Hidup Jenny Rome tidak pernah tenang dengan sikap Alexander Rome, ayahnya, yang menurutnya sudah melewati batas kewajaran. Ia tidak tahu apa maksud dari semua itu, bahkan Alex sering kali menyelinap untuk masuk ke dalam kamar Jenny dan melakukan hal-hal yang tidak seharusnya, melarangnya untuk dekat dengan laki-laki manapun, tidak boleh pergi seorang diri, dan selalu memaksa Jenny untuk mengikuti semua ucapannya. Lalu, apa yang akan terjadi selanjutnya? Akankah Jenny bisa terlepas dari semua perlakuan Alexander Rome yang notabene adalah ayahnya itu?
Jenny Rome, seorang gadis yang berusia 18 tahun dan sebentar lagi akan tamat dari bangku sekolahnya itu. Untuk kali ini ia tengah memasang dasi miliknya yang terlihat kurang rapi itu. Kegiatan di pagi ini memang selalu membuatnya senang.
Jenny bahkan masih tak menyangka sekali bahwa dua bulan selanjutnya adalah masa-masa terakhirnya untuk pergi ke sekolah. Tak ada sekolah lagi dan juga teman-temannya itu. Ah, ia yakin jika nantinya akan selalu merindukan mereka semua. Nantinya, semua itu akan berubah menjadi dunia dewasa dan juga kesibukan yang melanda dirinya dengan berbagai jadwal perkuliahan yang sangat padat, apalagi dengan banyak teman-teman baru yang nantinya akan bersaing sehat dengannya ketika telah berada di jenjang perguruan tinggi.
"Jenny, lebih baik kita pergi sarapan di luar untuk hari ini," ujar Alexander Rome, yang notabene adalah Ayahnya itu.
Jenny yang memiliki paras cantik, rambut hitam panjang yang indah, tubuh langsing dan kulit eksotis itu lantas menatap ke arah Alex, "Baiklah, Ayah, aku akan turun sebentar lagi."
Tak selang beberapa lama, Alex terlihat mendekatinya dan berdiri di belakang Jenny saat ini. Gadis itu sontak terkejut dan seketika menatap mereka berdua di hadapan cermin besar yang berada di depan mereka itu.
"Apa katamu?" tanya Alex yang terdengar sangat tajam itu.
Jenny yang tengah menggunakan dasi sekolahnya itu lantas menunduk takut, "Maaf, Alex."
Alex menatapnya sejenak dan setelah itu tersenyum, "Bagus, itu yang harus kau katakan. Jangan lupakan semua itu, mengerti?"
Jenny hanya mengangguk dan setelah itu membiarkan Alex untuk pergi berlalu dari dalam kamarnya.
Beberapa saat menunggu, Jenny pun mendengar jika pintu kamarnya telah tertutup kembali, ia menghela napas panjang dan setelah itu segera mempercepat kegiatannya itu.
Jenny adalah gadis yang pintar, memiliki banyak teman, dan satu-satunya putri dari Alex.
Lalu, bagaimana dengan Ibunya?
Jenny sudah tinggal bersama Ayahnya itu sejak ia masih berusia dua tahun. Itu berarti sejak kecil ia tak pernah melihat Ibunya. Tentu, karena Tuhan lebih menyayangi Ibunya.
Gadis itu terlihat menatap ke arah ruang tengah yang sangat besar dan mewah itu. Nampaknya Alex sedang berbincang dengan salah satu rekan kerjanya atau sekretarisnya itu, entahlah, Jenny tak begitu mengetahui soal kantor Alex selama ini karena pria itu memiliki segudang lahan soal bisnis. Tugas Jenny hanya sekolah, sekolah, dan sekolah.
Alex terlihat menatap ke arah Jenny yang baru saja keluar dari dalam lift, seketika itu juga ia menyuruh seorang pria tampan yang menurutnya adalah salah satu rekan kerja Alex.
"Baiklah, kita bisa bicarakan ini lagi nanti. Aku harus mengantar Jenny ke sekolah," ujar Alex dan pria itu terlihat menoleh ke arah kirinya.
"Hai, Jenny, senang bertemu denganmu secara langsung, rupanya kau sudah tumbuh menjadi gadis yang cantik," ujar pria itu kepada Jenny, tentu saja gadis itu tersenyum dan mengangguk ramah.
"Apakah kau mendengarku?" tanya Alex dan tentu saja ia mengangguk hormat dan meminta maaf sekali pun.
Tak berselang lama, ia pun telah pergi berlalu. Untuk saat ini Alex nampak tampan sekali dengan kemeja hitam miliknya dan juga sebuah dasi yang selalu ia gunakan setiap harinya ketika sedang pergi bekerja.
"Maaf karena telah membuatmu menunggu, ayo," ujar Alex dan terlihat Jenny yang tersenyum mendengarnya. Sebenarnya semua itu tak menjadi sebuah masalah, toh juga jarang sekali teman Ayahnya itu berkunjung ke rumah mereka. Bahkan baru pertama kalinya Jenny melihat salah satu teman Ayahnya itu.
"Apakah kau ingin jika kita pergi ke restoranku untuk sarapan pagi ini?" tanya Alex ketika mereka telah berada di dalam mobil itu.
Jenny terlihat terdiam sejenak. Sebenarnya ia sudah memiliki janji dengan salah satu teman laki-lakinya di sekolah pagi ini. Ya, mereka akan sarapan bersama dan kebetulan sekali rupanya pagi ini dirinya dan juga Alex tak sarapan di rumah.
"Ehm, aku akan sarapan di sekolah saja," jawab Jenny kemudian.
Kedua rahang Alex terlihat menegang. Ia bahkan tak menjawab semua hal itu. Jenny seketika terdiam dan kembali kepada posisinya semula.
"Maaf," ujar Jenny seketika karena ia tak mendapatkan jawaban dari Alex.
Tentu saja perjalanan mereka kali ini pun telah sampai di tempat tujuan Alex. Sebuah restoran miliknya yang berada di pusat kota New York lantas membuat Jenny terdiam. Itu berarti Alex tak menyetujui jawaban yang telah ia berikan tadi.
"Keluarlah, kita akan sarapan sebelum kau pergi ke sekolah," ujar Alex dan setelah itu keluar dari dalam mobil miliknya lebih dulu.
Jenny menghela napas panjang. Seharusnya ia tak mengatakan semua itu dengan Alex. Seketika itu juga ia pun segera mengeluarkan ponselnya dan memberitahukan kepada Kevin yang merupakan teman kelasnya itu.
Tak lama kemudian ia pun kembali memasukkan ponselnya ke dalam tas dan pergi berlalu dari sana.
Restoran itu sangat mewah dan tentu saja belum di buka pada pagi ini. Waktu masih menunjukkan pukul 6 pagi dan itu artinya masih ada 4 jam lagi untuk mereka bersiap-siap. Tapi, semua ini adalah milik Alex, jadi tentu saja mereka berdua bisa leluasa sekali untuk menggunakannya.
Seperti biasa, Alex akan memilih satu ruangan VIP yang selalu ia gunakan ketika sedang berada di sana bersama dengan Jenny.
Tak ada obrolan apa pun yang terdengar dan itu artinya Alex masih merasa marah dengan Jenny saat ini.
"Pilihlah," ujar Alex kemudian dan terlihat Jenny yang mengangguk. Jujur, ia sangat takut dengan pria itu, apalagi jika Alex akan marah kepadanya. Mau tak mau ia pun segera memilih sebuah menu untuk sarapannya pagi ini. Walaupun sebenarnya Jenny merasa tak ingin makanan di restoran ini. Selain karena terlalu mewah, ia juga tak berselera makan.
Namun, tiba-tiba saja ia merasa mulas. Seperti biasa, ia memang selalu merasakan hal itu saat pagi menjelang.
"Tunggu sebentar, aku akan kembali," ujar Jenny yang hendak pergi menuju ke toilet. Sudah menjadi kebiasaannya setiap pagi, perutnya terkadang merasa mulas seketika.
Setelah itu, terdengar suara getaran ponsel yang berada di dalam tasnya. Jenny tak membawanya, tumben sekali.
Tanpa menunggu lama lagi, Alex segera mengambil ponsel itu dan melihat nama si pemanggil.
"Kevin?" gumam Alex seraya menaikkan sebelah alisnya. Ia pun akhirnya menerima panggilan itu.
"Halo, Jenny. Jika seperti itu maka aku akan pergi untuk-"
"Halo, Kevin. Katakan kepada guru kalian bahwa hari ini Jenny tak bisa pergi ke sekolah. Ia sedang sakit."
"Tapi.. maaf, dengan siapa aku berbicara ini?"
"Alex, Ayah Jenny."
"Oh, baiklah, Tuan Alex. Maafkan aku, aku akan memberitahukan guru kami untuk hal ini. Bagaimana dengan keadaan Jenny?"
"Terima kasih, ia akan pergi ke dokter."
"Biarkan aku untuk menjenguknya nanti."
"Tidak usah, Jenny sepertinya tak ingin di jenguk oleh siapa pun, ia memerlukan istirahat total."
"Oh, baiklah. Salam untuk Jenny."
Setelah itu, Alex pun seketika menonaktifkan panggilan mereka. Ia merasa bahwa semua obrolan itu tak penting sekali.
Tak perlu waktu lama lagi, Alex juga menghapus beranda panggilan itu dan juga memblokir nomor Kevin.
"Baiklah, semuanya aman dan tak ada kontak pria lagi di sini," ujar Alex dan setelah itu tersenyum senang. Ia memang selalu menghapus kontak-kontak pria yang ada di dalam ponsel Jenny. Gadis itu hanya boleh berhubungan dengan teman-teman perempuannya saja. Bahkan Jenny juga telah mengetahuinya. Alex kerap kali menyita ponsel Jenny sementara waktu untuk memeriksa semua hal yang ada di dalam sana, khususnya untuk seorang laki-laki maupun pria. Ia tak segan untuk menghapus semuanya jika memang ada.
Ia harus menjaga ketat Jenny sampai kapan pun. Ya, sampai kapan pun karena ia tak ingin jika seseorang menyakitinya atau pun menyentuhnya sedikit saja.
Hanya Alex yang boleh melakukan semuanya kepada Jenny. Tentu saja, karena ia menyayangi gadis itu bahkan melebihi apa pun.
***