Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
TUMBAL PESUGIHAN

TUMBAL PESUGIHAN

Endah Wahyuningtyas

5.0
Komentar
736
Penayangan
14
Bab

Muncul kasus-kasus aneh secara serentak. Hilangnya seorang anak perempuan yang cacat. Hamilnya pegawai bank secara bersamaan. Hilangnya dia remaja pria di sebuah warung tenda dan kasus bunuhh yang sedang menggendong anaknya. Apakah semuanya ada hubungannya? kalau pun iya apa, ya, hubungannya?

Bab 1 Prolog

Aisyah mendengar bunyi lonceng itu lagi. Pasti dia mendengar bunyi lonceng itu tepat pukul dua siang. Di saat suasana kampungnya sepi, karena anak-anak mengaji di musholla. Kali ini Aisyah memutuskan membuka jendela rumahnya untuk memastikan bahwa dia melihat lonceng apa yang selalu lewat di depan rumahnya.

Bunyi lonceng itu terdengar semakin jelas, berarti benda atau kendaraan yang menggunakan lonceng itu semakin dekat dengan rumahnya. Aisyah semakin berdebar. Dan kemudian Aisyah melihat sebuah gerobak kecil penjual makanan lewat di depan rumahnya. Ternyata penjual makanan itu yang menggunakan lonceng dengan bunyi yang cukup nyaring itu. Sayangnya dari jarak yang cukup jauh, Aisyah tidak bisa mengetahui makanan apa yang dijual oleh penjual itu, tetapi sepertinya baunya cukup menggoda.

Aisyah melambai pada penjual makanan itu.

"Jual apa, Pak?" tanya Aisyah. Penjual itu menoleh ke arah Aisyah.

"Sate ayam, Mbak," jawab penjual itu. Aisyah berbinar. Wah, kebetulan! Dia sedang sangat kelaparan dan dengan cepat segera mengambil uang dan keluar rumahnya.

"Tunggu, Pak! Aku beli!" teriak Aisyah. Aisyah berlari keluar rumah untuk membeli sate ayam itu.

****

"Matur nuwun sudah bertandang ke sini, ya, Bu," kata Nala sambil menyalami para tamunya yang berpamitan padanya.

"Sama-sama, Mbak La. Semoga putranya menjadi anak sholih, ya, Mbak."

"Iya, Mbak, La. Cepat ngantor lagi, ya. Aku udah kangen, nih!"

Mereka bercanda sambil menowel pipi bayi yang digendong Nala. Nala tertawa sumringah dan mengangguk ceria.

"Insya Allah. Segera masuk kantor, saya, Bu," jawab Nala bercanda, "oh, ya, Ibu-ibu, jangan lupa oleh-olehnya di bawa, njih?" kata Nala. Dia buru-buru meminta asistennya untuk menyiapkan tas kecil berisi oleh-oleh untuk dibawa pulang oleh tamunya.

"Wah, Mbak Nala malah jadi repot. Terima kasih sekali, Mbak." Para tamu Nala menerima oleh-oleh dari Nala dengan ceria.

Nala hanya tersenyum samar.

****

Adit dan Rasya masuk ke dalam warung tenda yang sangat ramai itu. Warung tenda itu menyajikan menu ayam, yang kata orang sangat lezat.

"Antri, Dit!" seru Rasya ketika melihat antrian yang mengular di depan mereka. Adit mengangguk.

"Apa mau pindah aja, Sya? Kayaknya agak lama, nih antrinya," kata Adit. Mereka berpandangan.

"Tunggu aja, lah, ya? Sayang kita udah jauh ke sini, tetapi malah nggak jadi," jawab Rasya. Mereka mengangguk dan akhirnya ikut mengantri.

Mereka melihat bagaimana orang-orang maju ke depan perlahan dan kemudian memesan makanan mereka di meja pemesanan. Adit merasa cukup senang karena pegawai yang melayani pemesanan para pelanggan bekerja cukup cepat, sehingga mereka tidak perlu menunggu terlalu lama.

Akhirnya, setelah satu jam mengantri, mereka pun mendapat giliran memesan makanan. Sayangnya ketika mereka sampai di depan konter, tiba lah saatnya para pegawai berganti shift, dan mereka harus menunggu lebih lama lagi.

Adit dan Rasya berpandangan, dan Adit mulai kesal.

"Kita ambil nasinya sendiri saja, ya, Sya?" kata Adit kesal. Rasya kaget.

"Nanti dimarahin, lo, Dit!" desis Rasya. Adit mencebik.

"Nggak, lah! Soalnya nunggunya kelamaan. Aku lapar," bisik Adit dan dia nekat mengambil nasi sendiri dari bakul nasi yang ada di depan mereka, "mau kuambilin sekalian?" tanya Adit pada Rasya. Rasya agak ragu dan nampak berpikir sebentar, sampai akhirnya seorang pegawai muncul dan melayani mereka. Pegawai itu sangat terkejut melihat piring Adit sudah berisi nasi.

"Masnya ambil nasinya sendiri?" tanya pegawai itu pada Adit. Adit mengangguk dan tersipu malu.

"Maaf, Mbak. Kelamaan nunggunya tadi, saya nggak sabar. Boleh, kan, Mbak?" tanya Adit. Sang pegawai warung tenda nampak pias, tetapi tetap melayani Adit dan Rasya dengan lincah.

****

"Aini, mau nggak dapat uang?" Aini melengak mendengar pertanyaan seorang wanita asing kepada Aini yang sedang berjalan-jalan di taman sambil mendorong kereta adiknya yang masih bayi. Ibu dan bapaknya mengawasinya dari belakang.

"Nggak mau, Bu!" seru Aini tegas. Dia sudah diajari ibunya untuk menolak ajakan atau pemberian orang asing padanya. Wanita itu mengangguk dan tersenyum. Aini menghela napas lega, dia segera membawa kereta dorong adiknya berbalik arah, menuju ke arah orang tuanya.

Aini melihat ibunya sedang duduk dan berbicara dengan wanita asing yang tadi hendak memberi uang pada Aini. Wanita itu melambai pada Aini.

"Wah, ini keponakan budhe yang pintar, ya?" tanya wanita itu sambil tersenyum lebar, dia memeluk Aini.

"Aku budhemu, Ndhuk. Namaku Budhe Ratri," kata wanita itu lagi, "ternyata kamu pintar, tidak mudah percaya dengan orang asing, ya, Ndhuk. Sebagai hadiahnya uang ini untukmu, ya, Ndhuk." Ratri menyerahkan selembar uang kertas berwarna merah kepada Aini.

Aini membeliak tak percaya. Dia menengok ke arah ibunya. Ibunya dan wanita bernama Ratri itu tertawa geli. Sang Ibu mengangguk.

"Boleh, Ndhuk," kata sang ibu. Aini berseru kegirangan. Wajah Aini berbinar gembira.

"Matur nuwun, Bu. Matur nuwun, Budhe," kata Aini. Dia memeluk uang itu dengan penuh kebahagiaan murni.

"Aini boleh jajan, Bu?" tanya Aini penuh harap. Sang Ibu mengangguk.

"Matur nuwun, Bu. Adik sama ibu, ya?" kata Aini penuh semangat. Sang Ibu mengangguk dengan sebuah senyuman.

****

Lanjutkan Membaca

Buku lain oleh Endah Wahyuningtyas

Selebihnya

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku