Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Tawanan Hati CEO Kejam

Tawanan Hati CEO Kejam

Flo Risha

5.0
Komentar
124
Penayangan
2
Bab

Semua berawal dari tuduhan Rainer Sanjaya, Anindira terpaksa hidup terkurung dalam sangkar emas seorang CEO yang berhati kejam. Semua bukti mengarah kepada Anindira sebagai penyebab atas meninggalnya sang calon istri, tapi bukannya melaporkan pada Polisi, Rainer menjadikan Anindira sebagai seorang istri sekaligus tawanannya. Statusnya disembunyikan dari dunia luar layaknya wanita simpanan.

Bab 1 Chapter 1

"Hentikan, singkirkan tanganmu dari tubuhku!" pekik Anindira hingga suaranya melengking memenuhi tiap sudut ruangan tersebut, dia berusaha meronta sekuat tenaga.

Bulir-bulir keringat mulai menetes di pelipisnya. Bukan semata-mata karena matanya sedang ditutup dengan kain hitam, namun karena tangan kekar seorang pria saat ini sedang menjamah kulit mulusnya dan menuju ke bagian sensitif tubuhnya.

Selain tak bisa melihat, tangannya juga terikat kuat oleh seutas tali. Suara tangis Anindira semakin memecah ruangan saat tangan pria itu berhasil melepas kain yang melekat di tubuhnya.

"Kumohon jangan! Apa salahku padamu?" isak Anindira, ia tak bisa menutupi ketakutannya yang saat ini begitu membuncah. Tenaga pria itu terlalu kuat membuat Anindira sulit untuk mengimbangi. Jelas ia akan kalah, ia tahu itu, tapi dirinya tetap tak membiarkan pria itu menyentuhnya sedikit pun.

Sayangnya, pria itu tidak menggubris pertanyaan Anindira dan melanjutkan aksinya tanpa ampun. Secara tiba-tiba dia membuka lebar kedua kaki Anindira dan tampaknya kewanitaan Anindira yang begitu menggoda. Kemudian tanpa izin pria itu memasukkan miliknya yang besar ke lubang tersebut.

Rasa sakit menyeruak ke seluruh tubuh Anindira dalam sekejap, tetapi Anindira terus berontak dengan mengerahkan seluruh sisa tenaga yang ia punya.

"Hentikan, sakiiit ...," rintih Anindira bersamaan bercak darah perlahan menetes di area kewanitaannya.

Untuk beberapa detik pria itu menjeda pergerakannya karena tidak menyangka wanita yang ada di bawahnya itu masih perawan. Namun, sesaat kemudian dirinya tetap melanjutkan pergerakannya tanpa ampun. Tanpa memedulikan Anindira yang meringis kesakitan hingga dirinya menggapai puncak yang kenikmatan di atas isak tangis Anindira yang memilukan.

Sewaktu kecil, Anindira selalu ketakutan saat menonton televisi yang memberitakan tentang pemerkosaan. Tapi hari ini, justru ia sendiri yang mengalami dan menjadi korbannya. Isak tangis Anindira terdengar semakin mengiba.

Terakhir kali yang Anindira ingat, dia sedang dikejar oleh komplotan penjahat di jalanan saat mengantar pesanan. Kemudian saat sedang kelimpungan mencari pertolongan, dia bertemu Tuan Rainer, seorang CEO rupawan yang sering muncul di layar kaca. Tentu saja Anindira tak menaruh curiga sama sekali hingga ia pun masuk ke dalam mobilnya.

Di dalam mobil Rainer memberinya sebotol air, tapi setelah meminumnya ... ia tak ingat apa pun lagi.

Sampai akhirnya, sekarang ia sedang terkulai lemah di atas ranjang mewah berukuran king size setelah miliknya dibombardir oleh pria yang bahkan ia tak tahu siapa karena mata dan tangannya terikat. Tangisan Anindira masih berlanjut meskipun pria tersebut sudah selesai melakukan aksinya.

Tubuhnya yang tak berbalut satu lembar kain pun harus menerjang rasa dingin alat pendingin udara di kamar tersebut. Di sela selangkangannya, tepatnya di atas sprei putih itu bahkan masih ada sisa darah keperawanannya yang mulai mengering.

Air matanya tak berhenti mengalir dan berharap ada rasa iba pada pria yang kini duduk di atas sofa berbalutkan bathrobe hitam. Menyilangkan kakinya dengan mengintimidasi. Lelaki itu memandangi tubuh Anindira yang di setiap jengkalnya dipenuhi jejak merah, ia tersenyum puas melihat tanda yang tadi ia torehkan secara beringas.

"Apa kau tahu siapa aku?" tiba-tiba terdengar suara pria dengan nada rendah. Pria yang beberapa saat yang lalu baru saja merenggut kehormatan Anindira. Sesuatu yang Anindira jaga hanya untuk calon suaminya kelak.

Anindira yang masih terisak dalam keadaan terikat itu pun bergeming. Meski bagian intinya masih terasa begitu sakit, tapi rasa penasaran terhadap pria yang menyebabkan ini semua jauh lebih besar.

"Kenapa kau melakukan ini padaku. Apa salahku sehingga diperlakukan sehina ini?"

SREK..

Tiba-tiba saja kain hitam yang menutupi mata Anindira dibuka oleh pria tersebut. Begitu juga ikatan pergelangan tangannya.

Mata Anindira membelalak hebat begitu melihat sosok pria yang setengah bertelanjang dada di depannya itu. Tuan Rainer!

"Kau?" pekik Anindira tidak percaya melihat sosok yang berada di hadapannya. Pria yang tadi menolongnya adalah pria yang sama yang telah merenggut kesuciannya.

Ternyata semua ini adalah jebakannya!

"Kenapa anda melakukan hal ini padaku. KENAPA?" teriak Anindira dengan mata melotot tak ubahnya seperti orang kesetanan karena tidak terima begitu saja kesuciannya direnggut begitu saja. Ia meronta sekuat tenaga, tidak peduli pergelangan tangannya kesakitan karena ikatan tali yang menjerat sebelumnya.

"Kenapa katamu? Kau yang menyebabkan Meira meninggal!" Rainer mencengkeram kedua pipi Anindira dengan tatapan buas.

Mendengar nama Meira membuat hati Anindira ikut terluka. Bagaimana tidak? Wanita baik yang Rainer sebut itu sudah seperti saudari baginya. Sayangnya, Meira meninggal tepat di hari pernikahannya dengan Rainer. Anindira pun ada di sana menjadi saksi kematian Meira di ruang ganti.

Tapi tunggu dulu, kenapa calon suami Meira malah menuduhnya untuk hal yang tidak masuk akal? Bukankah Meira yang memang memiliki jantung lemah itu dinyatakan meninggal karena serangan gagal jantung. Lalu, apa hubungannya ia dengan kematian Meira? Anindira sama sekali tidak mengerti.

"Aku? Jangan bercanda, Tuan. Mana mungkin aku membunuh Nona Meira," sahut Anindira. Dia tak terima dituduh tanpa bukti oleh pria tersebut.

Rainer mendengus, "Dulu aku pikir itu tidak mungkin, tapi Meira meninggal karena serangan jantung setelah membaca pesan yang dikirim olehmu."

"Aku tidak mengerti, Tuan Rainer." Anindira semakin bingung dengan apa yang dikatakannya, karena dia tidak pernah mengatakan apa pun untuk menyakiti Meira.

Rainer tertawa dengan kencangnya memenuhi seluruh dinding kamar itu membelakangi Anindira. Gelak tawa Rainer itu membuat Anindira bergidik ngeri.

"Tidak mengerti? Kaulah yang berkata kepada Meira, kamu sedang mengandung bayiku. Mengapa? Apa kamu sangat menyukaiku, lantas tidak sabar untuk memisahkan aku dan Meira dan menyusun rencana untuk membunuhnya?"

"Tidak. Itu tidak mungkin," pekik Anindira, "Lagi pula aku akan segera menikah, untuk apa aku melakukan hal semacam itu, pasti ada kesalahpahaman di sini." Saat ini dirinya harus meluruskan kesalahpahaman yang ada di depan matanya.

Anindira yang sudah merasa mati rasa dengan keadaan tubuhnya yang tanpa benang sehelai itu mencoba turun dari ranjang. Ia dengan tertatih berjalan untuk memohon kepada Rainer agar mau melepaskannya.

Namun, tubuh Anindira malah dibopong ke pundak Rainer, lalu dilempar kembali ke atas ranjang. Anindira kembali terisak.

Rainer sama sekali tidak peduli. Ia mengeluarkan ponsel milik Meira dari laci, melemparkannya dengan sembarang ke arah Anindira.

"Lantas itu apa?!" bentak Rainer.

Anindira dengan tangan gemetar segera meraih ponsel itu, tetapi ketika ia membaca pesan yang tertulis di situ, bola matanya langsung membelakang saking terkejutnya.

[Maafkan aku karena harus mengatakan ini padamu, Meira. Aku sudah tidur dengan Rainer dan aku saat ini sedang hamil anaknya. Berat rasanya mengakui bahwa aku telah mengkhianatimu sebagai teman.] Anindira .

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku