Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
DALAM GENGGAMAN DUA HATI

DALAM GENGGAMAN DUA HATI

Tetesan Fajar

5.0
Komentar
2
Penayangan
5
Bab

Seorang pria yang merasa tidak lagi dicintai oleh istrinya menemukan cinta baru di tempat kerja. Saat hubungan itu tumbuh, ia harus menghadapi kenyataan bahwa ia mungkin menghancurkan kehidupan anak-anaknya untuk kebahagiaan pribadinya.

Bab 1 Cinta yang Memudar

Malam itu, Andi duduk di beranda rumahnya, menatap langit yang dihiasi bintang-bintang yang berkelap-kelip. Suara riuh anak-anaknya, Rina dan Rudi, bermain di dalam rumah, sementara Maya, istrinya, tampak tenggelam dalam kesibukannya di dapur. Meskipun terlihat seperti keluarga yang bahagia, ada sesuatu yang terasa hampa dalam hati Andi.

Andi menarik napas dalam-dalam, berusaha menangkap momen kebahagiaan yang sering kali mereka rasakan. Namun, saat memandang Maya, ia hanya melihat seorang wanita yang terjebak dalam rutinitas, tidak lagi menunjukkan senyuman hangat yang dulu selalu menghiasi wajahnya.

"Maya," panggil Andi pelan. "Kapan terakhir kali kita makan malam bersama tanpa gangguan?"

Maya menoleh, terkejut sejenak. "Hmm? Aku tidak ingat, Andi. Tapi kita kan sudah makan malam bareng beberapa hari lalu," jawabnya, dengan nada santai.

"Ya, tetapi... aku rasa kita hanya makan tanpa berbicara. Kita tidak pernah punya waktu untuk satu sama lain lagi," Andi mengeluh, suara sedikit menggema dalam keheningan malam.

Maya menghela napas, lalu melanjutkan pekerjaannya. "Kita sibuk, Andi. Pekerjaan, anak-anak... semuanya. Bukankah itu hal yang wajar dalam sebuah keluarga?"

Andi merasa hatinya sedikit perih mendengar jawabannya. Dia merindukan waktu-waktu ketika mereka menghabiskan malam berbincang, saling berbagi impian dan harapan. Ia memutuskan untuk tidak menyerah.

"Apakah kita bisa mencoba untuk lebih sering meluangkan waktu untuk satu sama lain? Hanya kita berdua?" tanyanya, berusaha mengungkapkan harapannya.

Maya menghentikan sejenak kegiatan di dapur, lalu berbalik. "Andi, aku juga ingin, tapi siapa yang akan mengurus anak-anak? Dan pekerjaan kita juga banyak. Kita bisa merencanakan liburan, mungkin?" jawabnya, tetapi raut wajahnya tidak menunjukkan antusiasme.

Andi merasa lelah, seolah semua usaha yang ia lakukan sia-sia. "Aku hanya ingin kita kembali seperti dulu, Maya. Sebelum semua ini. Sebelum anak-anak dan pekerjaan mengambil alih hidup kita."

Maya menatapnya, lalu kembali mengalihkan pandangannya ke dapur. "Aku juga merindukannya, Andi. Tapi kita harus realistis. Kehidupan tidak bisa kembali seperti semula."

Andi merasa hatinya semakin berat. Ia kembali merenung, teringat pada tahun-tahun awal pernikahan mereka, saat cinta mereka masih berapi-api. Mereka saling tertawa, berbagi mimpi, dan tidak ada yang bisa memisahkan mereka. Kini, semua itu terasa seperti kenangan yang samar.

Dengan suara lembut, Andi berkata, "Aku tidak ingin kita kehilangan apa yang kita miliki. Aku ingin memperjuangkannya."

Maya menghentikan pekerjaannya dan memandang Andi dengan tatapan penuh ketidakpastian. "Aku... aku juga tidak mau kehilangan kita. Tapi mungkin kita butuh waktu untuk menemukan diri kita lagi."

Malam itu, Andi merasa seolah ada jurang yang menganga di antara mereka, dan meskipun ia ingin melompat melintasi jurang itu, ia tidak tahu bagaimana caranya. Dengan perasaan campur aduk, ia kembali menatap bintang-bintang, berharap suatu saat cinta mereka akan kembali bersemi.

Andi mengalihkan pandangannya ke arah anak-anak yang bermain di ruang tamu. Rina, putri sulungnya yang berusia tujuh tahun, tampak bersemangat menggambar, sementara Rudi, si bungsu, bermain dengan mainan mobilnya. Melihat mereka, Andi merasa ada sesuatu yang perlu dipertahankan, tetapi ia juga merasa terjebak dalam ketidakpuasan yang terus menghantuinya.

"Sayang," panggilnya lembut kepada anak-anak. "Ayo, kita semua bisa bermain bersama sebentar!"

Rina langsung beranjak dari tempatnya, dengan wajah ceria. "Yay! Aku mau bermain petak umpet!" serunya, melompat-lompat kecil.

"Rudi, ayo ikut!" Andi mengajak si kecil yang tampak tidak terlalu bersemangat.

"Aku mau main mobil!" jawab Rudi sambil menggenggam mainannya erat.

Maya yang masih berada di dapur, mendengarkan suara ceria anak-anak. Dalam hati, dia merindukan saat-saat ketika mereka sekeluarga bisa tertawa dan bersenang-senang tanpa beban. Namun, ia tidak bisa mengabaikan rasa penat yang terus menghimpitnya.

"Baiklah, kita bisa main sebentar. Tapi jangan lama-lama ya, nanti kalian harus tidur," Maya memutuskan, akhirnya bergabung ke ruang tamu.

Andi merasa senang melihat istrinya ikut berpartisipasi, walaupun hanya sebentar. "Maya, coba kamu hitung dulu! Kami akan sembunyi," kata Andi sambil melirik ke arah Rina yang sudah bersemangat.

Maya tersenyum, meskipun tampak lelah. "Oke, aku hitung sampai sepuluh," katanya sambil menutup matanya dan mulai menghitung. "Satu... dua... tiga..."

Rina dan Rudi segera bersembunyi, Rina di balik tirai jendela, dan Rudi mengintip dari balik sofa. Andi pun mencari tempat tersembunyi di dekat rak buku, berharap bisa melihat wajah ceria anak-anak saat mereka bermain.

Setelah menghitung, Maya membuka matanya dan mulai mencari. "Di mana kalian?" tanyanya dengan suara penuh semangat. Ia bergerak mengelilingi ruang tamu, dan tawa anak-anak membuat suasana terasa lebih hidup.

Momen itu memberikan Andi secercah harapan. Meskipun situasi mereka rumit, saat-saat seperti ini membuatnya merasa bahwa semua usaha untuk mempertahankan keluarganya masih layak dilakukan. Namun, ketika Maya beralih ke dapur setelah permainan, rasa sepi kembali menghantui hatinya.

Beberapa saat kemudian, setelah anak-anak selesai bermain dan bersiap tidur, Andi menemui Maya di dapur. Dia duduk di meja sambil menatap piring-piring yang belum dicuci.

"Maya," panggil Andi pelan. "Aku ingin berbicara lagi."

Maya mengangguk, tetapi raut wajahnya tampak lelah. "Andi, kita sudah berbicara cukup banyak malam ini. Mungkin kita bisa bahas ini besok saja."

"Tapi aku merasa kita perlu menyelesaikannya sekarang," Andi bersikeras, hatinya dipenuhi ketidakpastian. "Aku tidak ingin kita terus terjebak dalam kebisuan ini. Aku merindukan kita."

Maya memandang Andi, dan dalam tatapan itu, Andi melihat sedikit keraguan. "Aku juga merindukan kita, Andi. Tetapi aku tidak tahu bagaimana kita bisa kembali ke keadaan itu. Hidup kita sudah sangat berbeda sekarang."

Andi merasa frustasi. "Apa kamu tidak percaya bahwa kita bisa memperbaikinya? Kita bisa mencari cara untuk saling mencintai lagi. Kita bisa mengatur waktu untuk kencan, melakukan hal-hal yang kita suka."

Maya menghela napas. "Andi, terkadang aku merasa seperti kita sedang hidup dalam rutinitas tanpa akhir. Mungkin kita hanya perlu istirahat sejenak dari semua ini."

Andi terkejut dengan pernyataan itu. "Istirahat? Apa itu berarti kita harus terpisah?"

"Bukan terpisah dalam arti yang sebenarnya," Maya menjelaskan, "tetapi mungkin kita butuh waktu untuk merenung. Untuk menemukan diri kita sendiri kembali."

Andi merasakan dinding ketakutan menjulang di sekitarnya. "Apakah kamu yakin itu yang kamu inginkan? Aku takut jika kita melakukan itu, kita tidak akan menemukan jalan kembali."

Maya mendekat, mengulurkan tangannya dan memegang tangan Andi. "Aku tidak ingin kehilangan kita, Andi. Aku hanya merasa tertekan dan butuh waktu untuk berpikir."

Andi menatap Maya, merasakan kehangatan tangannya, tetapi juga merasakan betapa rapuhnya hubungan mereka saat ini. "Baiklah," katanya pelan, "tapi aku ingin kamu tahu bahwa aku akan berjuang untuk kita. Aku tidak akan menyerah."

Maya tersenyum lemah, tetapi di dalam hati, dia juga meragukan kemampuannya untuk mengembalikan cinta yang telah memudar. Keduanya terjebak dalam keheningan, menyadari bahwa jalan ke depan tidak akan mudah, tetapi harapan tetap ada, meskipun tipis.

Dengan ketidakpastian yang menggelayuti, Andi berjanji pada dirinya sendiri untuk berusaha lebih keras. Dia tahu, meskipun cinta mereka saat ini memudar, ia harus memperjuangkan apa yang paling berharga dalam hidupnya.

Bersambung...

Lanjutkan Membaca

Buku lain oleh Tetesan Fajar

Selebihnya

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku