Seorang pria yang hidup dengan dua identitas, sebagai suami yang setia dan sebagai kekasih rahasia, mencoba menyeimbangkan dua dunia. Ketika kedua wanita itu mengetahui satu sama lain, hidupnya berubah menjadi kekacauan.
Arga selalu bangun pagi-pagi. Hidupnya tampak sempurna-seorang suami yang setia kepada Rina, wanita yang telah dinikahinya selama lima tahun. Namun, di balik kesempurnaan itu, Arga menyembunyikan rahasia yang tidak diketahui siapa pun, bahkan oleh Rina. Ia menjalani kehidupan ganda, dengan Melati, wanita lain yang sudah dua tahun ini menjadi kekasih rahasianya.
Di pagi yang cerah itu, Arga sedang duduk di meja makan bersama Rina. Suasana rumahnya tenang, hanya terdengar suara sendok beradu dengan piring. Arga tampak tenang, namun pikirannya berputar cepat, merencanakan bagaimana ia bisa menyeimbangkan dua kehidupan yang semakin rumit.
"Sayang, nanti malam kamu ada acara di kantor lagi?" tanya Rina sambil menyajikan kopi untuk Arga.
Arga tersenyum dan mengambil cangkir kopi itu dengan lembut. "Iya, ada rapat dengan klien sampai malam. Mungkin aku akan pulang agak telat," jawabnya sambil menghindari tatapan Rina.
Rina menatap suaminya sejenak, lalu tersenyum tipis. "Kamu sering banget pulang telat akhir-akhir ini. Jangan sampai terlalu capek, ya."
Arga mengangguk. Ia tahu Rina mulai curiga, tapi ia selalu punya alasan yang tampak masuk akal. "Aku akan coba cepat pulang. Lagipula, ini demi kita juga, kan?" jawabnya dengan nada yang meyakinkan.
Setelah sarapan, Arga pamit pergi ke kantor. Namun, bukan hanya pekerjaan yang menunggunya di luar sana. Ada Melati, kekasih rahasianya, yang selalu menanti dalam kesunyian. Hari itu, Arga telah berjanji untuk bertemu Melati di sebuah kafe kecil di sudut kota. Tempat itu menjadi saksi bisu hubungan mereka yang tersembunyi.
Ketika tiba di kafe, Melati sudah menunggu di meja favorit mereka. Ia mengenakan gaun hitam sederhana, rambutnya tergerai lembut. Senyumannya terlihat hangat, namun di balik itu ada rasa rindu yang mendalam.
"Kamu datang juga," kata Melati sambil tersenyum.
Arga tersenyum balik dan duduk di depannya. "Aku selalu datang untukmu," ucapnya dengan lembut, namun ada perasaan bersalah yang perlahan menghantui hatinya.
Melati menatap mata Arga dengan penuh harap. "Kapan kamu akan memberitahunya, Ga? Kita nggak bisa terus seperti ini. Aku lelah harus selalu sembunyi."
Arga terdiam sejenak. Ia tahu pertanyaan ini akan muncul, dan ia telah menyiapkan jawabannya. "Aku butuh waktu, Mel. Kamu tahu, ini nggak mudah. Rina... dia istri yang baik, dan aku nggak mau menyakiti dia. Tapi aku juga nggak mau kehilangan kamu."
Melati menarik napas panjang. Ada ketidakpuasan dalam hatinya, namun ia masih mencintai Arga terlalu dalam untuk pergi. "Aku hanya ingin kita bisa jujur. Aku ingin kamu sepenuhnya, tanpa ada rahasia di antara kita."
Arga menggenggam tangan Melati di atas meja. "Aku akan selesaikan ini. Percayalah. Aku hanya butuh waktu yang tepat."
Percakapan mereka berlangsung penuh kerinduan dan janji-janji yang belum tentu bisa ditepati. Arga tahu, waktunya untuk menyeimbangkan dua dunia ini semakin terbatas. Semakin sering ia bertemu Melati, semakin besar risiko bahwa Rina akan mengetahui semuanya. Namun, ia belum siap memilih.
Sore itu, setelah pertemuan dengan Melati, Arga kembali ke rutinitasnya sebagai suami. Saat tiba di rumah, Rina menyambutnya dengan senyum hangat, seolah tidak ada kecurigaan di matanya.
"Kamu pulang tepat waktu hari ini. Baguslah, aku sudah siapkan makan malam," kata Rina sambil mencium pipi Arga.
Arga membalas senyum itu, meski hatinya terasa berat. Setiap kali melihat Rina, ia diingatkan akan kebahagiaan yang mereka miliki. Namun, di balik senyuman itu, ada perasaan bersalah yang semakin hari semakin menghantuinya.
Saat makan malam, Rina bercerita tentang rencananya mengajak Arga liburan ke Bali bulan depan. Ia tampak bersemangat merencanakan waktu untuk mereka berdua, seolah tidak ada awan gelap yang menggantung di atas mereka.
"Kamu pasti butuh liburan, sayang. Setelah semua kerja kerasmu di kantor, aku ingin kita punya waktu berdua, jauh dari kesibukan," kata Rina sambil menyuap makan malamnya.
Arga hanya tersenyum dan mengangguk. "Tentu, itu ide bagus. Aku juga merasa butuh waktu untuk kita berdua," katanya, meski di dalam hati ia tahu ada banyak hal yang belum terselesaikan.
Malam itu, setelah Rina tertidur, Arga duduk di ruang kerja, memikirkan hidupnya yang terpecah antara dua wanita. Di satu sisi, Rina adalah istrinya, wanita yang telah berbagi kehidupan dengannya selama bertahun-tahun. Di sisi lain, Melati adalah kekasih yang memberinya gairah baru, tetapi juga membawa beban kebohongan yang semakin sulit disembunyikan.
Malam semakin larut, dan Arga masih duduk di ruang kerjanya. Cahaya lampu meja menyinari wajahnya yang terlihat penuh kegelisahan. Pikirannya terus bergulir tentang bagaimana ia akan menghadapi kehidupan ganda yang semakin menyesakkan. Bagaimana mungkin ia bisa mempertahankan dua hubungan ini tanpa ada yang terluka?
Teleponnya bergetar, menandakan pesan masuk. Arga melirik layar ponselnya dan melihat nama Melati terpampang di sana. Ia ragu sejenak sebelum membuka pesannya.
"Aku rindu kamu. Kapan kita bisa bertemu lagi?"
Pesan singkat itu cukup untuk membuat hatinya terombang-ambing. Ada rasa bersalah yang menyeruak di dalam dirinya, tapi sekaligus kerinduan yang tak bisa diabaikan. Ia mengetik balasan dengan hati-hati, memastikan tidak ada nada yang bisa menyinggung.
"Besok siang. Aku usahakan ada waktu untuk kita."
Setelah mengirim pesan itu, Arga meletakkan ponselnya di meja dan bersandar di kursinya. Ia menatap dinding yang penuh dengan foto-foto keluarga, potret kebahagiaan yang kini terasa begitu jauh dari kenyataan. Di salah satu foto, ia dan Rina terlihat tersenyum bahagia saat liburan di pantai tahun lalu. Wajah Rina memancarkan kebahagiaan yang tulus, sementara di balik senyum Arga, ada rahasia gelap yang telah lama ia simpan.
Tiba-tiba, suara langkah kaki terdengar mendekat. Arga cepat-cepat mematikan layar ponselnya dan memasukkannya ke dalam laci meja. Pintu ruang kerja terbuka perlahan, memperlihatkan sosok Rina yang mengenakan piyama.
"Kok belum tidur?" tanya Rina lembut sambil mengusap matanya yang sedikit mengantuk.
Arga tersenyum tipis, mencoba tampak santai. "Masih ada beberapa pekerjaan yang belum selesai. Kamu kenapa belum tidur?"
Rina berjalan mendekat dan duduk di tepi meja. "Aku tadi terbangun dan lihat kamu nggak ada di tempat tidur. Jangan terlalu kerja keras, Ga. Kamu udah sering kelihatan capek akhir-akhir ini."
Arga merasakan desakan di dadanya. Kepedulian Rina selalu membuatnya merasa lebih bersalah. Namun, ia tetap menjaga senyumannya. "Aku nggak apa-apa, sayang. Ini cuma sementara. Pekerjaan memang lagi banyak."
Rina menatap Arga dengan lembut, lalu tanpa berkata-kata, ia mengulurkan tangannya dan mengusap punggung tangan Arga. "Aku tahu kamu kerja keras untuk kita. Tapi jangan lupakan diri sendiri, ya. Aku khawatir."
Arga hanya mengangguk pelan, menahan gejolak emosi yang semakin berat. "Aku akan ingat itu. Terima kasih, Rin."
Rina berdiri dan tersenyum. "Ya sudah, jangan terlalu lama. Besok kamu pasti butuh istirahat."
Setelah itu, Rina kembali ke kamar, meninggalkan Arga yang kini merasa terjebak dalam kebohongan yang semakin sulit dibendung. Hati kecilnya tahu bahwa ia tak bisa terus menjalani dua kehidupan ini, namun pikiran logisnya terus mencari cara untuk mempertahankan keduanya.
Keesokan harinya, Arga melanjutkan rutinitas seperti biasa. Setelah berpamitan kepada Rina, ia menuju kantor, namun pikirannya tertuju pada pertemuannya dengan Melati siang itu. Melati telah menjadi bagian dari hidupnya yang membuatnya merasa hidup kembali, meskipun dengan konsekuensi yang tak terelakkan.
Ketika jam makan siang tiba, Arga melangkah keluar dari kantor dengan hati-hati, memastikan tidak ada rekan kerja yang memperhatikan pergerakannya. Ia tiba di sebuah kafe yang terpencil, tempat di mana ia dan Melati sering bertemu untuk menjaga kerahasiaan hubungan mereka. Kafe itu kecil, namun nyaman, dengan suasana yang intim dan jauh dari keramaian.
Melati sudah menunggu di dalam, duduk di sudut ruangan sambil memandang ke luar jendela. Ketika Arga masuk, senyuman Melati segera merekah, namun ada kesedihan yang tak bisa ia sembunyikan.
"Arga..." sapa Melati dengan lembut, menatap pria yang mendekat ke arahnya.
Arga duduk di depannya dan meraih tangannya. "Mel, aku di sini."
Melati menatap mata Arga dalam-dalam, lalu menarik tangannya dengan lembut. "Aku nggak bisa terus begini, Ga. Setiap kali kita bertemu, aku selalu merasa seperti pencuri waktu. Waktu yang harusnya bukan untukku."
Arga menghela napas. Ia tahu ini akan terjadi cepat atau lambat. "Mel, aku tahu ini berat buat kamu. Aku juga merasakannya. Tapi aku butuh waktu. Rina... dia istri yang baik, dan aku tidak ingin menyakitinya."
"Lalu bagaimana denganku?" potong Melati dengan suara yang sedikit bergetar. "Aku juga mencintaimu, Arga. Tapi aku bukan selingan dalam hidupmu. Aku ingin lebih."
Arga terdiam, merasakan beban di dadanya semakin berat. Ia tahu bahwa pada akhirnya, ia harus membuat keputusan, namun pikiran untuk kehilangan salah satu dari kedua wanita ini membuatnya takut.
"Aku mengerti, Mel," jawab Arga pelan. "Tapi ini tidak mudah. Aku... aku nggak bisa melepaskan kamu begitu saja."
Melati menggigit bibirnya, menahan air mata yang hampir jatuh. "Jadi sampai kapan aku harus menunggu, Ga? Sampai kapan kamu akan terus berbohong pada istrimu?"
Pertanyaan itu menggantung di udara, menghantam Arga dengan kenyataan yang pahit. Tidak ada jawaban yang mudah. Tidak ada jalan keluar yang tidak menyakitkan.
Arga menunduk, tangannya gemetar. "Aku akan menemukan cara. Tapi, beri aku sedikit waktu lagi. Aku janji, Mel. Aku janji."
Melati hanya bisa mengangguk pelan, meski hatinya merasa hancur. Pertemuan mereka siang itu berakhir dengan sunyi, meninggalkan Arga dalam dilema yang tak kunjung terpecahkan.
Malamnya, setelah kembali ke rumah, Arga mencoba bersikap normal di depan Rina. Namun, di dalam hatinya, konflik terus berkecamuk. Dua dunia yang ia bangun mulai runtuh pelan-pelan, dan ia tahu, cepat atau lambat, semuanya akan terbongkar. Tapi kapan? Dan bagaimana ia akan menghadapi kedua wanita yang mencintainya itu ketika kebenaran terungkap?
Arga menatap Rina yang duduk di ruang keluarga, tersenyum kepadanya seolah tidak ada yang salah. Dan untuk pertama kalinya, Arga merasa ketakutan yang sesungguhnya. Bukan karena takut ketahuan, tapi takut kehilangan semuanya.
Bersambung...
Buku lain oleh dete
Selebihnya