Rangga Wijaya, pewaris kaya yang sinis dan trauma dengan cinta, terus didesak keluarganya untuk segera menikah. Hidupnya berubah ketika Kinanti, perempuan sederhana yang cerdas tapi terbelit utang keluarga, masuk ke perusahaannya sebagai sekretaris sementara. Di tengah tekanan keluarga, luka masa lalu, dan perbedaan dunia mereka, Rangga dan Kinanti terlibat dalam dinamika penuh humor dan ketegangan. Mampukah mereka menemukan kebahagiaan di tengah kekacauan hidup masing-masing?
Telepon di meja kerja Rangga bergetar lagi. Kali ini, bukan hanya bergetar, tapi seperti menari-nari, nyaris terjun bebas ke lantai karena getarannya yang heboh. Rangga melirik layar ponsel itu malas-malasan. Nama Mama terpampang jelas di sana, seperti pengingat nasib yang tak bisa dihindari. Ia menghela napas panjang, menyandarkan tubuh ke kursi, dan bersiap menerima "ceramah sore".
"Halo, Ma," sapanya datar, tanpa usaha menyembunyikan rasa lelahnya.
"Rangga, Mama cuma mau tanya," suara Mamanya langsung menyerang tanpa aba-aba, "Kapan kamu mau mulai cari calon istri? Jangan bilang Mama kamu sibuk lagi, karena Mama sudah bosan dengar alasan itu!"
Rangga memijat pelipisnya sambil melirik jam di dinding. Ah, lima menit lebih awal dari biasanya, pikirnya. Biasanya ceramah ini dimulai pukul empat tepat. Rekor baru.
"Ma, aku sibuk, dan aku belum ketemu yang cocok," jawabnya, mencoba terdengar santai.
Mamanya mendesah, suara khas seorang ibu yang kecewa tapi tetap gigih. "Rangga, kamu tuh punya segalanya. Tampan, kaya, pintar, bisnis sukses. Kok ya masih saja jomblo? Mama ini malu kalau arisan ditanya kapan kamu menikah! Mama jadi bahan gosip, tahu nggak?"
"Mama, aku juga nggak mungkin pilih istri cuma biar Mama bisa menang di arisan," tukas Rangga, mencoba menahan senyum.
"Bukan itu maksud Mama!" seru Mamanya. "Tapi umurmu itu loh, Nak. Sudah tiga puluh dua tahun! Kalau kamu terus-terusan begini, nanti anak-anakmu manggil kamu Opa, bukan Papa!"
Rangga mengerutkan kening. "Opa? Mama, umurku baru tiga puluh dua, bukan tujuh puluh dua."
"Lima tahun lagi juga sudah kepala empat! Habis itu kepala lima! Mama ini ngomong karena sayang sama kamu, Nak. Masa pewaris satu-satunya keluarga Wijaya malah jadi perjaka tua?"
Rangga menghela napas panjang lagi. Kata perjaka tua itu mulai terdengar seperti julukan baru yang mau disematkan Mamanya di kartu nama. "Ma, aku baru putus lima bulan lalu. Aku belum siap."
"Belum siap? Lima bulan itu sudah cukup buat ayam bertelur lima kali, Rangga! Kamu tuh bukan ayam, kamu manusia. Masa hatimu masih belum sembuh-sembuh juga?"
Rangga harus menggigit lidahnya untuk menahan tawa. Gaya perumpamaan Mamanya selalu unik. Ia menatap jendela ruangannya, memandang gedung-gedung tinggi di Jakarta yang entah kenapa terasa semakin menekan.
"Ma, aku nggak mau asal nikah cuma karena desakan. Kalau nggak cocok gimana?" tanyanya, mencoba alasan lain.
"Kamu tuh nggak mau usaha! Nih, Mama bilang ya, cari pasangan itu kayak cari rumah. Nggak ada yang langsung cocok. Kadang harus renovasi dulu! Yang penting ada niat dulu, Rangga."
Rangga tertawa kecil. "Jadi aku harus renovasi calon istri juga, gitu?"
"Bukan gitu maksud Mama! Aduh, kamu ini," keluh Mamanya. "Mama serius, Rangga. Kalau kamu nggak mau usaha, biar Mama cariin. Banyak loh anak teman Mama yang cantik, pintar, kaya. Tinggal pilih!"
Rangga hampir tersedak mendengar ide itu. Dijodohkan? Bayangan dirinya di ruang tamu, dikelilingi tante-tante arisan yang sibuk memamerkan anak-anak mereka seperti katalog produk, membuatnya ngeri.
"Mama, jangan," katanya cepat. "Aku bisa cari sendiri. Tapi, beri aku waktu."
"Berapa lama lagi? Jangan sampai Mama sudah pegang tongkat baru kamu bilang mau nikah!" tukas Mamanya galak.
"Ma, aku janji akan serius. Tapi aku nggak bisa langsung sekarang juga," jawab Rangga, mencoba terdengar meyakinkan.
"Baiklah, Mama kasih waktu. Tapi kalau sampai akhir bulan ini kamu belum ada progres, Mama turun tangan sendiri, ya!"
Tanpa menunggu jawaban, Mamanya menutup telepon, meninggalkan Rangga dengan rasa campur aduk antara lega dan waspada. Ia meletakkan ponselnya di meja, menatapnya seperti benda itu baru saja mengancam nyawanya.
Di ruang kerjanya yang megah, Rangga merasa seperti sedang menjalani drama keluarga level dewa. Jadi pewaris keluarga sukses ternyata tidak semudah kelihatannya. Punya uang tujuh turunan memang menyenangkan, tapi tekanan untuk meneruskan darah keluarga itu sama besarnya.
Ia bersandar di kursi, memijat pelipisnya lagi. Lima bulan lalu, ia masih sibuk melupakan Ayu-mantan kekasihnya yang ketahuan selingkuh dengan seorang selebgram. Hatinya belum sepenuhnya pulih, tapi sekarang ia sudah harus memikirkan mencari pasangan hidup lagi? Rasanya seperti mencoba menambal ban bocor sambil dikejar deadline.
Pikirannya baru saja melayang-layang ketika pintu ruangannya diketuk. Rani, sekretarisnya, masuk membawa setumpuk dokumen. Perutnya yang membesar tampak menonjol di balik blouse kerjanya.
"Mas Rangga, ini laporan bulan lalu. Perlu tanda tangan Anda," katanya sambil meletakkan dokumen di meja.
Rangga mengambilnya tanpa banyak bicara, membaca sekilas, lalu membubuhkan tanda tangannya. Namun, sebelum Rani pergi, ia mengingatkan sesuatu.
"Mas, saya mau ingatkan lagi kalau dua minggu lagi saya mulai cuti melahirkan, ya."
Rangga mendongak dengan ekspresi terkejut. "Oh iya, ya. Saya hampir lupa. Kamu sudah siapkan pengganti sementaranya?"
"Sudah, Mas. Tenang saja. Dia lebih dari sekadar kompeten," jawab Rani sambil tersenyum percaya diri.
"Kompeten itu syarat standar. Kamu yakin dia nggak bikin ribet?" tanya Rangga, masih skeptis.
Rani tertawa kecil. "Mas Rangga, tenang saja. Dia nggak cuma kompeten, Mas. Dia juga cantik. Namanya Kinanti. Dia lulusan terbaik, pengalaman kerjanya banyak, dan... ya, saya yakin Mas bakal senang bekerja sama dengannya."
Rangga mengangkat alis. "Cantik, ya? Jangan-jangan Mama bayar kamu buat masang jebakan, nih."
Rani terkekeh. "Mas Rangga terlalu berprasangka. Tapi siapa tahu, jodoh bisa datang dari mana saja, kan?"
"Rani, ini kantor, bukan reality show 'Cari Jodoh'. Jangan coba-coba ikut campur urusan itu," Rangga memperingatkan dengan nada bercanda.
"Tapi, serius, Mas. Kinanti ini bukan hanya kompeten, dia juga cerdas dan sangat profesional. Kalau ada yang bisa menggantikan saya dengan baik, itu dia."
"Kalau kamu bilang seperti itu, aku percaya. Tapi jujur saja, aku masih merasa agak waswas," jawab Rangga sambil menyandarkan punggungnya ke kursi.
"Mas Rangga, saya yakin dalam dua minggu kerja bareng Kinanti, Mas bakal merasa aman. Dia ini tipe orang yang nggak cuma bekerja keras, tapi juga sangat perhatian hingga detail terkecil."
Rangga mendesah. "Baiklah. Kalau begitu, aku serahkan saja. Tapi aku nggak mau ada drama ya."
"Drama? Mas Rangga, ini perusahaan besar. Drama itu nggak ada di daftar job description kita!" jawab Rani sambil tertawa. Ia kemudian berpamitan dan keluar dari ruangan, meninggalkan Rangga yang terdiam.
Rangga duduk termenung. Nama Kinanti terus terngiang-ngiang di kepalanya, seperti sebuah nada asing yang pelan-pelan menjadi akrab. Entah kenapa, ia merasa nama itu akan membawa babak baru dalam hidupnya-meski ia belum tahu seperti apa babak itu nanti.
Semoga dia memang kompeten, pikirnya sambil memutar-mutar pulpen di tangannya. Dan kalau bisa, semoga dia nggak bikin masalah baru. Karena hidupku sudah cukup kacau tanpa tambahan plot twist sebagai topingnya.
Bab 1 Misi Cari Menantu
29/01/2025
Bab 2 Sisa Saldo dan Utang Warisan
29/01/2025
Buku lain oleh Dayu SA
Selebihnya