Inara yang sangat membutuhkan uang untuk biaya operasi sang ayah akhirnya memutuskan untuk mendatangi sang boss, di tempatnya bekerja. Namun siapa sangka, bukannya mendapat bantuan, Inara malah mendapat cacian dan hinaan ditambah lagi ia di pecat dari pekerjaannya. Di tengah keputusasaannya, diam-diam teman kerjanya mengikutinya dan memberinya sebuah penawaran. Apakah Inara nantinya akan menerima penawaran itu? Atau malah menganggap penawaran yang di berikan teman kerjanya hanyalah bualan semata.
Gadis itu terduduk dengan lemas di depan ruang rawat ayahnya, ia menangis sejadi-jadinya begitu mendengar Dokter berkata jika ayahnya mengalami luka serius di kepalanya dan secepatnya harus menjalani operasi agar nyawanya bisa di selamatkan.
Masih membekas diingatannya, saat pagi tadi sewaktu mereka sarapan bersama sebelum ia berangkat bekerja. Ayahnya begitu ceria dan wajahnya pun terlihat begitu bercahaya, ternyata itu semua adalah tanda yang tidak di sadarinya. Dan musibah itu pun terjadi begitu saja, ia pun mengatahui tentang ayahnya yang mengalami kecelakaan dari tetangganya yang akan berbelanja ke pasar dan saat itulah, tetangganya itu tidak sengaja melihat ayah gadis malang itu menjadi korban tabrak lari.
Air matanya luruh begitu saja tanpa bisa di cegah seiring dengan badannya yang bergetar bersama suara isakan tangisnya yang terdengar semakin memilukan. Bayangan-bayangan kebersamaannya bersama sang ayah pun melintas begitu saja di benaknya. Ia tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi jika sang ayah meninggalkan dirinya, memikirkannya saja sudah membuatnya begitu rapuh. Ia tidak akan membiarkan ayahnya, orang tua satu-satunya yang di milikinya itu meninggalkan dirinya. Ia harus mencari cara agar sang ayah bisa di selamatkan, karena hanya ayahnyalah yang di milikinya di dunia ini. Meski ia masih memiliki keluarga lain dari sang ibu, namun setelah ibunya meninggal, mereka semua menghilang bak di telan bumi. Bahkan saat Inara dan ayahnya mengunjungi mereka, mereka bersikap seolah-olah tidak mengenal Inara dan ayahnya padahal Inara masihlah keluarga mereka.
"Berapa biaya yang di butuhkan untuk operasi ayah saya, Dokter?" tanya gadis malang itu sambil sesekali sesegukan.
Dokter yang merawat ayah Inara pun tampak memandang ke arah gadis malang di depannya dengan kasihan. Melihat kesedihan Inara, ia tiba-tiba kepikiran putrinya jika mereka berada di posisi Inara saat ini. Tapi, ia tidak bisa melakukan apa pun atau membantu Inara. Meski ia seorang dokter namun ia pun tidak memiliki uang sebanyak itu.
"Saya tidak bisa menyebutkan berapa nominal pastinya, tapi biaya operasi sekitar 100 juta di tambah biaya perawatan yang lainnya. Anda harus menyiapkan sekurang-kurangnya sekitar 400juta dan semuanya harus lunas di bayarkan secepatnya, agar ayah anda bisa segera menjalani operasi" jelas sang Dokter dengan pelan, namun masih dapat di dengar oleh Inara.
Inara begitu shock mendengar nominal yang di sebutkan dokter, ia tampak melangkah mundur, tubuhnya bahkan membentur tembok di belakangnya . Wajahnya pun masih menunjukkan raut keterkejutan yang tidak bisa di sembunyikan. Dari mana ia bisa mendapatkan uang sebanyak itu, Tetangga? Ia tidak mungkin juga mendapatkan pinjaman apalagi dengan nominal yang sebesar itu. Lagi pula, Inara tidak terlalu dekat dengan tetangganya yang lain karena di tempat tinggalnya, Inara dikenal sebagai orang miskin.
Kemana ia harus mencari? Sungguh! Ia tidak tahu harus melakukan apa. Jika ia menjual rumah mereka, harta satu-satunya mereka, uangnya tidak akan cukup. Lagi pula, rumah mereka sudah mulai rapuh dan akan sangat sulit mendapatkan pembeli di waktu yang sesingkat ini.
Di saat Inara tengah memikirkan nasib ayahnya. Ibu Mery, tetangga yang sudah menolong dan membawah ayah Inara ke rumah sakit tampak melangkah mendekat ke arahnya dengan wajah yang terlihat bingung sekaligus khawatir.
"Ada apa, Nak. Kenapa kamu duduk di sini?" tanya Ibu Mery, tetangga yang menolong ayahnya Inara saat mengalami kecelakaan.
Inara yang tidak menyadari kehadiran Ibu Mery tampak terdiam dan tatapan matanya pun tampak kosong. Sementara itu, Ibu Mery yang tidak mendapat jawaban pun memandang ke arah Inara dengan penuh tanda tanya. Lalu tak lama, ia berbalik memandang ke arah dokter yang kebetulan masih berdiri di depan Inara bermaksud meminta penjelasan pada sang dokter.
"Ada apa, Dokter?" tanya Ibu Mery pada Dokter itu.
Dokter segera menjelaskan tentang apa yang dikatakannya pada Inara. Seketika air mata Ibu Mery pun jatuh di pipihnya. Ia kasihan dengan gadis malang di depannya, gadis malang yang sudah di anggapnya seperti putrinya sendiri kini tampak bagai orang linglung dan tidak memiliki semangat hidup.
Ia pun melangkah mendekati Inara dan segera menarik tubuh gadis malang itu ke dalam pelukannya sementara sang Dokter memilih untuk pergi dan memberi ruang untuk kedua orang itu.
"Nak, kamu yang sabar ya. Ibu akan berusaha membantu kamu"
Walau Ibu Mery bukan orang kaya dan tidak memiliki uang sebanyak itu namun ia berjanji pada dirinya sendiri untuk menolong gadis malang yang saat ini berada dalam pelukannya itu.
Inara menatap Ibu Mery dengan haru, ia bersyukur memiliki tetangga sebaik Ibu Mery. Padahal bisa saja, Ibu Mery bersikap tidak perduli padanya seperti yang di lakukan oleh keluarga ibu kandungnya. Mereka bahkan tidak memiliki hubungan darah namun Ibu Mery begitu baik padanya selama ini. Tapi kali ini, ia tidak bisa lagi terus menerus menyusahkan Ibu Mery. Sebab ia tahu jika saat ini, Ibu Mery pun tengah kesulitan perekonomian di tambah putrinya yang tengah menempuh pendidikan di kota, sedang memerlukan biaya yang tidak sedikit. Ia bertekat akan berusaha mendapatkan biaya operasi ayahnya dengan usahanya sendiri.
"Ibu, saya boleh minta tolong pada, Ibu?"
"Ada apa, Nak?. Katakanlah"
"Saya boleh minta tolong pada Ibu untuk menjaga ayah saya. Jika Ibu tidak keberatan, saya ingin menitipkan ayah saya"
"Memangnya kamu mau kemana, Nak?" tanya Ibu Mery dengan cemas.
"Saya ada sedikit urusan di luar, Bu" jawab Inara seadanya.
"Baiklah, Ibu akan menjaga ayah kamu sampai kamu kembali"
"Terima kasih, Bu. Saya tidak akan lama"
"Ya sudah. Pergilah. Hati-hati di jalan"
Inara pun segera bergegas pergi. Ia berjalan gontai menyusuri lorong rumah sakit dengan perasaan sedih sekaligus bingung. Ia tidak tahu harus pergi kemana untuk mencari biaya operasi ayahnya. Tubuhnya pun serasa tidak memiliki kekuatan sama sekali, ia hanya berjalan mengikuti kemana langkah kakinya membawanya.
Di saat ia tengah beristirahat di sebuah halte buss, ia tiba-tiba saja teringat pada sang boss tempatnya bekerja. Ia pun berniat untuk mendatangi sang boss untuk meminjam uang padanya. Namun sesampainya Inara di tempat kerjanya, bukannya mendapat pinjaman, ia malah mendapat hinaan dan celaan dari bossnya. Seperti sebuah pepatah "Sudah jatuh tertimpah tangga", tak hanya mendapat celaan dan hinaan. Inara pun di pecat dari tempatnya bekerja dan tak hanya itu saja, Inara pun harus secepatnya melunasi utangnya sebesar lima puluh juta dalam waktu satu minggu jika ia tidak melunasi utangnya dalam jangka waktu yang di berikan maka Inara akan di laporkan ke kantor polisi.
"Ingat apa yang saya katakan tadi. Saya benar-benar serius dengan apa yang saya katakan" ucap sang boss dengan wajah angkuhnya.
Inara pun hanya bisa menundukkan kepalanya, ia menangis dalam diam. Rasa sedih dan sakit yang di terimanya benar-benar membuat dad*nya makin sesak. Ia akhirnya memilih meninggalkan ruangan sang boss dengan langkah yang berat. Dan di saat itulah, teman kerjanya diam-diam mengikutinya.
Teman kerjanya itu mengajaknya berbincang dan menawarkan sebuah penawaran yang bernilai fantastis padanya. Dengan bayaran fantastis itu, ia bisa membayar biaya perawatan sang ayah dan juga ia bisa membayar utang-utangnya pada sang boss.
Bab 1 Ayah kecelakaan
21/07/2023