Lily dan Alex Hudson, berasal dari keluarga bangsawan yang hancur setelah kepergian kedua orang tua mereka. Kehidupan keduanya berubah tatkala surat wasiat yang ditinggalkan oleh ayahnya, meminta mereka untuk menemui Claude Sander. Kenalan sang ayah. Keduanya menuju mansion dimana Claude tinggal, tanpa mengetahui siapa Claude sebenarnya dan rahasia apa yang tersimpan di mansion tersebut.
cukup untuk menyewa kereta kuda yang jauh lebih layak dari yang sekarang.
"Sialan! Apa sejauh itu tempat yang akan kita kunjungi sampai kita masih belum sampai? Kereta kuda sial ini juga buat aku pusing, " gerutu Alex.
"Sabarlah, Alex. Kita 'kan tidak punya uang. Jadi mau bagaimana lagi, hanya dengan inilah kita bisa bertahan sampai tempat yang akan kita tuju."
"Ah! Cerewet kamu, bisa-bisanya kamu ceramahin aku. Urus saja masalahmu sendiri," hardik Alex.
Tidak lama setelah mereka berdebat, kereta kuda itu berhenti di tengah hutan yang lebat.
"Turunlah! Kalian sudah sampai!" teriak sang kusir.
"Pak Tua! Yang benar saja dong, masa kita berhenti di tengah-tengah hutan seperti ini. Kamu mau menipuku ya? Kembalikan uangku sekarang!" Alex yang sudah jengkal semakin murka saat dia melihat keadaan diluar kereta yang tidak ada apapun, selain pohon-pohon besar yang tinggi menjulang.
"Hahaha! Dasar bodoh! Kamu pikir uang segitu bisa buat aku kaya? Masih mending aku mau mengantar kalian sampai disini, kalau saja aku tahu tujuan kalian yang sebenarnya. Aku tidak akan mau menerima kalian sebagai penumpang ku!" Pak Kusir tidak mau kalah dengan teriakan Alex, dia sudah capek-capek mengantar keduanya bukannya mendapat uang tambahan malah dituduh menipu penumpangnya.
"Alex sudah, ayo kita turun saja dari sini." Lily menarik lengan kakak lelakinya.
"Lepaskan aku Lily! Aku mau buat perhitungan dengan Pak Tua itu!"
"Sudah dong, Lex. Kalau kaya gini sama aja kita bikin malu."
"Malu? Tahu apa kamu tentang rasa malu? Kamu itu nggak ada kontribusi apapun dalam keluarga kita! Bisanya ngabisin nasi saja!" Alex yang kesal karena dihalangi saat dia ingin melampiaskan amarahnya pada Pak Kusir, kini dia melampiaskan kemarahannya pada Lily.
"Maaf, Lex. Tolong kita pergi dulu dari sini, Pak Kusir tadi juga sudah pergi. Hari sudah semakin gelap, kita harus sampai mansion yang dikatakan Ayah dalam suratnya," ujar Lily.
"Huh! Semuanya menyebalkan! Awas saja kalau kejayaan sudah ada di tanganku, akan ku binasakan semua orang yang menghinaku!"
Benar apa yang dikatakan Lily, langit semakin gelap sehubungan matahari yang mulai beranjak menuju tempat peraduannya. Akan jauh lebih berbahaya berjalan di tengah hutan dalam keadaan gelap gulita, belum lagi keduanya juga masih belum tahu dimana letak mansion itu berada.
Mau tidak mau, Alex akhirnya mengikuti saran adik perempuannya. Dia melangkahkan kaki menuju arah selatan, menurut peta yang ditinggalkan oleh sang ayah, mansion yang akan mereka tuju ada di bagian selatan hutan kematian.
"Lex kamu dengar nggak ada suara aneh?"
"Nggak."
"Beneran loh, Lex. Suara itu seperti mengikuti kita," ucap Lily.
Lily sangat yakin apa yang dia dengar itu bukan khayalan, bahkan bukan hanya suara yang dia dengar. Lily juga merasa ada berpuluh pasang mata yang mengawasi dia dan Alex.
"Alex, masa kamu nggak dengar sih suara mengerikan itu. Suara desisan ular."
"Hahaha! Dasar bodoh! Itu bukan desisan ular, paling juga suara orang yang sedang bercinta." Alex menjawab acuh tak acuh akan ketakutan Lily, dia tidak percaya dengan yang namanya takhayul. Kalau ular sih ya pasti ada, mengingat lokasi mereka saat ini.
"Bercinta itu apaan, Alex?" tanya Lily, yang tidak tahu maksud kata yang dikatakan oleh kakak laki-lakinya.
"Sudah lah, anak kecil mana tahu hal begituan. Buruan jalannya tuh, aku sudah laper banget ini. Mau mati rasanya," titah Alex.
"Aku itu sudah delapan belas tahun, bukan anak kecil lagi!" Protes Lily, dia paling benci kalau masih dianggap anak kecil oleh Alex.
"Iya, iya! Kamu bukan anak kecil, kalau dilihat dari fisik. Tapi otak kamu yang kosong itu, nggak beda jauh dengan anak kecil umur dua tahun yang tidak bisa membaca dan menulis," cibir Alex.
Lagi-lagi Lily tidak bisa melawan apa yang dikatakan oleh Alex, sebab pada kenyataannya memang dirinya tidak bisa membaca maupun menulis.
Menjadi anak perempuan di keluarganya harus siap dengan segala aturan yang sudah diterapkan oleh mendiang ayahnya, aturan yang paling utama yaitu seorang anak perempuan tidak diwajibkan untuk mengenyam pendidikan.
Hal yang diharuskan untuk Lily pelajari hanyalah ilmu menyulam dan etiquette dasar sebagai seorang bangsawan, padahal jika Lily jauh lebih pintar dari pada Alex. Tapi karena alasan aturan tersebut, maka hanya Alex yang dikirim ke akademi terkenal yang biasanya hanya diperbolehkan untuk bangsawan tingkat atas sampai royal family saja.
Lily membuang jauh-jauh segala pikiran buruknya atas ketidakadilan yang pernah dia terima, setidaknya Lily masih bisa berhitung. Hal yang harus dia ketahui, untuk bertahan hidup.
"Berapa lama lagi kita harus jalan?" tanya Alex.
"Aku rasa setelah tanjakan di depan sana itu, kita sampai."
"Sialan! Orang macam apa sih yang mendirikan mansion di atas bukit seperti ini? Kalau bukan karena keterpaksaan, aku ogah banget harus bersusah payah ke tempat terkutuk ini," keluh Alex.
Sepanjang perjalanan, Alex terus mengeluh. Padahal dia tidak membawa barang bawaan apapun, tas lusuh yang berisi pakaian juga Lily yang membawanya. Tapi malah Alex yang terus menerus mengeluh kecapekan dan selalu mengucapkan sumpah serapah.
"Jaga bicaramu, Alex. Kita sedang berada di tempat orang, jangan sampai ada yang mendengar lalu membawa kita dalam bahaya," tegur Lily.
"Cuih! Tempat sampah dan kampungan ini memang lebih cocok buat kamu sih, bukan buatku. Setelah aku berhasil mengajukan pinjaman dengan Tuan Claude, aku akan pergi sejauh mungkin dari tempat sampah ini."
"Kamu mau kemana? Kamu mau meninggalkan aku disini?" tanya Lily.
"Kenapa? Sekali-kali jadilah adik yang berguna, mungkin dengan tubuhmu itu kamu bisa bertahan hidup. Kamu itu cantik ya walaupun bodoh, tapi aku rasa kebodohanmu itu tidak begitu berarti bagi orang kaya, yang rela menghamburkan uang demi kepuasannya," cibir Alex.
Terkadang Lily heran, sebenarnya siapa yang kakak dan siapa yang adik. Harga peninggalan orang tuanya juga habis oleh Alex, padahal menurut perhitungan Lily, keduanya bisa bertahan sampai sepuluh tahun kedepan. Setidaknya sampai Lily menemukan pendamping hidup, sehingga Lily tidak berada di bawah wewenang dan tanggung jawab kakaknya lagi.
Tapi sayangnya, semua harta benda keluarga Hudson habis tidak tersisa saat Alex menjadi pecandu judi dan tertipu saat dia ingin memulai bisnis.
"Kita sudah sampai," ucap Lily.
Kini keduanya berdiri di depan sebuah mansion, atau lebih tepatnya sebuah kastil kuno. Gerbangnya saja tinggi menjulang, namanya juga bangunan kuno kesan mansion itu jauh lebih menyeramkan lagi saat hari sudah gelap gulita. Tanpa penerangan yang memadai, Lily dan Alex merasa kalau tempat yang mereka datangi adalah rumah kosong tempat para monster berkumpul.
Buku lain oleh Maesaro Ardi
Selebihnya