Cinta yang Tersulut Kembali
Kesempatan Kedua dengan Sang Miliarder
Mantanku yang Berhati Dingin Menuntut Pernikahan
Cinta Setelah Perceraian: Mantan Suami Ingin Aku Kembali
Cinta di Jalur Cepat
Jangan Main-Main Dengan Dia
Aku Jauh di Luar Jangkauanmu
Gairah Liar Pembantu Lugu
Balas Dendam Manis Sang Ratu Miliarder
Suamiku Ternyata Adalah Bosku
‘Pengidap HIV/AIDS berusia 19 tahun telah lolos perangkingan ujian universitas ternama—’
Jemari-jemari lantang mendadak terdiam kaku setelah mengetikan satu buah kalimat panjang yang belum selesai terketik.
Mata menatap lekat pada layar laptop yang bersinar terang di kegelapan kamarnya. Bibir bergeming sumbang tak mengeluarkan sepatah kata, Ilen langsung menutup rapat latopnya secara keras lalu beranjak ke kasurnya untuk pergi tidur.
***
Kring-kring
Alarm ponsel membangunkan tidur Ilen. Ilen langsung mengambil ponselnya secara kasar lalu mematikan alarmnya dengan menarik bulatan putih di layar ponselnya.
Ilen pun bangun dari kasurnya. Beranjaklah perempuan muda berusia tanggung itu melewati cermin yang menempel di lemarinya lalu perempuan itu keluar dari kamarnya.
“Selamat pagi, Nak … kamu tidak minum susumu, Nak?” ucap Silvia, yaitu Mama Ilen.
Tanpa sepatah kata sahut-menyahut, Ilen langsung masuk ke kamar mandi. Tak lupa Ilen menutup pintu dengan sangat keras dan kasar.
Kasar adalah asupan sehari-hari Ilen sehingga perempuan berusia 19 tahun itu selalu menanggapi balik orang-orang di sekitarnya dengan cara yang sama bahkan orang tuanya yang tak salah apa-apa akan mendapatkan perlakuan yang sama.
Ilen adalah perempuan cantik bertubuh sangat kurus dengan kantong mata hitam pekat di bawah kelopak matanya. Ilen sendiri memiliki beragam ejekan unik sedari dirinya masih menginjak sekolah dasar.
Tubuh kurus sedari lahir menjadi salah satu alasan untuk Ilen, yaitu alasan yang menjadikan Ilen sebagai seorang perempuan aneh dengan perilaku sangat tertutup.
Seperti yang dilakukan Ilen sekarang. Ilen menutup dirinya rapat-rapat di kamar mandi yang sangat dingin tanpa sepatah kata apa pun. Hanya air mengalir yang menjadi teman bicara Ilen. Ilen hanya menjadi pendengar yang baik, mendengarkan setiap aliran air dari kerannya.
Wajah putih pucat Ilen menampak tajam di cermin. Ilen sedang menggosok giginya dengan sangat keras per sekian 15 menitnya. Setelah Ilen menggosok gigi, Ilen pun berkumur dengan air mengalir dari keran lalu Ilen pun menelan seluruh kumurannya sendiri.
Keluarlah peremuan 19 tahun itu dari kamar mandi lalu dirinya pun bertemu dengan ayahnya.
“Ilen Cantik, kamu sudah makan?” tanya Danar, Ayah Ilen.
Ilen menggeleng lalu berlari ke kamarnya.
Tas yang menganggur di atas meja pun ditarik Ilen. Ilen pun keluar dari kamarnya dan juga rumahnya tanpa berpamitan dengan kedua orang tuanya.
***
Setelah melangkah dengan jarak 5 meter dari rumahnya. Ilen pun tiba di depan halte bis.
Waktu yang tepat bahkan nyaris tertinggal bis, Ilen pun berlarian untuk memasuki bis biru yang masih berhenti di depan haltenya.
Tampang kesal tertampak sangat jelas dari raut Ilen. Perempuan 19 tahun itu pun duduk di kursi belakang dekat jendela, menjauhi kursi tengah yang penuh akan keramaian.
“Hai,” sapa perempuan cantik berambut pirang dengan senyuman lebar, perempuan itu duduk di samping Ilen.
Ilen tak memandang perempuan berambut pirang itu, Ilen hanya mengangguk seraya melihat ke jendela.
“Kamu mau kuliah kan?” tanya perempuan berambut pirang itu.
Ilen mengangguk lalu mata sayunya menatap perempuan berambut pirang itu.
Diamatilah perempuan berambut pirang itu oleh Ilen. Perempuan berambut pirang itu memiliki bibir tipis merah merekah, tanda lahir cantik di dekat telinganya dan yang terakhir di amati Ilen yaitu gelang emas berbintang yang menggantung di pergelangan tangan kiri perempuan itu.
“Siapa namamu? Namaku Seli,” ucap perempuan berambut pirang bernama Seli. Seli mengulurkan tangannya di balik sweater hijau mudanya.
“Ilen,” sahut Ilen. Tanpa senyum dan tanpa basa-basi, Ilen membuang muka kembali seraya menatap jendela.
“Senang berkenalan denganmu ...,” ucap pelan Seli, perempuan berambut pirang itu masih tersenyum dengan bibirnya. “Eh, ini hari pertama aku kuliah, kita bisa janjian bareng ke halte lain kali ... kamu kuliah di mana?” tanya Seli dengan nada penasaran.