Cinta di Tepi: Tetaplah Bersamaku
Cinta yang Tersulut Kembali
Rahasia Istri yang Terlantar
Kembalinya Istri yang Tak Diinginkan
Pernikahan Tak Disengaja: Suamiku Sangat Kaya
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Gairah Liar Pembantu Lugu
Dimanjakan oleh Taipan yang Menyendiri
Cinta yang Tak Bisa Dipatahkan
Sang Pemuas
“Ciu San! Kau sebaiknya turun saja dari panggung ini jika kamu tidak mau luka parah lagi seperti yang sudah-sudah!”
Mendengar suara ejekan itu semua orang tertawa terbahak-bahak.
Sedangkan ada satu keluarga yang tampaknya muram dan sedikit murka mendengar ejekan itu.
Satu keluarga itu sepertinya merupakan keluarga besar. Karena banyak sekali orangnya. Dan ada beberapa pasang orang yang sudah berumur pula.
Mendengar ejekan itu, salah satu orang tua itu berbisik kepada yang lain, “Sebaiknya kau suruh anakmu itu turun saja. Daripada semakin membuat malu keluarga kita.”
“Betul apa yang di ucapkan Twao Tiong San barusan, Ko Bun San!” kata seorang wanita menimpali ucapan orang tua tersebut.
Bun San berkata kepada mereka berdua, “Aku mendidik putraku agar tidak mudah menyerah. Kalau dia kalah. Dia harus kalah terhormat!”
Rupanya orang yang bernama Bun San adalah ayah dari orang yang sedang bertanding dan tubuhnya sudah terlihat babak belur semua.
Baru saja sang ayah berkata demikian, tampak seseorang telah terlempar dari atas panggung dan jatuh tepat di hadapannya.
Rupanya dia adalah putra dari Bun San yang bernama Ciu San.
Seorang perempuan segera mendekatinya dan tampaknya ia menangis sambil berkata. “Ciu San anakku, kamu baik-baik saja.”
Pemuda itu mencoba mengangkat tangannya untuk memberi tanda kalau dia baik-baik saja. Tetapi ketika ia mencoba bangkit berdiri, tubuhnya kembali ambruk.
Bersamaan dengan itu terdengar suara dari seseorang, “Pertandingan kali ini di menangkan kembali oleh Siau Lan dari keluarga besar Naga Terbang.
Pemuda yang bernama Siau Lan itu mendekati Ciu San.
Sesudah ia dekat dengan pemuda itu, ia pun mengejek lagi, “Sebaiknya untuk pertandingan berikutnya janganlah kalian mengikut sertakan dia lagi. Yang lain saja sudah kalah lebih dahulu. Kenapa dia harus ikut bertanding lagi. Sebaiknya dia di tinggal di rumah saja. Berlindung di balik ketiak ibunya!”
Kembali semua orang yang mendengar itu tertawa terbahak-bahak.
Sang ibu yang mendengar sindiran itu sepertinya terpancing juga emosinya dan Ia hendak melompat naik untuk memberi pelajaran kepada pemuda itu, tetapi tangan Bun San cepat mencegahnya sambil berkata, “Janganlah kamu buat keributan di tempat ini. Sebaiknya kita segera bawa pergi anak kita dahulu dari sini.”
“Tuan Bun San, anak ku tidak takut kepada keluargamu. Sebaiknya kamu maju sebagai wakil dari keluargamu. Aku ingin lihat sampai di mana kehebatan jurus pukulan telapak tangan dari keluargamu yang katanya sudah mencapai tingkat ke delapan itu!” terdengar suara tantangan yang cukup keras dari ujung seberang tempat duduk keluarga itu.
Mendengar suara tantangan itu terdengar suara sorak-sorai yang menyatakan kalau semua orang juga hendak melihat jurus tingkat ke delapan dari jurus pukulan telapak tangan milik Bun San.
Rupanya kedua orang tua itu tidak mengacuhkan ucapan tersebut, mereka tampaknya lebih memperhatikan keadaan putra mereka daripada tangan itu.