Aku dinikahi bukan untuk dihormati, apalagi dicintai. Tetapi hanya alat untuk memuaskan dirinya di tempat tidur. Apakah ujung dari pernikahan ini?
"Mas, kapan kita resmikan pernikahan kita?" Dengan ragu, Aine menanyakan itu. Entah untuk yang ke berapa kali dia menanyakannya.
"Aku ngantuk, aku mau tidur duluh. Kamu ghak tau apa aku lelah?" jawab pria yang kini sudah terlelap di sisinya. Lalu menghadap ke arah lain dengan memunggunginya. Begitulah yang selalu dia lakukan setiap selesai menuntaskan keinginannya. Akan kembali menjadi pria dingin. Berbeda sekali dengan saat dia baru memulainya. Dia akan selalu manis, bahkan teramat manis baik dari perkataaan atau sentuhan-sentuhannya yang membuat Aine merasa di dunia hayal, hinggah Aine tak pernah merasa terpaksa melayaninya.
Ini sudah hampir tiga bulan sejak pernikahan siri mereka, Aine menanyakan itu. Sebagai seorang wanita, walau dia bukanlah wanita pintar, dia tau bahwa berada di posisinya amatlah rentan. Apalagi jika nanti tiba-tiba saja dia memiliki anak.
Aine terdiam. Rasa lelah juga ikut menggerogoti tubuhnya. Baru tadi malam pria itu mengajaknya, pagi ini saat Aine baru menyelesaikan sholat Subuhnya dan membuka mukenanya, lelaki itu kembali terpancing dengan bau kesegaran tubuh dan semerbak sampo dari rambut panjangnya yang terurai.. Padahal Aine sudah berusaha memakai pakaian tertutup. Tidak memakai pakaian tanpa lengan yang sering dibelikan suaminya.
"Kalau di rumah jangan pakai pakaian kayak buntelan begitu. Aku tidak suka. Pakai aja pakaian yang sudah aku siapkan," kata Kenzi, lelaki berkulit putih, bermata coklat dan berambut sedikit kemerahan itu di awal pernikahan mereka dengan membuka almari yang sudah dia siapkan dengan pakaian wanita menurut seleranya yang kebanyakan menampakkan bagian atas tubuh Aine yang memang menurutnya menarik, juga menampakkan kaki indah Aine.
Aine yang tak terbiasa dengan pakaian terbuka mulanya risih juga. Namun itu karena perintah suaminya dan dia juga ingin menyenangkan suaminya itu, dia menurut saja. Toh pakaiannya hanya di rumah yang hanya ada Kenzi dan ibunya.
Untunglah Kenzi tidak keberatan jika Aine memakai pakaian tertutup bila keluar rumah. Bahkan dia menganjurkannya, karena menurutnya yang boleh memandang kecantikan Aine hanya dirinya.
Aine menguap berkali kali. Rasa kantuk yang tidak dapat ditahannya, membuatnya tertidur. Hinggah sebuah teriakan membangunkannya.
"Aine, kenapa kamu tidak segera keluar, aku sudah lapar, cepat bikin sarapan!"
Aine tergagap. Dalam kantuk, dia kemudian turun, menyeret selimut yang menutupi tubuh polosnya, dan segera ke kamar mandi, walau bukan untuk mandi besar kembali. Dia tau mertuanya itu tidak akan berhenti mengomel jika dia kelamaan. Belum lagi jika suaminya bangun dan mau berangkat kerja, sementara sarapan belum siap.
Dengan cepat dia memakai pakaiannya kembali. Lalu segera ke dapur.
"Kenapa tidak masak dari tadi?" gerutu Magda, ibunya Kenzi. Wanita setengah baya yang masih tampak cantik dengan wajah bule-nya itu. Dia memang wanita Australia yang diperistri ayah Kenzi yang asli Indonesia. Mereka dulunya bertemu saat Magda bekerja di sebuah hotel di Bali.
"Maaf, Ma, tadi ketiduran setelah Kenzi,.." Aine menggantung kalimatnya. Wanita yang baru delapan belas tahun itu tertunduk malu.
Magda menelisik rambutnya yang masih basah. Magda baru paham maksud Aine. Bagaimanapun dia tau sendiri kebutuhan biologis Kenzi yang berlebih. Karena itulah dia menikahkan Kenzi dengan Aine di saat usianya juga baru duapuluh tiga tahun. Kenzi yang pernah terkena penyakit kelamin karena kebiasaannya pergi ke tempat hiburan dan melakukan hubungan badan dengan wanita sembarangan. Untunglah masih tahap awal dan mudah disembuhkan. Seorang sahabat Magda menyarankan putranya itu dinikahkan saja. Bahkan gadisnya pun dia telah menyodorkannya.
Kecantikan Aine yang alami walau gadis desa, membuat Kenzi langsung tertarik dan menyetujuinya. Asalkan dia hanya nikah siri. Dia belum mau diikat dalam perkawinan resmi. Terlebih karena dia menginginkan Aine hanya karena kebutuhan biologisnya. Tanpa dasar cinta.
"Nanti kita nikah resmi dengan resepsi megah saat di kota. Di sini repot, kamu sendiri ikut bibimu," janji Kenzi di suatu hari setelah Aine sudah mau menerimanya.
"Ya udah , kamu masak cepat, ya," kata Magda lalu pergi. Begitulah yang dia lakukan, hanya menyuruh tanpa membantu Aine. Entah apa yang dikerjakannya, dia selalu banyak mengurung dirinya di kamar. Sejak meninggalnya suaminya yang belum lama, begitulah yang dilakukan Magda. Lagipula Magda bukanlah orang yang pandai memasak, bakhan tidak menyukai pekerjaan rumah. Dulunya, semuanya dihandel oleh pembantunya, namun sejak Aine ada, hanya Aine yang melakukan segalanya. Bahkan merawat rumah sebesar itu.
Aine memang tak pernah mengeluh. Dianggapnya itu adalah bagian dari kwajibannya sebagai seorang istri untuk suami dan keluarganya. Toh selama ini, dia juga yang melakukan hal yang sama di rumah budenya, rumah yang dia diami setelah neneknya meninggal. Ibunya menitipkannya ke adiknya itu setelah dia pergi ke kota, menjadi pembantu. Aine yang tidak pintar dalam sekolahnya, hanya lulus SMP dan tidak melanjutkan lagi. Apalagi kiriman dari ibunya yang tak pasti kata budenya. Hanya cukup untuk makan Aine.
Bedanya mungkin cara Magda yang memperlakukan Aine lebih baik dibanding Budenya yang suka membentak-bentak, terlebih anaknya yang suka ngiri karena Aine banyak yang menyukai.
Aine sudah selesai memasak. Dia segera memanggil Magda, juga membangunkan Kenzi.
"Aine, nanti setelah aku pulang kerja, kita ke bidan, ya," ucap Kenzi setelah dia menyelesaikan makannya.
"Lho, ada apa, Mas? Aku ghak sakit."
****
Terimakasih untuk yang sudah mampir di novelku sebelumnya!
Tolong bantu suscribe dan rate bintang lima agar aku semangat menulis novel ini dengan baik. Jangan lupa tingalkan koment agar aku tau apa yang bisa membuat kalian tertarik untuk terus membaca novelku yang masih jauh dari kata sempurna. Love selalu!