Ketika dikhianati, seorang wanita dengan panggilan 'Cinta' telah mengetahui kekasihnya tengah bertunangan dengan wanita lain. Harapannya punah dan sekarang wanita itu ingin pergi ke Bar. Namun, setelah pulang dari tempat tersebut, ditengah hujan deras Cinta tidak bisa mengendalikan diri hingga kecelakaan terjadi.
"Apa ini kejutan untukku?" sumber suara dari balik pintu mengejutkan semua orang. Tidak kalah dengan sosok lelaki dan perempuan yang menoleh dengan wajah penuh ketakutan.
Sekarang, senyuman yang semula tampak bahagia kini luntur seketika karena sebuah pengkhianatan berada di depan mata.
Yah, seorang wanita yang berniat untuk memberikan kejutan dihari kepulangannya, lalu kini berakhir tragis.
"Cinta, aku bisa menjelaskannya!" ujar pria yang kini memilih memberikan cincin pada seorang wanita.
"Tidak, aku rasa semua sudah jelas dan kau mengkhianati aku." Cinta pun langsung berlari dan sekarang dirinya merasa benar-benar tersesat hanya karena cinta.
"Cinta, tunggu!" teriak lelaki yang bernama Max.
"Apa yang harus aku tunggu lagi! Sekarang aku tersesat dan itu sebuah kesalahan terbesarku karena mencintaimu." Cinta pun menatap tajam ke arah Max, menunjuk dadanya dengan sangat keras hingga lelaki itu pun, hampir saja kehilangan keseimbangan.
"Hiks ... hiks ... apa artinya aku bagimu selama ini, apa!" Dengan isak tangis penuh kehancuran, Cinta berbicara dan berusaha menguatkan diri.
"Aku minta maaf Cinta, aku minta maaf. Ini salahku dan Shella hamil jadi di sini aku–,"
"Cukup, kau telah menghancurkan kepercayaanku dan sekarang menjauh dariku!" pekik Cinta penuh dengan amarah, air mata tak lagi terbendung. Kekecewaan pada lelaki yang hampir tiga tahun membersamainya tega menghancurkannya.
"Cinta ... aku mohon maafkan aku," ucap Max lagi dan Cinta pun segera memasuki mobilnya. Namun, lagi-lagi wanita itu tidak menghiraukannya.
Di mobil.
"Kenapa Tuhan, kenapa? Apa aku tidak boleh bahagia dan harus menjadi wanita yang begitu menyedihkan, apa aku tidak pantas bahagia? jawab Tuhan!" Cinta meracau di dalam mobil. Marah bercampur kecewa telah menyatu di dalam dirinya dan saat ini tujuannya adalah bar, menghabiskan waktu yang telah ia buang. Bahkan tidak peduli seberapa sakit hatinya karena yang dibutuhkan sekarang adalah, berusaha mengobati lukanya dengan berbagai cara.
Pukul satu dini hari, suasana sedikit dingin karena angin berhembus dengan kencang. Terlihat di atas sana langit sedang tidak baik-baik saja dan bisa jadi sebentar lagi, hujan akan turun dan ikut menangis menemaninya yang telah gagal dalam sebuah hubungan.
Slepp.
Tiba-tiba sebuah bayangan kembali terlintas di pikirannya, yah mimpi yang terus menghantui kini tiba-tiba melewatinya, hingga mobil pun dipacu tak terkontrol sampai akhirnya.
Aaaaaaaaaaaaa.
Byuuur.
"Apa ini akhir dari kisahku? Apa ini rencana Tuhan untuk membuatku melupakan semua tentangnya?" ucapan itu hanya mampu dikatakan di dalam hati. Nuraninya berkata jika hidupnya telah selesai.
Saat ini, di dalam air, tubuh Cinta tidak berdaya. Senyuman terakhirnya bahwa menandakan jika dirinya baik-baik saja dan semua telah berakhir dengan kematian. Namun, jika dirinya diberi kesempatan maka jawabannya seseorang yang berada di mimpinya agar tidak lagi mengganggu rasa penasarannya.
"Tangan ... yah, ini tangan." Masih berusaha sadar walau sebentar lagi kesadaran itu lenyap di bawah air.
"Ciuman ... kenapa aku merasa ada seseorang menciumku?" dalam keadaan antara sadar tidaknya, Cinta merasakan bibir seseorang telah menyentuh bibirnya. Sialnya lagi Cinta seperti terhipnotis hingga mengikuti alurnya dan.
"Tidak, ini tidak mungkin. Mana mungkin semua ini terjadi dan dia ...?" Di dalam pikirannya belum bisa menemukan jawaban, tetapi seketika ciuman itu berhenti dan sebuah tangan menariknya ke atas.
Argh.
Sebuah erangan terdengar menyakitkan karena Cinta berusaha naik ke tepi sungai. Lalu, untuk sejenak ia pun berpikir jika dirinya sudah mati, tetapi tiba-tiba saja sebuah cahaya mendekatinya.
"Hai, apa kamu baik-baik saja?" sebuah pertanyaan dari seseorang yang membawa senter.
"A-aku ada di mana?" belum sempat sosok lelaki itu menjawab, tiba-tiba Cinta mulai terkulai lemah.
"Hai ... bangun! Jangan mati di sini," kata pria itu lagi yang terus mencoba menggoyangkan tubuh Cinta.
"Ish, kenapa dengan wanita ini. Pasti awalnya mau bunuh diri," celoteh pemuda tersebut, lalu dengan terpaksa akhirnya mau tak mau harus menolong dan membawanya pergi.
Keesokan paginya tepat pukul delapan.
Huh ... huh ... huh.
Suara napas Cinta naik turun, ketika sebuah mimpi mendatangi lagi dan sepertinya, mimpi itu begitu nyata di mana ketika sosok lelaki membawanya naik ke atas tepi.
"Nak, kamu sudah sadar?" ketika Cinta bangun. Ia melihat dua orang sudah berada di sisinya dan sayangnya Cinta tidak mengetahuinya.
"Ma-af karena saya sudah merepotkan kalian." Dengan menelungkupkan kedua tangannya Cinta meminta maaf.
"Maaf jika bibi bertanya sedikit sensitif, apa kamu berniat bunuh diri?" sebuah pertanyaan yang mana membuat Cinta bingung harus menjawab apa.
"Bu, biarkan dia istirahat untuk memulihkan tubuhnya. Semalam perempuan ini muntah dan aku yakin jika sebelumnya telah mengkonsumsi alkohol," ujar pria yang bernama Bima.
"Baiklah, bibi tidak akan bertanya. Akan tetapi, jika kamu siap bisa mengatakannya pada anak bibi yang bernama Bima," kata seorang wanita yang menyebutkan dirinya sendiri dengan panggilan 'Bibi'.
"Terima kasih, Bi, karena sudah menampung saya." Bibi itu pun mengangguk sebelum beliau benar-benar berdiri dan meninggalkan keduanya.
"Baiklah, sekarang kamu sarapan dan setelah itu aku ingin mengajakmu ke suatu tempat!" ajak Bima dengan seulas senyuman.
"Terima kasih ... Bima," ucap Cinta sedikit grogi.
Keduanya pun makan, meski Cinta agak aneh dengan menu yang disediakan, tetapi tidak menutup kemungkinan jika dirinya memang sangatlah lapar.
"Oh ya, untuk baju kamu semalam aku meminta ibu untuk menggantinya." Cinta pun menyahuti dengan senyuman dan tak mempermasalahkan soal itu, karena ia yakin jika Bima tidak mungkin melakukannya.
"Oh ya, nama kamu siapa? Aku harap kamu tidak lupa dengan namamu." Jelas Bima sembari memasukkan nasi ke dalam mulutnya.
"Namaku Cinta, lalu bisakah aku meminjam ponsel. Aku butuh benda itu untuk menghubungi keluargaku," kata Cinta yang mana kata-katanya membuat Bima bingung.
"Benda apa itu? Sungguh aku tidak mengerti apa yang kamu katakan," jawab Bima dengan sesekali mengusap pelipisnya.
"Ponsel, alat penghubung. Memangnya ini di jaman apa sih, sampai-sampai kamu tidak mengerti apa yang aku katakan!" ujar Cinta dengan susah payah mengumpulkan kesabaran, tetapi rupanya Bima tidak kunjung mengerti.
"Aku tidak mengerti, mungkin dengan membawamu ke tempat di mana seorang wanita mengkonsumsi alkohol dan berujung percobaan bunuh diri–."
"Aku tidak bunuh diri!" sahut Cinta dan dengan terus terang membantah tuduhan itu.
"Oh ayolah adikku yang cantik, jika tidak kenapa kamu bisa berada di sungai itu? Lalu bau alkohol begitu menyengat hingga aku pun terkena imbasnya." Bima berusaha menggali apa yang ia lihat dan mengatakannya pada Cinta, dengan begitu siapa tahu ada alasan lain.
"Baiklah, sekarang ajak aku ke sana. Siapa tahu dengan begitu aku mengingatnya," kata Cinta dan ia pun setuju dengan itu.
Tidak berapa lama kemudian, keduanya sampai di sungai di mana Cinta semalam berada.
"Hai Adik, kita sudah sampai dan aku harap kamu masih mengingat apa yang terjadi padamu semalam." Kata-kata Bima membuat Cinta terus berpikir dan ingatan itu masih terasa segar, tanpa mengurangi satupun yang hilang di pikirannya.
"Bisakah kamu meminjamkan aku alat komunikasi?" tanya Cinta.
"Adikku yang manis, ini jaman belum ada alat canggih. Benda yang kamu maksud aku pun tidak tahu," tekan Bima sekali lagi.
"Panggil aku Cinta, karena aku bukan adikkmu." Dengan nada tidak suka Cinta berkata.
"Apa tidak bisa aku memanggilmu Adik, karena aku menginginkannya." Jawab Bima dan membuat Cinta menghela napas.
"Terserah, aku tidak akan berdebat soal ini lagi." Setelah itu Cinta dengan perlahan maju dan mencoba memahami arti dari semua ini.
"Harusnya aku mati waktu itu, aku terlempar cukup jauh. Lalu, lalu siapa lelaki itu?" Cinta pun bertanya-tanya soal apa yang terjadi kepadanya dan itu sungguh di luar akal menurutnya, tentunya Bima mendengarkan ucapan Cinta.
"Tunggu! Apa maksud kamu, lalu lelaki yang kamu bicarakan itu ke mana? Jika benar dia telah menolongmu." Rentetan pertanyaan dari Bima membuat Cinta sedikit bimbang. Pasalnya semua terasa nyata, tetapi layaknya mimpi yang hadir hanya sesaat.
"Aku tidak tahu, yang kuingat hanyalah setelah keluar dari Bar tiba-tiba saja aku kehilangan keseimbangan hingga menabrak pembatas jalan. Hujan yang deras telah membawaku masuk ke sungai hingga sampai berada di tempat ini," ucap Cinta berusaha menjelaskan.
"Jika kamu terbiasa minum bukankah itu suatu kebetulan?" kali ini Bima ingin bertanya dengan serius, tidak ingin hal-hal yang nantinya akan menyulitkannya, karena ia tahu bahwa desanya sulit menerima orang asing dengan status tidak jelas asal usulnya.
"Aku baru saja pulang dari Singapura karena suatu pekerjaan. Selebihnya cuti yang aku ambil untuk menemui orang tuaku dan tentunya kekasihku, tetapi bukan aku yang memberi kejutan melainkan kekasihku, karena telah memasang cincin pada seorang wanita."
Bima yang mendengar merasa iba pada Cinta lalu, dengan perlahan mengusap bahunya tanda bahwa dirinya mengerti dengan keadaan wanita itu.
"Kamu baik-baik saja?" tanya Bima walau sejujurnya ia tahu jika Cinta dalam keadaan hancur.
"Kekasihku memilih bertunangan dengan wanita lain, jadi aku harus bagaimana?" Cinta kembali menatap Bima penuh penekanan, mengatakan jika lebih baik dirinya yang mengalah dan satu penyesalan terbesarnya yakni, pulang ke negaranya.
"Aku hanya berpikir sungguh mustahil jika kamu berada di sini dengan berenang, rasanya sungguh tak masuk akal!" Kata Bima karena memang ia butuh bukti nyata jika Cinta datang dari alam semesta yang berbeda.
"Aku pun tidak punya jawaban, lantas sekarang harus apa? Jelaskan padaku, bagaimana mungkin tiba-tiba aku ada di sini." Ucapan Cinta seketika membuat Bima berpikir begitu keras.
"Kita pikirkan nanti, karena jika lama-lama berada di luar itu pun sungguh tidak baik buatmu."
"Oh ya, satu lagi. Apa ini benda yang kamu cari?" tanya Bima.