Ben tahu betul bagaimana rasanya direndahkan. Sepanjang hidup, mungkin jumlah orang yang memandangnya sebagai manusia yang sederajat bisa dihitung dengan jari. Sementara sisanya menganggapnya remeh, memandang sebelah mata hanya karena ia adalah pria yang besar di panti asuhan. Ben menahan semua hinaan demi Thalia, wanita yang telah berada di sisinya sejak ia beranjak remaja. Hingga akhirnya pernikahan Ben dan Thalia kandas, hak asuh anak mereka jatuh ke tangan Thalia. Ben hanya punya kesempatan untuk menghabiskan waktu dengan Alisya setiap akhir bulan. Nahas, di saat Ben sedang lengah, Alisya tewas tertabrak mobil. Semua orang menyalahkan Ben atas kematian Alisya, termasuk Ben sendiri. Akan tetapi, suatu hari Ben menemukan suatu kejanggalan di balik kematian Alisya. Dengan penuh tekad, Ben mencoba untuk mencari kebenaran. Meskipun harus melewati proses yang melelahkan dan menyakitkan serta menguras harta kekayaan yang baru ia miliki. Pada akhirnya, ia menemukan target untuknya membalaskan dendam dan kesedihan yang selama ini terpendam.
"Kami sudah berusaha semaksimal mungkin, tapi ...."
Hanya beberapa kata awal yang mampu Ben dengar sebelum akhirnya kedua kakinya tidak lagi kuat menanggung semua kesedihan. Ia jatuh bersimpuh di depan seorang dokter yang baru saja keluar dari sebuah ruangan serba putih tempatnya menunggu sejak beberapa menit lalu.
Semuanya terjadi dengan sangat cepat. Satu waktu Ben tengah berlari ke luar rumah sekuat tenaga, lalu di waktu berikutnya ia harus mendengar kenyataan pahit yang tidak pernah ia bayangkan akan terjadi di hidupnya. Air matanya bahkan belum sempat mengalir, tetapi ia cukup kesulitan untuk berbicara.
"A-aku tidak bisa kehilangan dia. Tolong selamatkan anakku satu-satunya, Dok!" Ben terus mengucapkan kalimat itu dengan lantang meski terbata-bata. Tidak sedikit pun peduli kepada banyaknya pasang mata yang kini menyaksikan. "Dia anak yang ceria dan sehat. Tidak mungkin dia pergi secepat ini!"
Didorong oleh rasa tanggung jawab dan rasa iba, sang dokter menjelaskan dengan sabar penyebab kematian seorang gadis yang baru dilarikan ke ruangan pemeriksaan beberapa menit lalu. Meskipun Ben tidak terlihat mendengarkannya dengan baik, dokter itu terus saja mencoba memberikan pengertian. Namun, ia juga mempunyai pekerjaan lain yang harus segera dilakukan, sehingga pada akhirnya ia meninggalkan Ben seorang diri.
Ben menolak untuk melihat kondisi sang anak yang kemungkinan besar telah terbujur kaku di ruangan lain. Ia tidak sanggup untuk menghadapi kenyataan. Dengan sangat putus asa ia berharap bahwa semua ini hanya mimpi buruk yang muncul karena ia sempat tertidur di bawah pengaruh obat-obatan dan minuman keras.
Sayangnya, ia lupa bahwa sejak dulu hidup memang selalu kejam kepadanya.
Jalan terakhir agar Ben dapat bertahan adalah dengan menguatkan dirinya sendiri. Otaknya otomatis menumpulkan hampir semua indra dan perasaan, hingga dirinya kini menyerupai sebuah robot tanpa emosi. Hanya dengan begitu ia bisa tetap tegar di hadapan jasad anaknya sampai akhirnya tanah merah menutupi sosok sang gadis untuk selamanya.
"Malang sekali nasibnya. Dia bahkan belum menginjak 15 tahun."
"Mungkin seharusnya ia tidak pernah bertemu dengan ayahnya."
"Sssttt! Pelankan suaramu! Nanti kedengaran!"
"Memang kenapa kalau dia dengar? Kita cuma mengatakan kebenaran, kok!"
Telinga Ben yang sempat memblokir sebagian besar suara kini mulai dapat mendengar percakapan para kerabat dan kenalan yang menghadiri pemakaman. Apalagi mereka memang tidak mencoba untuk memelankan suara mereka. Seolah-olah semuanya sengaja hendak menghukum Ben dengan membicarakannya keras-keras.
Di tengah semua itu, hal yang paling menusuk hati Ben adalah raungan dan tangisan dari seseorang yang pernah mendampinginya. Perlahan, ia merentangkan tangan ke arah orang itu, berniat untuk memberikan sedikit saja sentuhan dan kata-kata penenang. Namun, orang tersebut sudah terlebih dahulu berjalan mundur sambil menatapnya tajam.
Kedua mata Ben yang lesu karena kurang tidur lantas terlihat semakin sendu. "Thalia, aku mohon-"
"Semua ini salahmu, Ben!" teriak Thalia histeris. Wanita yang hanya terpaut dua tahun lebih muda dari Ben itu langsung berontak saat seorang pria lain di dekatnya mencoba merangkulnya. Dengan penuh amarah, ia mengarahkan jari telunjuknya ke wajah Ben. "Sampai dua hari lalu Alisya masih hidup! Aku masih ingat betapa senangnya dia saat kuantar ke rumahmu! Tapi sekarang apa yang terjadi? Bodohnya aku! Seharusnya aku tahu bahwa kamu tidak akan mampu menjaganya!"
"Jangan berkata seperti itu, Thalia." Sekuat tenaga Ben berusaha menjaga suaranya agar tidak terlalu lantang. "Aku tahu aku telah lalai. Aku juga belum bisa sepenuhnya menerima semua ini. Tapi aku mohon, jangan seperti ini!"
"Kamu tidak punya hak memerintahku!" Thalia menjerit semakin keras. Selendang putih yang semula menutupi kepalanya telah merosot dan hanya menggantung di pundaknya. Memperlihatkan rambut hitam kusut serta wajahnya yang dibasahi air mata. "Kembalikan Alisya, Ben! Kembalikan anakku!"
Ben menekan bibirnya sendiri kuat-kuat, mencegah dirinya mengatakan apa pun yang hanya akan memperkeruh suasana.
"Alisya ... Alisyaku yang malang!" Keputusasaan terdengar jelas dari suara Thalia yang semakin bergetar. Ia memukul dadanya sendiri dengan kencang, berusaha melepaskan sesak yang menyiksa dirinya. "Maafkan Ibu, Nak!"
"Sudah cukup, Thalia. Tenanglah," ucap seorang wanita berusia sekitar akhir 50 tahun. Keriput di wajahnya terlihat jelas bersama garis bibirnya yang mulai melengkung ke bawah. Namun, cara berpakaiannya yang cukup modis dengan topi bundar berjaring hitam serta riasan yang tebal sekilas membuatnya tampak sepuluh tahun lebih muda. Bahkan rambutnya pun dicat dengan warna coklat terang.
Thalia berangsur-angsur berhenti menangis dan memeluk wanita tersebut. "Ibu ... aku harus bagaimana? Sekarang Alisya sudah tidak ada."
"Pelan-pelan saja, Nak. Kita pikirkan semuanya nanti."
Ben menyaksikan pembicaraan antara ibu dan anak di depannya dengan perasaan campur aduk. Ia merasa tidak pantas hanya berdiam diri dan tidak melakukan apa-apa untuk menghibur mantan istri dan mantan mertuanya. Akan tetapi, di sisi lain, ia juga merasa tidak lagi punya hak, sebab kini ia benar-benar tidak ada hubungan lagi dengan keluarga Thalia.
Saat ia tanpa sengaja bertatapan mata dengan mantan ibu mertua, tanpa sadar Ben menundukkan kepala. "Maafkan aku, Ibu," ucapnya lirih.
"Aku bukan lagi ibumu!"
"Aku sungguh menyesal ... Elina."
Rasanya aneh memanggil seseorang yang jauh lebih tua darinya hanya dengan nama. Namun, Ben hanya mencoba kembali ke masa sebelum ia menikahi Thalia. Masa di mana Elina menuntut Ben untuk memperlakukannya sebagai teman sebaya.
Mendengar permintaan maaf Ben, Elina mendecakkan lidah dan berbalik menghadap pria tampan yang sedari tadi berdiri di samping Thalia. "Garry, bawa istrimu ke mobil! Dia tidak ada urusan lagi di sini."
"Tidak! Aku masih mau bersama Alisya, Bu!" tolak Thalia yang langsung menepis rangkulan Garry.
"Tapi kamu harus segera istirahat, Sayang. Aku takut kamu pingsan." Suara Garry terdengar begitu lembut saat ia membujuk Thalia untuk pergi bersamanya.
Tubuh pria yang tinggi semampai itu tetap terlihat tegap bahkan saat ia membungkuk untuk melingkarkan tangannya di pinggang Thalia. Kulit putih cerah miliknya hampir menyaingi kulit putih pucat sang istri. Kemeja putih serta celana kain berwarna serupa melengkapi penampilannya yang tanpa cacat. Siapa pun akan menyangka bahwa dirinya adalah seorang model yang tengah memamerkan pakaian merek ternama keluaran terbaru, dan bukannya pria biasa yang sedang menghadiri pemakaman.
Semakin lama Ben berdiri di antara mereka, semakin ia merasa seluruh ototnya membeku. Tidak peduli seberapa benci dan sakit hatinya ia melihat Thalia disentuh pria lain, ia tidak bisa memalingkan pandangan. Di saat pelayat lainnya mulai pergi satu per satu, ia hanya bisa terdiam, menerima semua pandangan benci yang diarahkan kepadanya.
Sebelum perceraian di antara dirinya dan Thalia terjadi, ada satu waktu di mana Ben membayangkan akan seperti apa hidupnya tanpa Thalia. Ia tentu sudah tahu bahwa hari-harinya akan menjadi seperti di neraka, tetapi tidak pernah ia menyangka bahwa kenyataannya akan jauh lebih menyiksa daripada itu.
Melihat mata cantik Thalia yang sembap memandang benci ke arahnya, mau tidak mau Ben sungguh percaya bahwa ia adalah laki-laki paling kejam di dunia.
"Tunggu sebentar, Garry. Aku hanya ingin memastikan sesuatu," ucap Thalia yang sudah cukup tenang untuk bisa berbicara tanpa berteriak. Perlahan, ia menyingkirkan lengan sang suami dari pinggangnya dan menggenggamnya erat. Tanpa melepasnya, ia kembali menatap Ben. "Katakan sejujurnya, Ben. Ke mana kamu di malam itu? Di mana kamu saat Alisya meregang nyawa?"
***