Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Lidah Tak bertulang

Lidah Tak bertulang

Cahaya Rembulan

5.0
Komentar
Penayangan
3
Bab

Memiliki kebiasaan memprovokasi, memfitnah, berkata buruk dan memaki sesama adalah hal yang tidak di benarkan dalam agama maupun dalam hukum. Entah itu benar atau tidak, yang jelas hal tersebut sangat merugikan kebanyakan orang. Seorang gadis muda berusia 23 tahun yang gemar memfitnah dan berbuat sesuka hatinya, selalu membuat orang-orang di sekitarnya sakit hati. Ticha seorang anak dari 2 bersaudara memiliki sifat yang lebih buruk daripada seekor keledai, bahkan dirinya mampu membuat orang-orang percaya dengan perkataanya. Bagaimana kisah selanjutnya? Simak di sini ...

Bab 1 Sial

BRUK ...

Wanita muda yang mengendarai motor tak sengaja menabrak seorang ibu pejalan kaki, ibu itu membawa barang belanjaannya.

Saat ibu itu terjatuh, barang belanjaannya pun tumpah ruah.

"Perempuan gembrot! Jalan pake kaki, tapi lihatnya pake mata! Buta lo?" bentakan seorang gadis cantik kepada ibu berbadan gemuk itu, hanya mereka saja yang berada di jalan itu.

"Allahuakbar, astaga! Kamu yang salah loh, kok malah nyalahin saya? Gak sopan banget kamu yah jadi orang!" ibu itu segera berdiri dari duduknya, ia memegang pinggangnya yang terasa sakit.

Gadis itu menatap sinis ke arahnya, bahkan ia ingin meninggalkan ibu itu beserta barang belanjaannya tanpa niat membantu. Namun, ia urungkan, karena dirinya melihat ada dua orang yang berjalan mendekati mereka.

Segera gadis itu turun dari motor miliknya, lalu ia menghampiri ibu tersebut dan memungut semua belanjaanya.

Ibu itu terheran melihat tingkah sang gadis tersebut, kini gadis itu telah selesai memilih barang-barang ibu itu dan segera ia berikan kepadanya.

"Bu, kalau jalan hati-hati, yah. Jangan buru-buru, harusnya ibu itu lihat kiri kanan, baru boleh nyebrang. Kalau kayak begini kan, saya jadi gak tegaan sama ibu." gadis itu berucap sopan dan lembut, lalu matanya melirik 2 orang yang sudah hampir dekat dengan mereka.

Ibu itu melongo dengan perubahan drastis si gadis.

"Ada apa ini, mbak?" ucap seorang pria berambut gondrog.

Si gadis itu melihat ke arah 2 orang yang tadi sempat ia lihat, karena mereka jugalah ia membantu ibu tersebut mengumpulkan belanjaannya.

"Oh ini, gak apa-apa, mas. Tadi itu ibu ini nyebrang jalan gak lihat-lihat, mungkin karena terburu-buru kali yah. Jadinya juga saya gak sengaja nabrak beliau, untung ibu ini gak apa-apa (melihat ke arah ibu)." gadis itu memutar balikkan fakta, si ibu kembali melongo dengan sikap gadis yang baru ia temui.

"Allahuakbar, gundul mu itu kamu gak sengaja nabrak. Orang jelas-jelas kamu yang nabrak saya meskipun saya udah lambai-lambai tangan!" ibu itu berubah menyeramkan, matanya menatap tajam sang gadis berambut panjang itu.

Hal itu membuat si gadis panik karena perubahan si ibu berbadan gempal tersebut.

"Sini koe (menggulung lengan baju), tak pelintir, habis itu tak remas biar remuk iku mulutmu! Bocah gendeng, bisanya kamu bilang aku yang gak lihat-lihat." ibu tersebut segera mendekat ke arah sang gadis.

Dua pria itu hanya bisa melihat tanpa bisa membantu, karena mereka pun terlihat bingung.

Mendapat hadiah seperti itu, dengan gerakan cepat, si gadis itu menaiki motornya dan meninggalkan pekarangan jalan yang membuatnya bertemu dengan ibu-ibu tersebut.

"Weeee, sini! Bocah ingusan! Mulut kok kayak pantat panci, item gak ada bentuk! Dia yang salah, malah dia nyalahin orang! Dasar mulut gak bertulaaaaang!" ibu itu masih marah-marah dengan wajahnya yang merah padam.

Dua orang yang bersama dengannya pun hanya bisa membantu menenangkannya.

Sementara itu di atas motor ...

Pov Ticha

Gila, bayangin dong kalian, guys. Ketemu sama ibu-ibu gembrot yang mukanya nyeremin. Dia yang salah malah dia yang ngomel, gak kebalik apa.

Sudah tahu gue mau lurus, eh dia malah lambai-lambai tangan. Emang dia mau nyerah? Nyerah ama siapa coba?

Pagi-pagi mau kerja malah bikin badmood! Gak banget ketemu sama ibu -ibu itu lagi!

Untung saja aku sudah sampai di kantor sebelum jam 7, kalau gak bisa berabe urusannya sama pak bos.

Secara aku ini kan berjabat sebagai sekretaris pak Erwin. Tahu kalian Erwin siapa?

Itu loh, Erwin yang anaknya pak Jimmi. Siapa sih yang gak kenal pak Jimmi, salah seorang pengusaha terpandang dan terkaya di Kalimantan. Tapi, pak Jimmi juga kaya loh di ibu kota metropolitan ini.

Yah, Jimmi Laurence Ekuardo. Seorang pengusaha terkaya dan terkejam di tanah Kalimantan, dia memiliki seorang anak laki-laki tunggal bernama Erwin Laurence Ekuardo dan seorang anak perempuan bernama Ovi Grisella Ekuardo, biasanya yang perempuan di panggil Ovi.

Eh, udah. Kenapa jadi ngenalin keluarga bosku sih, kan jadi ilangin image aku.

Bay the way, i'm Ticha. Nama lengkapku Trissiana Ticha Putri. Putri itu nama nenekku, jadi gak usah bingung.

Senangnya bekerja di perusahaan Ekuardo Group itu karena setiap harinya aku bisa bertatap muka dengan pewaris tunggal pak Jimmi, tapi untuk sekarang aku gak mau macam-macam. Karena emang pak Erwin terkesan jutek, cuek dan gak salah lagi dia bengis.

Dulu sempat aku tebar pesona sama pak Erwin, tapi bukannya di lirik malah di tarik, di jenggut, bahkan di tampar wajahku yang mulus.

Kalau inget waktu dulu, ngeri-ngeri sedap rasanya. Untung ganteng, kalau gak udah aku laporin polisi. Eh, tapi biarpun laporin, gak mungkin aku menang. Karena dia dari keluarga terhormat dan punya uang banyak, apalah dayaku yang remahan rengginang ini.

Aku sudah duduk di kursi kebangsaanku, tepatnya di seberang meja pak Erwin.

"Pagi, mbak Ticha. Cantik amat sih, mbak."

Iss, lelaki hidung belang malah datang, ngapai juga dia ke sini?

"Pagi juga, pak. Sehat pak?" senyumanku yang ramah membuatnya tersenyum gembira.

Mati kek lu.

"Duh, Allhamdulillah. Baik, mbak Ticha. Cantik amat sih, yah Allah."

Aduh, ini orang benar-benar nyebelin asli. Gini banget jadi orang cantik, di sukain sama jenis langkah.

Tapi, aku harus tetap terlihat baik ke semua orang. Imageku bisa-bisa anjlok kalau aku marahin si tua bangka ini.

Apa, pasti kalian bilang kok tua bangka? Emang dia tua bangka, guys. Umurnya udah kepala 6, heran sih sama pak Erwin, kenapa jug masih pertahankan karyawan tua kayak gini.

"Puji Tuhan, Alhamdulillah. Syukur deh, pak. Bapak ke sini mau bersih-bersih?" sengaja aku berbasa-basi, karena seharusnya pak tua ini sudah selesai membersihkan ruangan kami.

Karena memang ruangan kami di bersihkan lebih dulu ketimbang ruangan yang lain.

Jijik banget aku liat si pak tua yang cengengesan memperlihatkan gigi depannya yang ompong, pengen banget aku tendang dia keluar dari ruanganku dan pak Erwin. Tapi, lagi-lagi karena image, aku gak mau kalau image ku jelek. Jadinya, aku tahan aja sama sikapnya.

"I-Ini, mbak. Saya boleh gak mbak pinjam seratus? Soalnya saya butuh banget buat beli beras sekilo sama lauk, mbak."

What? Pinjam seratus? Bukannya 2 hari yang lalu baru gajian yah. Kok dia malah mau minjam sih?

Kenapa juga tuh muka di melas-melassin!

"Hmm, maaf, pak. Bukannya lusa kemarin udah gajian yah? Emang uang gajian bapak sudah habis?"

Sumpah, eneg banget ngomong lembut ke tua bangka ini.

"Maaf yah, mbak. Kalau saya gak sopan. Tapi, uang gaji saya emang sudah habis, buat bayar utang semuanya, mbak."

Si tua bangka ini malah tambah memelas. Duh, jengkel banget sumpah.

"Maaf, pak. Saya gak ada duit! Lagian, baru kemarin bapak gajian. Kok habis? 4 juta bukan duit sedikit loh. 4 juta itu duit yang banyak!"

Kali ini males banget aku ngomong lembut sama dia, udah gak sudi. Tua bukannya sadar diri malah udah tua buat diri!

Aku lirik reaksinya si tua bangka itu, ternyata dia terkejut dengan perubahan sikap lembutku menjadi judes.

Saat dia masih menatap bingung ke arahku, aku mendengar suara langkah kaki yang mantap.

Segera aku berdiri, dan mendekati si tua bangka itu yang tak lain namanya adalah Pak Gali. Gali kuburan kali ah!

"Pak, saya itu benar-benar gak ada uang. Harusnya bapak jangan maksa saya gini dong. Lagian, baru juga kan bapak lusa kemarin gajian."

Aku berucap dengan lembut, sengaja wajah aku buat ketakutan, agar nanti saat pak Erwin melihat, ia mengira aku takut.

BERSAMBUNG

Lanjutkan Membaca

Buku lain oleh Cahaya Rembulan

Selebihnya

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku