahatlah. Besok aku akan minta Mang Soleh mengantarmu ke kota!"
"Siapa Mang Soleh?" Laki-laki itu bertanya sambil kembali duduk di sisi ranjang dan menyantap makanan di piring dengan semangat.
"Pacarku!" Hanum tertawa lalu masuk kamar tanpa Hanum perhatikan jika pandangan laki-laki itu, menunjukkan wajah tak suka melihatnya.
"Akhirnya, aku bisa melihatmu!" Hanum merebahkan tubuhnya dan segera terpejam.
Di luar, hujan masih setia mengguyur bumi. Meluapkan rasa rindu yang tak penduduk bumi pahami. Sesekali terdengar petir yang menyapa, menyampaikan pesan dari Sang Pencipta.
Buku lain oleh Nada_Senja
Selebihnya