Rania adalah biduan muda dengan mimpi besar: menjadi seorang guru TK. Di balik gemerlap panggung, ia menyimpan tekad untuk menyelesaikan kuliah dan mengubah hidupnya. Namun, takdir membawanya bertemu Dimas, seorang CEO tampan yang dingin, ayah tunggal dari seorang putri kecil bernama Naira. Pertemuan mereka yang penuh konflik berubah menjadi kisah yang rumit ketika Naira, yang kesepian, mulai menemukan sosok ibu dalam diri Rania. Tapi cinta mereka tidak berjalan mulus. Dona, sekretaris sekaligus teman masa kecil Dimas, merasa terancam oleh kehadiran Rania. Dengan kecemburuan membara, Dona melakukan segala cara untuk menjatuhkan Rania, bahkan menyebarkan fitnah ke ibu Dimas. Di tengah badai fitnah dan prasangka, Rania harus memilih: bertahan dan memperjuangkan cintanya, atau menyerah demi menjaga mimpinya tetap hidup. Sementara itu, Dimas harus memutuskan apakah ia berani melawan segalanya demi wanita yang mengembalikan tawa di hidupnya dan hidup Naira. Sebuah cerita tentang perjuangan, pengkhianatan, dan kekuatan cinta yang membuktikan bahwa kebahagiaan sejati akan selalu menemukan jalannya.
Malam itu, sorak-sorai penonton menggema memenuhi ruangan. Lampu-lampu panggung menyinari wajah Rania, memantulkan cahaya dari gaun merah yang ia kenakan. Gaun itu mungkin terlihat mewah di mata banyak orang, tapi hanya Rania yang tahu, itu hanyalah pakaian sewaan yang harus ia kembalikan ke butik setelah selesai tampil. Ia tersenyum, menebar pesona, seperti yang biasa ia lakukan. Di depan penonton, ia adalah biduan muda yang penuh percaya diri.
Namun, di balik semua itu, ada Rania yang sesungguhnya. Seorang gadis biasa yang sedang berjuang keras menyelesaikan kuliahnya untuk meraih mimpi sebagai guru taman kanak-kanak. Dunia panggung ini, gemerlap dan penuh sorotan, hanyalah persinggahan sementara.
"Ayo, tepuk tangan lebih meriah lagi untuk Rania!" seru pembawa acara, membuat tepuk tangan semakin menggema.
Rania melangkah turun dari panggung setelah menyelesaikan penampilannya. Ia menyeka keringat di pelipis dengan handuk kecil yang sudah disiapkan manajernya, Mbak Leni.
"Bagus banget tadi, Ran! Mereka semua suka sama kamu," puji Mbak Leni sambil menyerahkan segelas air mineral.
"Terima kasih, Mbak," jawab Rania sambil tersenyum kecil. Dalam hati, ia menghela napas. Penampilan tadi memang berhasil, tapi kepalanya penuh dengan pikiran tentang tugas kuliah yang menumpuk.
Di belakang panggung, suasana sangat berbeda. Tidak ada tepuk tangan, tidak ada sorotan. Hanya ada ruangan sempit dengan cermin-cermin besar yang dihiasi lampu-lampu bulat. Di sinilah Rania bisa menjadi dirinya sendiri sejenak. Ia duduk di depan cermin, melepaskan anting besar yang menghias telinganya.
"Ran, kamu nggak makan dulu? Aku pesenin nasi goreng, lho," ujar Mbak Leni.
Rania menggeleng pelan. "Nggak lapar, Mbak. Masih banyak tugas yang harus aku kerjain."
"Yah, kamu itu. Udah kerja keras di sini, harusnya makan dulu biar ada energi," Mbak Leni mengomel, tapi tetap tersenyum.
Rania tertawa kecil. "Nanti aja, Mbak. Aku bawa roti di tas kok."
Saat ia hendak mengganti bajunya, seorang kru panggung tiba-tiba mengetuk pintu ruang ganti. "Mbak Rania, ada tamu yang mau ketemu."
"Siapa?" Rania bertanya sambil mengernyit. Ia jarang menerima tamu di acara seperti ini.
"Keliatannya penting. Orangnya rapi banget, kayak bos besar," jawab kru itu.
Rania menatap Mbak Leni dengan pandangan penuh tanya.
"Mungkin sponsor?" tebak Mbak Leni.
Rania mengangguk ragu. "Bilang tunggu sebentar ya, Mas. Saya ganti baju dulu."
Setelah mengganti pakaian dengan blus putih sederhana dan celana panjang, Rania keluar dari ruang ganti. Di sudut ruangan, berdiri seorang pria dengan jas hitam yang terlihat mahal. Rambutnya rapi, dan wajahnya memancarkan aura dingin. Rania bisa merasakan tatapan tajam pria itu bahkan sebelum ia mendekat.
"Selamat malam, Anda Rania, kan?" tanyanya, suaranya rendah dan tegas.
"Iya, saya Rania. Ada yang bisa saya bantu?" Rania mencoba tersenyum sopan, meskipun merasa canggung.
"Saya Dimas," pria itu memperkenalkan diri tanpa banyak basa-basi. "Saya diundang ke acara ini oleh salah satu mitra bisnis saya. Saya ingin menyampaikan sesuatu tentang penampilan Anda tadi."
Rania menahan napas. Apakah ia melakukan kesalahan? Atau ada sesuatu yang kurang dari penampilannya tadi?
"Penampilan Anda... cukup menghibur," lanjut Dimas, suaranya datar. "Tapi saya melihat hal lain di balik itu. Anda terlihat tidak sepenuhnya menikmati panggung. Seperti ada sesuatu yang membebani Anda."
Komentar itu membuat Rania terkejut. Ia tidak menyangka seseorang bisa membaca dirinya dengan begitu mudah.
"Terima kasih atas perhatiannya, Pak Dimas," jawab Rania akhirnya. "Tapi saya rasa penonton sudah cukup puas dengan apa yang saya tampilkan."
Dimas mengangguk pelan. "Memang. Tapi saya hanya ingin memberi tahu bahwa kesan pertama selalu penting, terutama di dunia seperti ini."
Rania menahan diri untuk tidak mengeluh. Ia tahu pria seperti Dimas, dengan jas mahal dan aura superior, pasti tidak memahami beratnya hidup yang ia jalani.
"Kalau itu saja yang ingin disampaikan, saya permisi. Ada urusan lain yang harus saya selesaikan," kata Rania sambil berusaha tetap sopan.
Namun, sebelum ia sempat pergi, seorang gadis kecil berlari dari arah belakang Dimas.
"Papa! Papa!" teriak gadis kecil itu, wajahnya ceria.
Dimas menoleh dan tersenyum tipis, perubahan ekspresinya yang mengejutkan Rania. Gadis kecil itu memeluk kaki Dimas sebelum akhirnya menatap Rania dengan mata besar yang penuh rasa ingin tahu.
"Papa, siapa dia?" tanya gadis kecil itu polos.
"Dia penyanyi yang tadi Naira dengar," jawab Dimas sambil mengusap kepala gadis itu lembut.
"Nyanyinya bagus banget! Aku suka," seru Naira dengan semangat, membuat Rania tersenyum tulus.
"Terima kasih, Naira," ucap Rania lembut. "Kamu suka lagu anak-anak juga?"
Naira mengangguk antusias. "Iya! Aku suka nyanyi di sekolah."
Percakapan itu terputus ketika ponsel Dimas berbunyi. Ia mengangkat telepon dengan wajah serius, meninggalkan Rania dan Naira di tengah ruangan.
Rania berjongkok, menyamakan tingginya dengan Naira. "Kamu anak yang baik, ya. Papa kamu pasti bangga sama kamu."
Naira tersenyum malu-malu. "Kakak mau jadi temanku?"
Pertanyaan itu membuat hati Rania berdesir. Gadis kecil ini mengingatkannya pada murid-murid di taman kanak-kanak tempat ia menjalani praktik mengajar.
"Tentu saja, Naira. Kakak mau jadi teman kamu," jawab Rania tulus.
Percakapan itu terhenti ketika Dimas kembali menghampiri mereka. "Naira, kita harus pergi sekarang."
Naira mengangguk patuh, tapi sebelum pergi, ia melambaikan tangan ke Rania. "Sampai jumpa lagi, Kakak!"
Rania membalas lambaian itu dengan senyum hangat. Namun, setelah mereka pergi, Rania merasakan sesuatu yang aneh. Kehadiran Dimas dan Naira, meskipun singkat, meninggalkan kesan mendalam di hatinya.
---
Setelah semua tamu pulang dan suasana gedung mulai sepi, Rania duduk sendirian di sudut ruang ganti. Ia membuka buku catatan kecil yang selalu ia bawa, mencoret-coret beberapa ide untuk tugas kuliah yang harus dikumpulkan minggu depan.
Namun, pikirannya terus kembali ke sosok Dimas dan Naira. Pria dingin dengan pandangan tajam, dan gadis kecil yang penuh keceriaan.
"Mereka benar-benar keluarga yang menarik," gumam Rania pada dirinya sendiri.
Malam itu, untuk pertama kalinya, ia merasa bahwa dunia panggung mungkin akan membawanya ke sesuatu yang lebih besar daripada sekadar sorotan lampu dan tepuk tangan penonton.
Di luar gedung, Dimas duduk di dalam mobil bersama Naira yang sudah tertidur di kursi belakang. Pandangannya lurus ke depan, tapi pikirannya kembali pada sosok Rania. Ada sesuatu yang berbeda dari wanita itu, sesuatu yang membuatnya ingin tahu lebih banyak.
Tanpa disadari, malam itu menjadi awal dari kisah yang akan mengubah hidup mereka semua.
***
Rania duduk di sudut kamar kosnya yang kecil, dengan buku catatan terbuka di pangkuannya. Lampu meja yang redup menerangi ruangan, sementara angin malam masuk melalui jendela yang sedikit terbuka. Ia menghela napas panjang, mencoba menyusun pikirannya. Pertemuan dengan pria bernama Dimas tadi tak kunjung hilang dari pikirannya. Sorot mata tajam itu seakan menembus semua lapisan yang selama ini ia sembunyikan.
"Apa yang dia tahu tentang hidupku? Dia hanya melihatku beberapa menit di panggung dan berani menilai aku seperti itu," gumam Rania sambil memainkan ujung bolpoinnya. Ia mendongak menatap langit-langit kamar. "Tapi... dia benar. Aku memang merasa tidak sepenuhnya ada di sana. Panggung itu bukan tujuanku. Aku cuma lewat, karena aku butuh uang. Apakah itu membuatku salah? Aku cuma ingin menyelesaikan kuliah, itu saja."
Ia menggigit bibirnya, perasaan frustrasi bercampur dengan kelelahan. "Kenapa sih hidup harus serumit ini? Aku kerja keras dari pagi sampai malam, tapi rasanya selalu kurang. Orang-orang melihatku di panggung, berpikir hidupku penuh gemerlap. Padahal, di balik semua itu, aku cuma Rania. Seorang perempuan biasa yang berharap mimpinya tidak hancur di tengah jalan."
Matanya beralih pada kalender yang tergantung di dinding. Beberapa tanggal sudah dilingkari merah, menandai tenggat tugas dan ujian yang semakin dekat. Rania menghela napas lagi, kali ini lebih panjang.
"Tapi aku nggak boleh nyerah," bisiknya, lebih kepada dirinya sendiri. "Aku sudah sejauh ini. Kalau aku berhenti sekarang, semua yang sudah kulakukan akan sia-sia. Entah aku suka atau nggak, aku harus terus jalan di panggung itu sampai aku bisa berdiri di depan anak-anak kecil di ruang kelas, bukan di bawah lampu sorot."
Pikiran itu sedikit menguatkan hatinya. Meskipun perjalanannya terasa berat, Rania tahu ia punya alasan untuk terus berjuang. Dunia panggung hanyalah batu loncatan, bukan tujuan akhir. Dengan tekad yang kembali menguat, ia menutup buku catatan dan mempersiapkan diri untuk hari berikutnya, hari baru dengan tantangan baru.