Tentang Adam yang kesulitan menemukan cinta sejati di usia 32 tahun. Maka datanglah Elena ke dalam hidupnya dengan berbagai konflik kehidupan. Akankah keduanya bisa saling melengkapi?
Di dalam kamarnya yang begitu luas. Dengan warna cat putih pualam, rapi dilengkapi rak buku, kamar tersebut juga bersih. Banyak barang-barang mewah yang tertata. Dan itu semua hasil jerih payahnya selama bekerja dan menabung dengan keras. Tak terasa pria itu kini sudah berusia 32 tahun. Usia yang sudah dikatakan matang dan pantasnya memiliki pendamping hidup atau istri.
Sayang, sifat dan sikapnya yang dingin pada setiap wanita membuatnya sulit untuk memiliki pasangan. Sebetulnya ada banyak yang ingin menjadi kekasihnya. Hanya saja pria itu belum menemukan tambatan hati yang cocok. Bisa dikatakan kalau pria itu memanglah pemilih.
Ya, tapi, memang tidak ada salahnya menjadi seorang yang pemilih. Karena, hidup hanya sekali. Pria itu tidak mau ketika nanti jatuh hati ia akan salah memilih pasangan, baginya itu akan merugikan kehidupannya ke depan. Ia mau mendapatkan wanita yang terbaik, setia padanya juga memiliki tujuan hidup yang sama.
"Aku harus meeting pagi ini."
Pria berjas hitam dengan dasi kupu-kupu sebagai aksesorisnya, jam tangan Rolex menjadi penyempurna, terlihat gagah berdiri di depan cermin. Ia pun menarik koper hitam di atas ranjang yang sudah ia persiapkan segala dokumen di dalamnya. Sambil keluar kamar, ia menelepon asistennya yang berada di kantor untuk persiapan meeting.
Ferrari LaFerrari merah yang terparkir di sebuah Mansion tempatnya tinggal itu akan ia pakai untuk berangkat bekerja hari ini. Ada sekitar 11 mobil yang ia miliki. Namun, yang kerap CEO itu pakai adalah mobil Ferrari tersebut.
***
"KAU MEMANG BUKAN ISTRI YANG AKU MAU, MENYINGKIRLAH DARI KEHIDUPANKU!" pria itu membentak istrinya tanpa malu. Ia bahkan berani memarahi wanita yang dikenal dengan lemah lembutnya itu.
"Barnard, sadarlah. Kau ini suamiku dan aku istrimu!" meski ucapannya meninggi, tetap saja suara wanita itu tidak lebih keras dari suaminya, Barnard.
"Kau pikir aku peduli? Sejak awal perjodohan ini tidak harus terjadi! Kau hanya menyulitkanku!" pria itu lantas pergi begitu saja meninggalkan Angelina yang menangis seorang diri. Wanita itu lantas duduk di sofa sembari menangis tersedu-sedu. Barnard pergi lagi hanya untuk menemui kekasihnya.
Angelina Agatha, wanita cantik berusia 25 tahun, ramah dan lemah lembut itu sudah menikah dengan Barnard Anderson sekitar kurang lebih 6 bulan. Namun, kehidupan rumah tangganya tidak pernah berjalan mulus. Mereka menikah karena memang perjodohan dari orang tua. Itu karena keluarga Angelina memiliki banyak utang pada keluarga Barnard. Dan kedua orang tua Barnard meminta Angelina saja sebagai ganti pelunasan utang yang orang tuanya miliki. Mau tak mau, suka atau tidak, Angelina menerima perjodohan tersebut demi orang tuanya.
Ia berharap kelak Barnard akan mencintai dirinya. Nyatanya, hingga bulan-bulan berikutnya pun hingga kini ia tak pernah merasakan kenyamanan. Barnard tidak pernah mau satu ranjang, tidak makan-makanan yang ia buat. Tidak memakai baju yang ia setrika. Semua yang ia lakukan serba salah. Dan parahnya, sampai kini Barnard menjalin kasih dengan wanita yang masih menjadi pacarnya sejak sebelum mereka menikah.
Kisah Angelina memang klasik. Nyatanya memang hidup wanita itu seburuk itu. Angelina menarik tisu di atas meja. Kadang kala ia ingin sekali lari ke pelukan orang tuanya. Mengadu semua yang terjadi pada rumah tangganya. Namun, nyalinya tidak sebesar itu. Angelina juga selalu diancam agar tidak menceritakan keburukan Barnard pada siapa-siapa. Laki-laki itu tidak akan segan membuat Angelina terluka.
Malam berlalu, Angelina hanya tinggal seorang diri di rumah tiga tingkat itu. Jam 10 malam, Barnard tidak juga pulang. Pikir wanita itu Barnard mungkin tengah berada di rumah kekasihnya. Angelina meringkuk di balik selimut. Ia tidak tahu harus berbuat apa. Pernikahannya sampai kapanpun tidak akan maju jika Barnard tidak memilih berubah.
Entah mau dibawa ke mana nasib pernikahannya. Wanita itu berharap kalau suatu saat ia dan Barnard bisa memiliki hubungan rumah tangga yang harmonis. Meski itu juga tidak mungkin terjadi-pikirnya. Tapi, ia berharap ada cahaya yang membawa Barnard dalam kebenaran.
Tinggal di New York tanpa kedua orang tuanya membuat kehidupan Angelina menderita. Angelina merasakan pusing di kepalanya. Sakit luar biasa. Ia merintih. Dengan cepat ia mencari obat di laci. Meminum obat tersebut agar sakitnya reda.
***
Meeting sudah selesai. Adam, Levin dan sahabat satunya bernama Thomas berkumpul di sebuah restoran ternama di California. Mereka memang biasa singgah di kafe tersebut. Untuk mengobrol ringan sampai urusan pekerjaan.
"Memang kau belum memiliki kekasih juga?"
"Kau kan kaya, seharusnya mudah bagimu untuk mendapatkan wanita, Adam."
Thomas ikut bersuara, "apa aku harus membantumu mencarikan jodoh?"
"Apa seharusnya kita membuat sayembara?"
Adam menggeleng. Para sahabatnya, Thomas dan juga Levin memang sering kali menghina dirinya perkara belum juga menikah. Keduanya sudah memiliki istri. Thomas memiliki istri seorang model ternama di Amerika Serikat. Sementara Levin memiliki istri wanita karir yang ternyata dahulu adalah sekretarisnya. Bukan Adam tidak mau menikah, pasalnya calonnya saja belum terlihat.
"Adam, kau ini terlalu pemilih. Sekretarismu Tamara kan cantik, dia juga seksi, pintar, soal kaya, kau pun sudah kaya. Apa yang kau cari lagi?"cecar Levin.
"Aku mengira bukan sulit mencari pasangan. Buktinya aku dan Thomas sudah menikah. Ini hanya karena kau terlalu pemilih!" lagi-lagi dia disalahkan karena ia terlalu pemilih. Adam meneguk kopi latte sedikit.
"Kalau begitu, bantu aku cari pasangan, aku serahkan ke kalian!" tegas Adam mempercayakan pada mereka berdua.
"Ya, aku menunggu kalimat itu muncul dari mulutmu!" sungut Thomas. Pria itu saling bertepuk tangan.
"Kalau begitu apa imbalan untuk kami?" tanya Levin tersenyum miring, "kau saja belum tentu dapat yang sesuai seleraku!"
Levin memutar bola mata. Sulit memang merayu sahabatnya itu. "Kau tidak akan miskin meski memberi kami mobil!" celoteh Thomas.
"Ya, benar apa yang dikatakan Thom." Tanggap Levin menyetujui ucapan Thomas. Adam mengembuskan napas. "Kalian memang sungguh ingin memerasku!"
"Ck. Tidak ada yang ingin memerasmu. Kita ini sahabatmu, Adam. Tapi, kalau memang kau ingin memberi kami mobil, kami jelas tidak menolak, ya kan?" kata Thomas, Levin mengangguk mantap.
"Ya sudah, begini saja, kalau nanti kami dapat calon untukmu, kau coba saja dulu, kalau cocok kau bisa jadikannya istri."
"Ya, kami pasti akan carikan yang terbaik untuk sahabat jomblo kami!"
"Tapi, memang kau tidak tertarik dengan Tamara?"selidik Levin. Ia sudah bersahabat lama dengannya. Namun, gelagat Adam di kantor memang tidak seperti menginginkan Tamara untuk menjadi pendamping hidup. Tapi, sebagai pria normal, Tamara itu cantik, seksi, pintar, apa Adam tidak tergoda?
"Dia hanya pekerjaku, aku tidak menganggap lebih dari itu, sudahlah. Berhenti menanyakan hal yang jawabannya akan sama."Dengus Adam.
Thomas dan Levin geleng-geleng kepala. Ponsel Levin berbunyi, itu panggilan dari Celine sang istri. "Istriku menelepon," ucap Levin. Levin menempelkan benda pipih itu ke telinga. "Halo, Sayang."
Thomas dan Adam terkekeh. Tapi, jauh di lubuk hati Adam, sebagai seorang pria, ia juga menginginkan segera ada di posisi sahabatnya. Mau makan ada yang masak. Mau kerja ada yang merapikan pakaian, mau tidur ada yang menemani. Semua keuangan diurus sang istri. Jadi, Adam tidak begitu kerepotan. Hanya saja sejauh ini semua hal sudah biasa ia lakukan sendiri.
"Ya, Sayang, tunggu di sana kalau begitu. Aku segera menjemputmu," putus Levin. Ia memasukkan ponselnya kembali ke saku jas. "Aku harus menjemput istriku. Kita sudahi saja pertemuan ini."
"Ya, kalau begitu aku juga akan pergi menemui Aisley." Pamit Thomas. Kini tinggal Adam sendiri yang duduk di sebuah restoran.
Tidak ada seorang wanita yang mampir untuk menemaninya. Tidak apa, Adam tidak perlu menangis. Sendiri bukan suatu kesedihan. Pria itu mendapatkan pesan dari Tamara yang memintanya agar segera ke kantor. Karena ada berkas yang mesti ditandatangani. Adam meneguk sekilas kopi lalu pria itu pun pergi dari tempat tersebut.
'Pada waktunya aku juga akan memiliki pasangan hidup.'
'Siapapun yang menjadi istriku kelak, aku tak akan membuatnya sengsara.'
Tapi, siapa wanita itu?