Seorang pria yang merasa tertekan oleh kehidupan rumah tangganya terlibat perselingkuhan dengan seseorang dari masa lalunya. Ketika kebohongan ini terungkap, ia harus memilih antara keluarga yang ia bangun atau cinta yang tak pernah benar-benar hilang.
Arya duduk di ruang tamu rumahnya yang sederhana, menatap lurus ke depan tanpa benar-benar melihat apa pun. Di sekitarnya, suara kartun yang ditonton anak-anaknya mengisi ruangan, tapi pikirannya melayang jauh. Selama beberapa tahun terakhir, hidupnya terasa seperti dipenuhi oleh rutinitas yang sama-pekerjaan, rumah, dan tanggung jawab sebagai seorang suami dan ayah.
Dita, istrinya, sedang sibuk di dapur. Dari tempat duduknya, Arya bisa mendengar suara panci dan wajan yang saling beradu. Dita selalu cekatan mengurus rumah dan keluarga, sementara Arya sibuk dengan pekerjaannya di kantor. Mungkin itu yang membuatnya merasa semakin jenuh. Hari-harinya hanya dihabiskan untuk bekerja dan pulang ke rumah, menghadapi hal yang sama berulang-ulang tanpa ada kejutan atau gairah seperti dulu.
Saat sedang asyik merenung, Dita tiba-tiba muncul sambil membawa sepiring gorengan.
"Mas, ini. Baru aja selesai digoreng. Masih hangat," kata Dita sambil tersenyum lembut, menyodorkan piring itu ke Arya.
"Oh, iya... makasih, Ta," jawab Arya, mengambil satu gorengan dan menggigitnya perlahan. Meski ia tersenyum, matanya kosong, dan Dita memperhatikannya.
"Kamu kenapa sih, Mas? Dari tadi kelihatan nggak fokus. Lagi kepikiran sesuatu, ya?" tanya Dita, mencoba mencairkan suasana.
Arya mendesah pelan, menoleh ke arah Dita. Ia ingin bicara, tapi bingung harus mulai dari mana. Akhirnya, ia hanya menjawab, "Nggak, cuma capek aja, Ta."
Dita mengangguk mengerti, meskipun rasa khawatir tersirat di wajahnya. Selama beberapa waktu terakhir, Arya memang sering terlihat termenung. Sebagai seorang istri, Dita tahu bahwa ada sesuatu yang mengganggu suaminya, tapi Arya selalu menutupinya dengan alasan kelelahan.
"Ya udah, kalau capek, nanti aku buatkan teh hangat ya, Mas? Mungkin bisa bikin lebih rileks," tawar Dita dengan senyum kecil.
Arya hanya mengangguk, sementara di dalam hatinya, ia merasakan perasaan yang sulit ia gambarkan. Ia merindukan masa ketika ia merasa bebas, hidup tanpa beban yang menumpuk. Pernikahannya memang stabil, tanpa drama besar, tapi justru stabilitas inilah yang membuatnya merasakan kehampaan.
Setelah Dita kembali ke dapur, Arya mengambil ponsel dari sakunya dan melihat pesan-pesan yang masuk. Seperti biasanya, sebagian besar pesan itu tentang pekerjaan atau dari rekan-rekannya yang menanyakan hal-hal biasa. Tiba-tiba, satu pesan menarik perhatiannya. Nama yang muncul di layar membuat jantungnya berdetak lebih cepat.
Itu pesan dari Nia, sahabat lamanya dari masa kuliah. Mereka sempat dekat dulu, tapi keadaan membuat mereka harus memilih jalan masing-masing. Pesan itu singkat:
"Arya, apa kabar? Lama banget nggak denger kabar kamu."
Arya membaca pesan itu berulang-ulang, seakan-akan tak percaya. Kenangan bersama Nia tiba-tiba membanjiri pikirannya, mengingatkannya pada masa-masa ketika ia merasa bebas dan hidup penuh dengan gairah. Tanpa berpikir panjang, ia membalas pesan itu.
"Hai, Nia. Kabar baik, lama banget nggak ketemu. Kamu apa kabar?"
Tak lama, ponselnya berbunyi lagi. Balasan dari Nia.
"Aku baik. Kangen sama obrolan kita waktu kuliah dulu. Kamu masih ingat nggak?"
Arya tersenyum tipis, membayangkan saat-saat ketika mereka dulu sering mengobrol hingga larut malam, membahas hal-hal sepele hingga impian besar masing-masing. Rasanya seperti kembali ke masa lalu yang penuh warna.
"Masih ingat, dong. Nggak mungkin lupa," balasnya singkat.
Saat ia meletakkan ponsel, Dita kembali ke ruang tamu sambil membawa secangkir teh hangat.
"Mas, ini tehnya. Semoga bisa bikin lebih tenang," ucap Dita, meletakkan cangkir itu di meja.
"Terima kasih, Ta," jawab Arya, menatap wajah istrinya yang penuh perhatian. Rasa bersalah seketika muncul di hatinya, tapi ia berusaha mengabaikannya.
Dita tersenyum dan kembali duduk di sebelah Arya. Mereka sama-sama diam, tapi pikiran Arya masih melayang-layang ke pesan singkat dari Nia dan kenangan indah yang kembali muncul ke permukaan.
Di saat yang sama, ia sadar bahwa Dita, wanita yang duduk di sampingnya, adalah sosok yang selama ini setia mendampinginya dalam suka dan duka. Namun, perasaan jenuh itu begitu kuat hingga membuatnya merasa terbelah antara kehidupan saat ini dan bayangan kebebasan di masa lalu.
Arya menghabiskan tehnya dalam diam, pikirannya terus melayang-layang di antara masa lalu dan kehidupannya saat ini. Ada kerinduan yang sulit ia definisikan, seperti ada sesuatu yang kosong dalam hidupnya. Entah kenapa, pesan dari Nia tadi seperti menjadi katalis yang membuatnya ingin merasakan kembali hidup yang penuh dengan petualangan, seperti dulu.
Dita, yang duduk di sebelahnya, sesekali melirik Arya dengan wajah penuh pertanyaan. Ia merasa ada sesuatu yang mengganggu suaminya, tapi ia tak ingin mendesaknya.
"Mas," Dita akhirnya membuka suara, "kalau ada yang mau diceritain, aku di sini kok."
Arya menoleh, mencoba tersenyum, tapi senyuman itu tampak hambar. "Ta, kamu nggak pernah ngerasa jenuh sama kehidupan kita?" tanyanya tiba-tiba.
Dita tampak terkejut, namun ia berusaha tersenyum untuk menutupi rasa cemas yang mulai muncul. "Jenuh? Mungkin pernah ya, Mas. Tapi aku rasa, setiap orang pasti ada masanya merasa begitu. Kadang aku juga capek sama rutinitas, tapi... aku selalu ingat sama kamu dan anak-anak. Itu cukup buat bikin aku semangat lagi."
Jawaban itu seolah membuat Arya semakin tenggelam dalam pikirannya. Ia menatap Dita, mencoba memahami bagaimana wanita ini bisa tetap tegar dan menjalani kehidupan sehari-hari tanpa keluhan. Tapi bagi Arya, hari-hari yang terus berulang ini terasa seperti jeruji tak kasat mata, mengurungnya dalam rutinitas yang hampa.
"Aku cuma... kadang-kadang kangen sama masa-masa dulu, Ta. Masa-masa kita masih bebas, nggak ada beban. Hidup nggak cuma soal tanggung jawab," kata Arya perlahan, mengungkapkan sedikit dari apa yang selama ini mengganjal di hatinya.
Dita terdiam, berusaha mencerna kata-kata Arya. Rasa cemasnya semakin besar, tapi ia mencoba untuk tidak menunjukkannya.
"Mas, aku ngerti. Hidup kita sekarang mungkin nggak seindah waktu dulu kita masih pacaran atau waktu baru menikah. Tapi bukankah semua ini... kita bangun bersama?" Dita menatap Arya, mencoba mencari tatapan hangat suaminya yang dulu.
Arya tidak menjawab, ia hanya memandang lurus ke depan dengan tatapan kosong. Pikirannya kembali teralihkan saat ponselnya bergetar. Sebuah pesan baru masuk, dan dari nama di layar, ia tahu itu dari Nia lagi.
"Bisa ketemu? Ada yang pengin aku obrolin langsung, kalau nggak keberatan."
Arya merasa jantungnya berdebar lebih cepat. Ia melirik ke arah Dita, merasa bersalah, namun perasaan untuk bertemu Nia begitu kuat. Di balik rasa rindu akan masa lalu, ada rasa penasaran akan apa yang sebenarnya ingin Nia bicarakan.
"Ta, mungkin aku mau keluar sebentar. Ada yang harus aku temui," katanya pelan, mencoba terdengar biasa saja.
Dita mengerutkan alis, bingung dengan perubahan sikap suaminya. "Malam-malam begini, Mas? Ketemu siapa?" tanyanya lembut namun tegas.
Arya merasa canggung, tapi ia mencoba menghindari pertanyaan itu. "Ada teman lama yang baru datang ke kota. Kebetulan dia ngajak ketemu sebentar."
Dita mengangguk, meskipun keraguan terlihat di wajahnya. "Hati-hati ya, Mas. Jangan pulang terlalu malam," ucapnya, mencoba untuk tidak terlihat cemas.
Arya mengangguk, mengambil jaket dan ponselnya, lalu segera melangkah keluar rumah. Udara malam menyegarkan pikirannya, sementara bayangan Dita yang mengawasinya dari pintu perlahan menghilang di kejauhan. Ia tahu bahwa keputusannya ini mungkin berisiko, tapi dorongan untuk bertemu Nia mengalahkan rasa ragu yang menyelimuti hatinya.
Sesampainya di kafe yang telah disepakati, Arya melihat Nia duduk di sudut ruangan dengan secangkir kopi di depannya. Nia masih sama seperti dulu-wajahnya lembut dengan senyum yang mampu membuat siapa pun merasa nyaman. Namun, di balik senyum itu, Arya bisa melihat sedikit kerentanan yang belum pernah ia lihat sebelumnya.
"Arya," sapa Nia pelan, sambil tersenyum. "Terima kasih sudah mau ketemu."
Arya tersenyum tipis, duduk di hadapannya. "Nggak masalah. Lama banget ya, terakhir kita ketemu?"
Nia tertawa kecil. "Iya, kayaknya terakhir itu waktu kamu masih di kampus. Aku nggak nyangka kamu bakal datang."
Ada jeda di antara mereka, seolah-olah masing-masing mencari cara untuk memulai pembicaraan tanpa merusak suasana.
"Aku nggak tahu harus bilang apa, Nia. Aku juga nggak nyangka bakal ketemu lagi sama kamu," Arya berkata, berusaha mengendalikan perasaan yang mulai membuncah di dadanya.
Nia menatapnya dengan lembut. "Kadang, hidup bisa jadi sangat rumit ya, Arya. Aku juga merasa begitu. Dulu, rasanya semuanya jauh lebih sederhana."
Arya mengangguk, merasakan hal yang sama. "Aku ngerti. Hidup setelah menikah... itu nggak selalu mudah, ya."
Mereka terdiam sejenak, masing-masing merenung tentang hidup yang telah mereka jalani sejak terakhir bertemu. Ada kesunyian yang aneh, tapi justru keheningan itu membuat mereka merasa nyaman.
"Arya, kamu bahagia sekarang?" tanya Nia tiba-tiba, suaranya bergetar, seolah pertanyaan itu memiliki makna yang dalam.
Arya menatap mata Nia, merasa seperti ditelanjangi oleh tatapan itu. Ia ingin mengatakan ya, tapi hati kecilnya berteriak lain. "Aku nggak tahu, Nia. Ada saat-saat di mana aku merasa... terjebak," jawabnya dengan suara serak.
Nia mengangguk pelan, seolah memahami apa yang ia maksud. "Aku juga begitu, Arya. Kadang aku merindukan masa-masa dulu, saat kita masih bebas. Dan jujur saja, aku selalu bertanya-tanya... bagaimana kalau kita dulu tidak berpisah?"
Kata-kata itu mengguncang Arya. Perasaan lama yang selama ini terpendam dalam-dalam perlahan-lahan muncul ke permukaan. Tatapan mereka bertemu, dan di sana, dalam keheningan kafe yang dipenuhi suara percakapan rendah, mereka menemukan diri mereka kembali ke masa lalu, meski hanya untuk sesaat.
Arya menghela napas panjang, mencoba menenangkan perasaan yang bergejolak dalam dadanya. "Nia... aku juga pernah berpikir begitu. Tapi sekarang, aku punya keluarga. Dan aku...," suaranya terhenti, tak mampu menyelesaikan kalimatnya.
Nia mengangguk, tersenyum pahit. "Iya, aku tahu. Kita memang sudah memilih jalan masing-masing. Tapi rasanya kadang sulit, kan? Menghilangkan perasaan yang pernah ada?"
Arya tak mampu menjawab. Ia hanya bisa menatap Nia dengan penuh keraguan dan rasa bersalah.
Bersambng...
Buku lain oleh eryede
Selebihnya