Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Hasrat Berbahaya Sang Pewaris Duda

Hasrat Berbahaya Sang Pewaris Duda

Auphi

3.5
Komentar
2.9K
Penayangan
81
Bab

Apa imbalan balas dendam ini?", pria itu menatapku dengan senyum bekunya. "Jiwaku. Aku rela memberikan jiwaku untukmu" Aku menyahut mantap. Dan seketika takdir hidupku pun sedang ditulis ulang. Dulu Shanty meninggalkan kekasih hatinya demi menikahi sang suami, Roy. Siapa sangka di usia pernikahan yang seumur jagung, setelah kehilangan rahim pasca melahirkan, dia dijebak suaminya dengan cara licik demi hak asuh anak. sakit hati atas perlakuan mantan mertua dan suami, Shanty rela menjual dirinya pada pria tampan sekaligus berbahaya, pewaris Halim Group. Namun jadi nyonya muda keluarga Halim tidaklah mudah, terlebih saat suami sendiri punya rahasia dan masa lalu yang teramat gelap. Akankah Shanty mendapatkan kembali semua yang dia inginkan? atau malah terjebak dalam permainan penuh intrik?

Bab 1 Prolog

Mataku yang terpejam terasa sangat sulit dibuka, kepala juga sangat pusing rasanya. Alam bawah sadar mengingatkan aku ada yang tak beres disini, sebaiknya harus segera kabur. Namun tetap saja tubuhku sulit diajak kompromi.

"Huuuhh"

Aku mendesah perlahan, mencoba mengendurkan otot-otot yang membeku ini. Setelah susah payah mencoba, usahaku tidak sia-sia. Mata yang tertutup rapat kini terbuka sempurna. Perlahan aku menatap sekeliling, memindai segala sesuatu yang tampak asing bagiku. Gorden yang lebih lebar dan usang, posisi AC yang tidak semestinya, sprei yang asing, dan selimut yang lebih tebal.

"Sial! Ini bukan kamarku! ", otakku menjerit kalut.

Mataku mengerjap lagi dan menatap sisi kanan. Kini aku sukses terlonjak dari posisi tidur. Didorong rasa kaget yang luar biasa, tubuh ini jadi sadar sepenuhnya. Kutatap pria yang lelap itu dan nyatalah itu wajah asing, bukan suamiku.

"Apa yang sedang terjadi?!", batinku mulai histeris

Apalagi waktu selimut tersingkap, ternyata tubuhku hanya dibalut sepasang bra dan cawat merah. Semalam sengaja dipakai demi memancing hasrat suami yang mulai padam. Meski masih bertanya-tanya, tak ada waktu untuk berpikir. Alarm di otak menyuruhku untuk segera berpakaian dan keluar dari tempat terkutuk ini.

Segera kupungut pakaian yang tercecer di lantai lalu mengenakannya tergesa-gesa. Selama berpakaian benakku sibuk menerka-nerka apa yang terjadi sesudah candle light dinner semalam dengan suami. Orang jahat mana yang tega mencelakai kami? Dimana suamiku saat ini?

Semua pikiran ini berkelindan di otakku bagai benang kusut yang tak tentu ujung pangkalnya, malah membuat kepala jadi semakin runyam. Satu sentakan pelan, akhirnya blouse satinku meluncur bebas menutupi seluruh tubuh. Tak menunggu lama aku segera mencari pintu keluar.

Namun sayang, belum sempat kenop pintu disentuh, sekelompok pria dengan seragam polisi mendobrak masuk tanpa aba-aba.

"Jangan bergerak, hotel ini sedang di razia!", salah satu dari mereka berseru.

Sontak aku mundur ke belakang, tangan terangkat di atas kepala, persis anggota gembong pezina yang tertangkap basah di tempat maksiat. Kucoba bersikap tenang, meski tangan yang mengepal sudah gemetaran.

"Saya dijebak Pak, saya nggak tahu apa-apa", ujarku dengan suara yang diberani-beranikan.

Namun personil polisi yang memborgolku hanya melengos kasar, seolah ucapanku barusan hanya dagelan konyol yang biasa ditontonnya sebelum tidur di malam hari. Dia sudah hendak memborgolku ketika suara yang akrab ditelinga tiba-tiba menyela, membuat dunia yang kacau balau seketika tenang.

"Tunggu! Aku perlu bicara dengan terduga"

Dalam sekejap tangan yang terborgol tadi bebas kembali. Aku langsung menghambur ke pelukan pria yang kupanggil suami. Sedangkan nasib lelaki yang tergeletak di ranjang tadi, aku tak tahu, tak juga peduli. Bagiku, dia hanya orang asing yang terjebak denganku lewat skandal manusia bajingan yang akan segera ditangkap.

Sejurus lamanya, tubuhku yang gemetaran perlahan tenang dalam dekapan hangat suami. Pagi ini beliau nampak gagah dengan seragam kebesarannya.

"Sebentar, aku perlu bicara empat mata dengan nyonya Shanty", ujarnya lagi pada personil polisi yang hendak memborgolku tadi.

Melihat wajah dan sikap suamiku yang terpukul - jika mengalami kejadian serupa, siapa pula yang tidak - akhirnya kami diijinkan bicara secara pribadi, sedangkan pria tadi sudah diamankan kedalam mobil meski dalam keadaan setengah sadar. Mungkin obat bius yang dikonsumsinya punya dosis lebih tinggi.

Setelah hanya kami yang tinggal, barulah sebuah kesadaran pahit menghantam otakku yang tadi sempat beku. Jika aku bisa diculik setelah makan malam dengan suami, lantas kenapa beliau bisa ada disini tanpa kekurangan apapun?

Tanpa selaput kebingungan menutupi benakku, kini bisa kulihat raut wajah suami lebih jelas. Ekspresi cemas tadi tak nampak lagi, malahan dalam manik matanya yang kelam ada seringai ejekan.

"Sudah paham apa situasimu sekarang?", tanyanya seraya menyalakan pemantik logam di tangannya.

"Kenapa?", sahutku perlahan

"Huh, mau bercerai tentu saja"

"Tapi kenapa harus menjebakku begini?", tanyaku lagi berusaha tenang meski tubuh ini hampir limbung.

Seumur-umur baru sekarang kutahu ada suami yang tega menghancurkan harga diri istrinya sampai lenyap tak bersisa. Senyum laki-laki yang sekejap lagi akan jadi mantan suami ini segera menyadarkanku, "Apa karena Alex?", selidikku lagi. Lagi-lagi dia hanya mendengus seolah aku ini mahkluk paling bodoh sejagad raya. "Kalau hanya karena hak asuh Alex, kau bisa membicarakannya denganku. Mengapa harus repot-repot menghancurkan hidupku seperti ini?", isakku tertahan. Tak pernah menyangka, bahkan dalam mimpi terburuk, pria yang sudah kunikahi tega mendorongku dalam jurang kenistaan.

"Perempuan licik sepertimu diajak bicara baik-baik? Mana mungkin! Yang ada kau akan memikirkan segala cara untuk memeras kekayaan keluargaku persis seperti yang kau lakukan selama ini"

Ucapan kejam darinya membuat aku berpikir ulang. Harta macam apa yang sudah kuhabiskan? Benar mertua pernah memberi aset, tapi kata beliau itu hadiah. Itupun kudapat sesudah mengorbankan rahim demi melahirkan cucu mereka, Alex. "Demi apapun, tak pernah ada suami yang tega menjebak istrinya dengan cara hina seperti ini?", kataku disela tangisku yang makin tak terkendali.

"Hahaha, tak semua perempuan yang dinikahi lantas menjadi istri. Bagiku, kau tak lebih dari trofi kemenangan!"

"Kau pikir Alex tidak akan mencariku, ibunya"

"Berhentilah munafik! Memangnya selama ini kau pernah mengurus Alex? Kau malah sibuk dengan semua urusanmu, hampir tak pernah dirumah. Ibuku yang selalu menjaga Alex", tukasnya tajam.

Tak cukup disitu, dia juga menjentikkan abu rokoknya ke wajahku. Abu rokok yang masih panas itu tepat mengenai pipi, namun tak lagi kuhiraukan rasa perihnya. Otakku sibuk memikirkan apa yang kulakukan akhir-akhir ini.

Benar sekali. Aku memang sibuk pergi fitness juga ke klinik kecantikan. Tapi bukannya itu semua lantaran pria di depanku ini selalu protes dengan tubuhku yang katanya melar setelah melahirkan.

Sedangkan mengenai Alex, mertua yang selalu memaksa untuk momong cucu satu-satunya. Harus diakui, aku ini bukan ibu yang sempurna seperti mereka diluaran sana, namun juga bukan yang menelantarkan anak begitu saja. Meski putraku lebih dekat pada neneknya, bukan berarti aku tidak tahu perkembangannya. "Cih, banyak alasan. Dasar suami pengkhianat, persis Judas", umpatku kasar

Namun lelaki itu tak bergeming. Dia malah meludah ke satu sisi lalu memadamkan puntung rokoknya dengan tapak sepatu kulitnya. Sungguh jorok!

"Sudahlah Shanty sayang, hentikan umpatanmu itu. Sekarang kau hanya punya dua pilihan. Sibuk berkoar-koar lalu menuntutku di pengadilan atau pergi diam-diam dan kau akan mendapat pesangon tiga ratus juta"

Waktu mengatakan tawarannya dia tampak begitu bangga, berlagak jadi pria paling murah hati di jagat raya. Pesangon katanya? Memangnya aku ini pegawai habis masa kontrak? Namun tak urung aku diam juga memikirkan segalanya, menimbang dalam hati pilihan apa yang tepat untuk wanita tanpa karir dan harta sepertiku.

Seperti paham jalan pikiranku, dia menukas kejam seperti kebiasaannya selama ini. "Ingat darling, pengadilan butuh banyak biaya, sedangkan kau tak punya apapun selain ayah-ibu yang tak bisa diandalkan"

"Hahaha", aku tertawa getir dalam kemarahan. Ucapannya terlalu benar, terlalu kejam. Ayah-ibuku memang tak bisa diharapkan. Malahan selama ini aku yang menopang hari tua mereka. "Apa harus begini caramu mendepakku? Apa kau yakin ROY?", ulangku lagi menekankan namanya lugas.

"Tentu saja, kupikir aku sudah cukup murah hati padamu. Kalau tak puas, silakan mengadu pada mantan kesayanganmu. Bukankah selama ini kau selalu mengadu padanya?"

"Oh? Jadi itu alasannya? Hahaha. Seorang pezina memang akan selalu curiga"

Lagi-lagi dia hanya mendengus, tak mempedulikan ejekanku.

"Baiklah Roy, kalau ini memang keinginanmu. Namun begitu, persiapkan dirimu. Suatu saat tindakan ini harus kau bayar lunas berikut...bunga-bunganya"

Ini jadi kalimat perpisahan untuknya. Setelah ini kami hanyalah orang asing kalau bukan musuh.

Lalu kupakai kacamata hitam kebanggaanku seraya beranjak pergi meninggalkan mantan suami dengan langkah gagah.

Lanjutkan Membaca

Buku lain oleh Auphi

Selebihnya

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku