Hasrat Berbahaya Sang Pewaris Duda
sing. Mata masih separuh terpejam ketika
h bersua
udah duduk di sofa sambil menikmati secangkir kopi. Dalam hidupku yang sudah diatas tiga
tatapan tajamnya mengarah pada pergelangan tangan, cepat-cepat kubun
tu setengah jam
erintah itu penuh otor
eketika. Lekas kukenakan celana satinku tanpa memperhatikan kete
na. Sungguh nyaman rasanya berlama-lama tinggal di kamar mandi
itkan handuk pada
al
pakaian masih tersimpan rapi dalam tas yang terletak di bawah ran
u. Kukuak sedikit daun pintu itu. Apa yang menyambutku d
mu jika telanjang di depan
isa dikatakan merebut - pakaianku yang ada dalam tangannya.
ng canggung seperti biasa. Damai mungkin lebih tepat. Sungguh te
g kamu p
pa bisa jadi ibu yang baik bagi
sudah selayaknya hubungan tidak dipaksakan. Lagipula, seorang Shant
menganggap mereka sebagai anakmu terlalu sulit, an
a, yang tidak paham romansa - setidaknya dalam pengamatanku - bisa mengeluarkan p
egitu, aku memang
ya diri. Aku melengos dan membuang pandang. Dari sudut mata, masih bisa kulihat sen
elit - suasana dingin langsung terasa. Tak ada yang menyambu
anita paruh baya, yang sepertinya
mbil melepaskan sandal mahalnya dan
sebentar saya
ini pun berlalu. Tak sedikitpun m
rdengar dari anak tangga. Dari tekanannya yang tidak begitu bes
g gadis kecil dengan tampang manyun yang ma
ngkat Joyce tinggi-tinggi, Hartono tersenyum lebar sam
a strong girl",
oleh ke arahku. "Tante Shanty akan tinggal di rumah kita sejak hari
pribadi yang hangat pada kedua anaknya. Suatu kontradiksi yang mencengangkan, mengingat justru hal sebali
gelap itu terukir rasa tak sukanya padaku. Namun begitu, Joyce tak bilang apapun. Mungkin dia m
bit dalam hati. Sangat sedikit anak-anak yang bisa menahan mulutnya un
, suara merdu ibu mertua seger
yang tergolek lemah di rumah sakit kemarin hanya ilusi. Di sebe
. Selama itu tak sekalipun dia berbasa-basi dengan sang ibu. Terpaksa ak
dalam nada kikuk. Pasalnya semua ini terja
paham istilah malam pertama", bibirnya yang dipulas lip
Ah! Untunglah mereka begitu sibuk bermain-main dengan ayahnya, terlebih
isa melihat dengan jelas semburat merah di wajahku yang memanas. "Ayo makan semua. Kalian p
. Di atas meja tersaji hidangan melimpah, yang mungkin
n dalam porsi sedikit, kemana kira-kira
di ujung satunya diisi oleh Nyonya Lim. Aku sadar sepenuhnya, selama mert
t kesisi neneknya. Tentu saja Joyce yang me
at ketika melihat seisi penghuni
ndok dan garpu masing-masing, hanya aku yang masih menundukkan
akan dengan elegan, seolah tak terjadi apa-apa. Kurasa dia suda
, agar dia tidak selalu keluyuran di r
nya sekolah
ama dengan Joyce, jadi kau bisa
a tutupi dengan meneguk air minum banyak-banyak. "Nai, kenapa
inggung disana lalu membalas ucapan cucunya, "You happy but not me. Nai
i hendak membantah, di sisi lain menjaga etika, mengingat
engan makanannya angkat bicara. Lewat sorot matanya yang memelas, Joyce masih berusaha me
tnya, suami masih bisa bers
ku pamit dulu", tambahnya lagi begitu s
tiku, Nyonya Lim terlihat santai. Tak terusik sedikit pun dengan sikap putranya. " Lanjutkan saja mak
ing
si ruangan, ternyata Joan menjatuhkan sendokny
mengusapnya pakai tisu basah di atas meja. "Na
sung pipi yang terpahat di wajah itu turut menambah
aku ingat Alex, putraku yang
g mulai terbentuk di otakku. Meski belum pernah jadi ibu yang bai
ambil mengusap lembut
Mungkin kesal melihat kelakuan adik
na Shanty meman
lebih dulu ke kamarnya di lantai dua sedangkan aku m
ak memang terletak dilantai yang sama. Sementara Nyonya Lim,
a. Mau tak mau, aku mesti melewati kamar Joyce jika hendak ke kamar kami. Dari balik pint
rlahan. Tak menunggu lama, daun pintu itu pun terkuak. Meski cepat
e a little conver