Seorang istri yang tampak bahagia menemukan bahwa suaminya berselingkuh dengan sahabatnya sendiri. Perselingkuhan ini memaksanya menghadapi pilihan sulit antara memaafkan atau memulai hidup baru.
Matahari pagi menyusup masuk melalui celah-celah tirai, menyinari ruang makan sederhana namun nyaman. Lila tengah menyiapkan sarapan untuk suaminya, Rendy, dan putri kecil mereka, Naya. Dalam sekejap, aroma roti panggang dan telur yang baru saja matang memenuhi udara.
"Nak, ayo makan, nanti terlambat ke sekolah," panggil Lila sambil tersenyum lembut ke arah Naya yang sibuk dengan mainannya di ruang tamu.
Naya, dengan wajah polos dan senyum ceria, segera berlari menghampiri meja makan. "Mama, hari ini Naya dapat bawa bekal roti isi, kan?" tanyanya antusias.
Lila tersenyum, mengusap rambut Naya dengan penuh kasih. "Tentu, Sayang. Bekalmu sudah siap. Setelah makan, kita langsung berangkat, ya?"
Rendy kemudian muncul dari kamar, mengenakan kemeja rapi sambil menyisir rambutnya. Ia melirik sekilas ke arah Naya dan Lila, lalu duduk di meja makan. Senyum tipis menghiasi wajahnya, tapi ada sesuatu yang berbeda dalam cara ia berbicara akhir-akhir ini.
"Pagi, Mas," sapa Lila dengan hangat sambil menuangkan kopi untuk Rendy.
Rendy mengangguk, tetapi suaranya terdengar datar. "Pagi. Maaf, aku harus cepat-cepat hari ini. Ada rapat penting di kantor."
Lila menatap suaminya sebentar, merasakan ada jarak yang perlahan tumbuh di antara mereka. Setiap kali ia mencoba mendekat, Rendy tampak semakin jauh. Namun, Lila masih menepis kekhawatiran itu. Bagaimanapun, mereka sudah menikah selama lima tahun dan kehidupan mereka tampak sempurna di mata orang lain.
"Tidak apa-apa, Mas. Jangan lupa makan dulu sebelum berangkat," kata Lila, berusaha untuk tetap ceria. Namun, di dalam hatinya, muncul perasaan aneh yang belum bisa ia jelaskan.
Rendy mengambil roti panggang dari piring dan menggigitnya dengan tergesa-gesa. "Aku sudah kenyang, mungkin makan siang saja nanti," jawabnya tanpa menatap Lila.
Lila menahan napas sejenak, merasa ada sesuatu yang tak beres. Tapi sebelum ia bisa mengatakan apa-apa, Rendy sudah berdiri, menyambar tas kerjanya, dan bergegas menuju pintu.
"Nanti malam aku mungkin pulang agak larut, ada urusan kantor," ucap Rendy singkat, tanpa menunggu jawaban dari Lila.
Lila memaksakan senyum. "Baik, Mas. Hati-hati di jalan."
Ketika pintu tertutup, senyum di wajah Lila perlahan pudar. Ada yang tidak beres, dan dia tahu itu. Tapi dia tak ingin berpikir buruk. Selalu ada alasan, bukan? Rendy memang sibuk akhir-akhir ini, dan mungkin hanya itu.
Naya yang polos tak menyadari kegelisahan ibunya. "Mama, kenapa Papa sering pulang malam sekarang?" tanyanya sambil memegang tangan Lila.
Lila tersentak sedikit, terkejut oleh pertanyaan anaknya yang tiba-tiba. Ia mengelus kepala Naya sambil tersenyum, meski perasaannya tidak sepenuhnya tenang. "Papa bekerja keras untuk kita, Sayang. Supaya kita bisa hidup nyaman."
"Tapi aku rindu Papa," ucap Naya pelan, wajahnya muram.
Lila memeluk Naya erat, mencoba menenangkan hati anaknya sekaligus dirinya sendiri. "Mama juga, Sayang."
Di luar, orang-orang melihat keluarga ini sebagai pasangan yang sempurna. Rendy, pria sukses dengan karier cemerlang, dan Lila, seorang istri dan ibu yang setia, menjalani hari-hari dengan damai. Tapi di balik senyuman Lila, ada rasa khawatir yang kian hari makin sulit disembunyikan.
Setelah mengantar Naya ke sekolah, Lila kembali ke rumah. Sepi. Ia duduk di ruang tamu, menatap bingkai foto pernikahan mereka di atas meja. Wajah mereka dalam foto itu tersenyum lebar, begitu penuh kebahagiaan. Namun, saat ini Lila merasa senyum itu hanya menjadi bayangan masa lalu.
"Masih ada, kan, cinta itu?" gumam Lila pelan, bicara pada dirinya sendiri. Tapi ia tak tahu apakah ia benar-benar yakin dengan jawabannya.
Waktu terus berjalan, dan meski semua tampak baik-baik saja di permukaan, Lila mulai merasakan kekosongan yang merayap di hatinya.
Lila menarik napas dalam, mencoba menenangkan hatinya yang mulai gelisah. Ia berjalan menuju dapur, merapikan sisa-sisa sarapan yang belum sempat dibereskan. Tangannya sibuk, tapi pikirannya melayang jauh, memikirkan sikap Rendy yang semakin terasa dingin akhir-akhir ini.
"Apa yang salah?" bisik Lila pelan, seolah bertanya pada udara kosong. Ia tak pernah mengira hubungan mereka akan sampai pada titik ini. Dulu, semuanya terasa begitu indah. Rendy selalu penuh perhatian, tak pernah ada yang disembunyikan.
Tapi sekarang? Ada jarak di antara mereka, jarak yang semakin membesar meski tak terlihat dari luar.
Telepon rumah berbunyi, memecah keheningan. Lila segera meraih gagang telepon.
"Halo?" suaranya terdengar tenang, meski hatinya masih dipenuhi kecemasan.
"Hai, Lila! Apa kabar? Ini aku, Dita," terdengar suara ceria sahabatnya di ujung telepon.
"Oh, hai Dita! Aku baik-baik saja, kok," jawab Lila sambil berusaha terdengar lebih ceria.
"Yakin? Suaramu terdengar berbeda," tanya Dita dengan nada perhatian.
Lila terdiam sesaat. Haruskah ia menceritakan apa yang ia rasakan? Dita adalah sahabatnya sejak lama, orang yang selalu ada untuknya. Namun, ada keraguan yang tiba-tiba muncul. Sesuatu yang ia sendiri tak mengerti.
"Enggak, enggak ada apa-apa. Mungkin aku cuma capek," jawab Lila akhirnya, berusaha menutupi rasa ragu yang tiba-tiba menyelinap di pikirannya.
"Hmm, baiklah. Kalau ada yang mau dibicarakan, kamu tahu aku selalu ada buat kamu, kan?" Dita menawarkan dengan tulus.
Lila tersenyum meski Dita tak bisa melihatnya. "Iya, terima kasih, Dit. Kamu memang sahabat terbaik."
"Ayo dong, kapan kita hang out bareng lagi? Udah lama nggak ketemu. Aku juga kangen sama Naya, nih!" Dita berkata dengan semangat, seolah mencoba mencerahkan suasana.
Lila berpikir sejenak. Mungkin benar, ia butuh waktu untuk bersantai sejenak dengan Dita. "Iya, kita harus atur waktu. Mungkin akhir pekan ini?"
"Perfect! Aku akan datang. Jangan lupa siapkan makanan favoritku, ya," Dita tertawa kecil, dan Lila ikut tertawa, meskipun rasa ganjil di hatinya belum sepenuhnya hilang.
Setelah telepon berakhir, Lila kembali duduk di sofa ruang tamu, termenung. Dia menatap keluar jendela, menyaksikan kehidupan di luar yang berjalan seperti biasa-tetangga yang beraktivitas, anak-anak yang bermain di jalanan. Semua tampak normal, tapi kenormalan itu terasa jauh dari hidupnya sendiri.
Malamnya, Lila duduk di ruang tamu menunggu Rendy pulang. Jam dinding sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Rendy belum juga muncul, dan tak ada kabar sejak pagi. Lila mencoba untuk tidak berpikiran buruk, tetapi semakin malam, semakin sulit untuk menepis rasa cemas yang mulai menggelayuti pikirannya.
Suara kunci yang diputar di pintu depan membuat Lila langsung menoleh. Rendy masuk, wajahnya tampak lelah, namun tidak menunjukkan tanda-tanda rasa bersalah. Dia melepaskan sepatu tanpa berkata apa-apa.
"Mas, kamu nggak bilang bakal pulang selarut ini," ujar Lila lembut, meskipun hatinya terasa menegang.
Rendy menatap Lila sebentar, lalu tersenyum tipis. "Maaf, rapatnya panjang. Aku juga nggak sempat ngabarin."
Lila ingin percaya, tapi ada nada yang terdengar berbeda dari kata-kata Rendy. Ia mencoba mencari mata suaminya, berharap ada jawaban di sana, tapi Rendy sudah beralih merapikan barang-barangnya tanpa melanjutkan pembicaraan.
"Mas, akhir-akhir ini... kamu sibuk sekali, ya? Kita jarang punya waktu bersama," Lila mencoba memulai percakapan yang lebih mendalam.
Rendy menghentikan kegiatannya sebentar, lalu menoleh dengan wajah lelah. "Ini cuma sementara, Li. Aku harus fokus dulu sama pekerjaan."
"Tapi rasanya kamu jauh, Mas," suara Lila terdengar lirih, penuh keraguan yang akhirnya keluar.
Rendy menghela napas panjang, kemudian menghampiri Lila dan duduk di sebelahnya. Dia menggenggam tangan Lila dengan lembut, tapi tidak ada kehangatan yang biasanya selalu ia rasakan.
"Li, aku sayang kamu dan Naya. Jangan terlalu memikirkan hal yang nggak-nggak. Ini cuma masalah pekerjaan, nggak lebih," katanya, mencoba meyakinkan Lila.
Lila menunduk, memandangi tangan mereka yang saling menggenggam. Tapi dalam hatinya, ia tahu ada sesuatu yang lebih dari sekadar pekerjaan. Namun, ia juga takut untuk mengakuinya-takut bahwa intuisi yang meresahkan ini benar adanya.
Malam itu, Lila terbaring di samping Rendy, namun mereka terasa begitu jauh. Tidak ada percakapan panjang seperti dulu, hanya keheningan yang makin pekat. Senyum yang ia tampilkan kepada dunia luar mungkin masih terlihat sempurna, tapi di dalam hatinya, Lila mulai merasakan bayang-bayang keretakan yang ia takuti.
Bersambung...
Buku lain oleh dete
Selebihnya