Vanya akhirnya hamil, namun kabar ini tak membuat sang kekasih bahagia. karena Razzen akan menikah dengan pujaan hatinya. Hancur hati Vanya, namun ia tak mau menggugurkan kandungannya. Dengan terpaksa ia menerima tawaran dari Razzen untuk pernikahan sandiwara dengan adiknya sendiri. Apakah Razzen akan menyesal suatu saat nanti?
"Ahh tidak! Aku pasti mimpi!"
Di kamar mandi yang terasa mengungkung, Vanya terduduk lemas sambil menatap garis merah pada alat tes kehamilan yang menjadi semakin jelas.
"Tak mungkin, ini harus salah. Alat tes ini pasti rusak! Aku gak mungkin hamil diluar pernikahan," bisiknya dengan bibir yang gemetar.
Matanya terbelalak, tak percaya alat tersebut tanpa ragu menunjukkan garis positif. "Ah tidak! Aku tak boleh hamil, apa jadinya hidupku?" pikirnya, nyaris tergoda untuk menghujamkan pukulan pada perutnya yang ramping.
Rasa takut akan kecewa yang mungkin dirasakan orang tuanya, serta bayang-bayang karirnya yang mungkin runtuh, menerkam pikirannya.
Vanya terus terbenam dalam renungan selama setengah jam, memutar dalam pikiran skenario terburuk yang mungkin harus ia hadapi. Rasa mual dan pusing yang belakangan ini ia rasakan setiap pagi kini bermakna-ada kehidupan yang sedang tumbuh di dalam dirinya, suatu realitas yang begitu nyata tapi begitu mengejutkan.
Langkahnya ragu-ragu, tetapi hati Vanya telah bulat saat ia melangkahkan kaki keluar dari toilet wanita, menuju ruangan Direktur Regantara Grup.
"Aku harus beri tahu dia. Dia harus bertanggung jawab atas kehamilanku!" pekiknya. Wanita dengan blazer abu itu menguatkan tekadnya, mantap.
Razzen Regantara, pria yang tak hanya atasannya tetapi juga kekasih gelapnya selama tiga bulan terakhir. Meski berstatus sekretaris, pesona dan daya tarik Razzen telah menyihirnya, membuatnya terperangkap dalam pesona cinta yang berbahaya, tanpa memikirkan risiko yang mungkin menghancurkan hidupnya jika Razzen tidak mau bertanggung jawab atas konsekuensi hubungan mereka.
"Aku pasti bisa meyakinkan dia untuk menikahiku segera!" pekiknya.
Dengan napas berat dan jantung berdegup kencang, Vanya berjalan menyelinap menuju ruangan Razzen. Di tangan kanannya tergenggam erat, benda kecil yang mungkin akan mengubah hidup mereka berdua. Dia menggelisahkan rambut cokelat panjangnya, pertanda dilema yang mendalam.
Apakah Razzen akan menyambut kabar ini dengan sukacita, atau malah sebaliknya? Namun, tekadnya sudah bulat. Dengan sebuah nafas yang dipadatkan oleh keberanian, Vanya membuka pintu kamar mandi.
"Razzen, kamu harus menikah denganku. Ini anak kita, kamu pasti senang kan?" suaranya bergetar, namun penuh dengan harapan. Ia membuang jauh ketakutan yang selama ini mendera, memimpikan gelar nyonya Regantara yang akan mengangkat derajatnya, layaknya dongeng Upik Abu yang menjadi ratu. Tak sabar untuk menyampaikan berita tersebut.
Saat Vanya beranjak menuju ruangan bosnya itu dengan senyum yang bermekaran di bibirnya, secara tiba-tiba langkahnya terhenti mendadak. Jantungnya berdegup kencang, tangannya gemetaran ketika meraih gagang pintu.
Dari kejauhan, terdengar suara yang begitu akrab di telinganya. "Baby, aku sungguh sangat merindukanmu. Kenapa kamu tak bilang-bilang sih kalau kamu pulang sekarang? Mungkin, aku akan menjemputmu di bandara?" Razzen berkata dengan nada manja yang terdengar hingga ke luar.
"Iya sayang, ini kan kejutan. Kalau aku telepon dulu, bukan kejutan namanya, tapi pemberitahuan!" jawab Laurin.
"Haha, gemas aku padamu!" Terdengar suara tawa Razzen terdengar penuh kegirangan, memancarkan keintiman yang nyata.
"Siapa itu?"
Saat Vanya mengintip melalui celah pintu yang terbuka, matanya sempit memperhatikan dua sosok di dalam sana. Razzen tampak duduk dengan santainya, sementara wanita lain itu, dengan postur tubuhnya yang tinggi semampai dan kulit putih, duduk di tepi meja.
Rambut pirang sebahunya melayang saat dia tertawa. Posisinya yang membelakangi pintu tidak menyembunyikan fakta bahwa Razzen dengan lancang melingkarkan tangannya yang biasa memeluk Vanya, kini mengitari pinggang gadis tersebut. Hatinya terasa ditikam, air mata tak terasa mulai menggenang di sudut matanya. Rasa kepercayaan dan cinta yang pernah mereka bina, kini seolah hancur berkeping-keping tanpa tersisa.
"Kenapa wanita itu? Kenapa dia bersamamu?" lirih Vanya.
Vanya merasa tubuhnya menggigil, tidak hanya karena dinginnya malam tapi karena luka yang kini menusuk hatinya, sesak dan perih. Razzen, pria yang selama ini dia percayai, kini tengah bersama wanita lain, tanpa beban dan rasa bersalah yang terlihat jelas di raut wajahnya.
Gadis itu menguncupkan bibirnya pada Razzen dengan kelembutan. Razzen balas menyambut dengan sambutan yang bergelora; bibir mereka menyatu dalam kecupan yang mendalam dan penuh gairah.
Kedua tangan Razzen dengan lembut menarik gadis itu agar tubuh mereka bertaut lebih dekat lagi. Dalam ruangan yang diselimuti suhu hangat itu, Vanya hanya bisa terpana, merasakan debar jantungnya yang bergema nyaring di dada.
Bibir mereka seakan tak mau berpisah, hingga Vanya memilih untuk menempatkan dirinya di pangkuan Razzen, merapatkan tubuh mereka tanpa ada sisa ruang di antara keduanya. Dadanya merasakan tusukan menusuk tajam ketika bola mata Vanya melelehkan air mata. Kegetiran merambah jiwa, sakit yang ia rasakan tak tertahankan.
"Tidak, ini tak mungkin, Razzen. Apa yang telah terjadi? Siapa gadis ini! Bukankah kamu telah berjanji akan membawaku bertemu dengan orangtuamu?" Gemetar mengguncang tubuh Vanya, hampir kehilangan keseimbangan, serasa akan ambruk. Keringat dingin membanjiri seluruh tubuhnya. Realitas ini, mengapa bisa begitu keji?
Vanya bergetar saat menyaksikan segala yang tak seharusnya dilihatnya. Pintu rapat ia tutup, perlahan dia merunduk, membisik dalam hati yang berkecamuk, "Ini tak sepatutnya terjadi. Aku yang mengandung buah hatimu, harusnya tak ada orang lain yang berani mendekatimu. Kita seharusnya bersatu dalam ikatan resmi, memupuk mimpi kita berdua!"
Suara kejut Moza memecah lamunannya, "Vanya, kenapa kamu bengong begini?" tanya Moza seraya menepuk bahunya. Terkejut, Vanya berpaling, mendapati rekan kerjanya itu mengamatinya dengan tatapan penuh tanya. "Kamu kok pucat, dan berkeringat lagi? Ada apa?" kekhawatiran Moza semakin nyata, matanya tak lepas memeriksa wajah Vanya. "Hanya... tidak enak badan, Za," Vanya berusaha tersenyum, suaranya tercekat, sementara tangannya mencengkeram erat saku blazernya, menyembunyikan goncangan yang tak mampu diungkapkan. "Haruskah aku antar kamu ke rumah sakit?" Moza menawarkan bantuan, raut wajahnya penuh kegelisahan menghadapi kondisi Vanya yang jelas-jelas tak biasa.
"Tidak usah, aku akan kembali ke ruanganku, cukup minum air putih dan vitamin sudah cukup kok, " sahutnya. Ia melemparkan senyum tipis. Kemudian berlalu memasuki ruangan yang berada tepat disamping ruangan Razzen.
Moza masih berdiri di depan pintu ruangan Razzen. Merasa bingung. Biasanya Vanya ceria, tapi kali ini terlihat banyak fikiran seperti itu. Ia yakin jika Vanya memiliki sesuatu yang disembunyikan olehnya.
Dengan mencebikan bibirnya Moza kembali ke mejanya untuk memfotokopi beberapa lembar berkas.
****
Malam hari pun tiba.
Dalam gumpalan kegelisahan, Vanya mengambil keputusan yang mendebarkan dengan naik ojek online menuju apartemen Razzen.
Perasaannya yang meluap-luap tak tertahan, ingin segera melihat bagaimana pria itu akan bereaksi saat mengetahui bahwa dirinya tengah mengandung buah hati mereka. Dibutuhkan waktu hanya sekitar 30 menit dari rumahnya.
Setibanya di sana, Vanya buru-buru membayar ojek, lalu dengan nafas yang tercekat, dia berlari menuju lift dan langsung menuju lantai ke-21 tempat kamar sang kekasih berada. Klik! Pintu terbuka dengan mudah setelah Vanya memasukkan kombinasi angka-angka yang sangat ia kenal karena telah banyak kenangan, kehangatan, dan keringat yang mereka bagi bersama di balik pintu itu.
Langkah Vanya terhenti. Dadanya terasa semakin sesak saat ia menyaksikan pemandangan di ruangan temaram tersebut.
"Vanya! Gila kamu?" Razzen yang terkejut bangkit dari ranjang, segera meraih handuk putih untuk menutupi tubuhnya. Dada bidangnya tampak sangat gagah, memaksa Vanya teringat pada kenangan yang telah terukir begitu dalam dalam hidupnya, hingga ia seolah hilang dalam dominasi lelaki itu selama ini