Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Gairah Cinta Sang Sultan

Gairah Cinta Sang Sultan

Carlota M

5.0
Komentar
15
Penayangan
4
Bab

Dia adalah putri yang terbuang tetapi takhta membutuhkannya. Setelah Hidup di jalanan selama bertahun-tahun, hampir saja Maira Nasreen mengira kalau dia hanyalah gadis biasa yang kurang beruntung. Namun, di suatu malam, di sudut kota Bagyar ia menolong seorang pria yang terluka dan nyaris mati karena racun. Pertemuannya dengan pria itu mengubah nasibnya, dari gadis gelandangan menjadi gadis yang menduduki singgasana sebagai ratu seorang sultan. Akan tetapi, takhta itu menguak begitu banyak rahasia dan skandal yang terjadi di istana yang membuat jadi diri seorang Maira pun terungkap. Siapakah Dia sebenarnya? Seorang putri atau hanya gadis gelandangan yang beruntung dan menjadi ratu? Yuk, ikuti kisahnya sekarang.

Bab 1 Prolog

Masih seperti mimpi, jika kemarin aku adalah seorang anak adopsi dari pasangan saudagar kaya. Tidur di dalam kamar yang nyaman, ranjang empuk yang membuatmu bermimpi indah setiap kali kau tertidur di atasnya. Makan makanan yang berbeda setiap harinya dengan santapan lengkap dan bergizi. Mengenakan pakaian berbahan bagus yang menunjukkan kasta tinggi di dalam masyarakat, bahwa aku adalah seorang anak dari saudagar kaya.

Menghela napas panjang, mataku menatap langit malam yang bertabur bintang dari balik atap gudang penyimpanan buah yang berlubang cukup besar ini, sambil berbaring di dekat tumpukan buah apel yang masih segar. Malam ini, aku diizinkan tidur di sini oleh pemiliknya setelah seharian bekerja menjaga kios buahnya. Pemilik kios buah itu seorang pria tua bernama paman Zaidan. Dia tinggal sendirian setelah kematian istrinya, aku tidak tahu banyak tentang pria itu tetapi begitulah yang kudengar. Namun, dalam kesendiriannya itu setidaknya dia masih bisa menghidupi dirinya dengan berjualan buah, dia punya kebun buah apel, anggur dan persik yang cukup luas di pegunungan. Hari ini, aku bersyukur karena bisa makan buah lebih banyak dari biasanya sebagai upah atas kerja yang kulakukan seharian penuh, meskipun besok aku harus kembali mencari pekerjaan baru, karena orang yang menjaga kios buah milik paman Zaidan telah kembali bekerja.

Awalnya terasa berat ketika aku kembali ke kota ini tiga tahun yang lalu sebagai orang yang benar-benar dilupakan dan tanpa memiliki apapun. Sebuah tragedi menimpa orang tua angkatku saat aku berada di luar kota mengenyam pendidikan. Di tengah kekalutan dan ketakutan saat berada di kota orang karena tidak punya biaya, aku pun memilih untuk bekerja sangat keras untuk bisa pulang ke Bagyar, lebih baik pulang ke kota asalku daripada hidup menggelandang. Namun, hidup tidak selamanya sesuai dengan rencana. Nyatanya, aku harus menjalani kehidupan sebagai gelandangan di kota asalku, berpindah dari satu tempat ke tempat lain hanya untuk istirahat dan tidur, selebihnya sibuk mencari kerja serabutan untuk memenuhi kebutuhan makan dan minum. Aku tidak pernah meminta belas kasihan orang lain, apa yang kuterima haruslah dari hasil keringatku bukan dari menengadahkan tangan dan rasa kasihan, karena itu membuatku merasa lebih berguna dan menghargai hidup yang diberikan Tuhan padaku. Pikiranku teralihkan oleh pintu gudang ini yang terbuka, Mirza-teman gelandangan sekaligus sahabatku-menghampiriku dengan tergesa, aku segera bangkit dari posisi berbaringku.

"Cepat kemari! Kita harus menolongnya!"

Mirza tampak panik, aku dilanda kebingungan yang nyata tetapi gadis itu tidak membiarkanku mengutarakan kebingungan. Akhirnya, aku hanya mengekorinya keluar dari gudang ini menuju ke suatu tempat. Kami tiba di tempat yang kami tuju, sebuah gang sempit yang di ujungnya bertumpuk gerobak kayu yang sebagiannya telah rusak dan lapuk dan beberapa masih bagus dan digunakan. Gang ini tidak jauh dari gudang buah milik paman Zaidan, seseorang sedang duduk sambil bersandar pada tembok bangunan di sisi kanan, seorang pria, tak jauh dari tumpukan gerobak kayu itu. Kedua kakinya terjulur, sosok itu tidak bergerak. Matanya terpejam, sepertinya dia pingsan. Mataku menyusuri apa yang dikenakannya, dia termasuk orang yang berada. Jubah beludru dan hiasan kepala pria berupa topi tinggi yang bagian atasnya berlubang, terbuat dari bahan yang sama dengan jubahnya, sepatu dengan ujung yang runcing berbahan kulit. Wajahnya tampan dengan garis rahang yang tegas dan kokoh yang ditumbuhi rambut halus nan rapi semakin menambah kesan tampan dan maskulin di wajahnya, bibirnya sedikit penuh dan berwarna merah muda, kulit wajahnya sangat terawat. Sosoknya tidak asing, tetapi masih terlalu samar di kepalaku.

"Siapa dia?" tanyaku saat berjongkok di sisi kanan dan Mirza di sisi kiri pria ini.

"Sepertinya dia orang istana," jawab Mirza. Mengamatinya dengan cermat sekali lagi, tatapanku pun jatuh ke tangan kirinya, di jari tengahnya tersemat cincin perak dengan hiasan batu delima merah di tengahnya yang tidak begitu besar. Kutatap Mirza dengan mata terbelalak dan berkata, "Dia sultan Bagyar."

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku