GREET'S WILDEST DREAM

GREET'S WILDEST DREAM

Karen Sanjaya

5.0
Komentar
123.2K
Penayangan
105
Bab

Zona Gerah 21+!! Bijaklah dalam membaca cerita ini ... Greet, seorang gadis polos yang selalu insecure dengan tubuhnya yang gemuk, tidak menyangka akan bertemu kembali dengan cinta pertamanya saat di bangku kuliah, Tristian Delmar. Kesalahpahaman yang terjadi di antara mereka disaat jelang wisuda, membuat hubungan mereka merenggang. Empat tahun kemudian, Greet tidak bisa menolak kembali kehadiran pria itu saat dia pindah kerja dan menjadi anak buah Tristian. Disaat yang sama sahabat sekaligus senior Greet, Luna, justru menjadi calon tunangan Tristian, membuat Greet semakin enggan menerima kenyataan jika perasaannya pada Tristian masih ada. Akankah akhirnya mereka bisa saling jujur tentang perasaan satu sama lain dan akhirnya bersama? Atau justru Greet merelakan Tristian untuk bersama Luna?

Bab 1 Meet Greet

"Ha..halo perkenalkan namaku Greet, salam kenal semua, sen-senang bisa bergabung di tim ini."

Aku menahan gugup saat tersenyum, menelan saliva berkali-kali saat belasan pasang mata menatapku tajam. Entah sebenarnya tajam atau tidak, aku yang insecure selalu berpikir melebihi keadaan yang sesungguhnya. Aku menghela napas, semua semangat dan keberanian yang sedari pagi ku kumpulkan seolah menguap begitu saja.

"Baik, kalau begitu, seperti yang saya katakan tadi, Tim akan di bagi dua." Suara pria paruh baya yang Aku ingat bernama Pak Ronald terdengar. ""Team A, Leader Amanda, sama Regina presenter, camera Krisna, research sama editing Mirna n Sean." Sang Manajer, Pak Ronald menyebutkan pembagian Tim.

"Team B, Tristian sebagai Leader, tapi dia masih di Semarang. Presenter Silvy, camera Andreas, Greet n Leon research and editing. Lalu Team B, Tristian sebagai Leader, tapi dia masih di Semarang. Presenter Silvy, camera Andreas, Greet n Leon research and editing."

Jantungku mencelos sesaat. Tristian..

Aku merasa salah dengar. Tapi aku segera menggelengkan kepala mengumpulkan kembali fokusku yang buyar gara-gara nama tabu itu disebut.

Toh belum tentu orangnya sama. Emang dia doang yang punya nama itu? Asisten manajer itu pasti bukan orang sembarangan sampai bisa menjabat posisi itu, dan pastinya bukan pria itu.

Aku berusaha mengusir pikiran konyol, lalu mengikuti tur keliling kantor, mengamati setiap jengkal tempat kerja baruku dengan seksama. Tak terasa sudah jam istirahat, aku bersemangat turun ke lantai lobby dan mencari-cari orang yang sudah menungguku sedari tadi. Tiba-tiba tubuhku tertarik kebelakang saat seseorang melingkarkan tangannya di bahuku.

"Greeeet!"

"Mba Luna!"

Kami berdua berpelukan layaknya anak SMA yang sedang reuni.

"Ya ampun, akhirnya ketemu kamu lagi." Wanita cantik bernama Luna itu tersenyum sambil menarikku masuk ke sebuah kedai kopi yang ada di sudut depan lobby.

"Iya mba.. duh ga sangka aku bakal kerja lagi sama mba." Aku juga tidak dapat menahan rasa senang kembali bertemu dengan senior panutanku ini.

"Nih, aku udah ambilin kartu karwayan dan kartu akses kamu. Welcome to KG Jakarta, Greet."

Aku menatap kartu tanda pengenal karyawan yang belum sempat ku ambil dengan mata berbinar. "Repot-repot sih mba ngambilin. Padahal biar aku aja yang ambil habis istirahat ini."

"Gapapa," sahut Luna sambil mengibaskan tangannya. "kita beli kopi terus balik keruanganku aja ya, biar santai ngobrolnya disana."

Aku mengangguk, hanya membiarkan mba Luna merangkulku, Kami memang dekat seperti kakak adik walau aku merasa sedikit canggung saat kemudian banyak orang mengangguk pada mba Luna disepanjang kami berjalan menuju ke ruangannya. Mba Luna memang dikenal banyak orang, dia putri tunggal Direktur Utama KG.

"Gimana-gimana? Nervous ga?" Kami duduk di sofa minimalis saat sampai diruangan mba Luna di lantai dua puluh dua.

Mataku berkeliling takjub melihat ruangan seniorku ini, sangat cozy, serba putih, terlihat cantik seperti penghuninya. Belum lagi pemandangan kota Jakarta dari atas, wuih!

Mba Luna menyodorkan sebuah cup kopi caramel macchiato kesukaanku. Ah, mba Luna selalu saja mengingat kopi kesukaanku.

"Makasih mba." Aku menghela napas. "Nervous sih.. tapi aku yakin aku bisa."

Mba Luna mengangguk, "Orang disini baik-baik kok, ada calon tunanganku di divisi kamu. Asisten manajernya, nanti aku titipin kamu sama dia."

"Hah? Calon yang itu mba?" Aku terkejut. Mba Luna sempat bercerita kalau papanya ingin menjodohkan dia dengan anak teman bisnisnya, memang usia mba Luna yang menginjak dua puluh delapan tahun, terlihat masih santai dengan status singlenya. Dia belum mau menikah, masih mau bebas berkarir katanya.

Mba Luna mengangguk. "Iya, yang aku ceritain itu, Tian. Nanti juga kamu ketemu dia. Eh, tapi dia lagi keluar kota. Ke Semarang. Dia orangnya suka turun ke lapangan, ga cuma anak buahnya aja yang gawe."

Aku mengangguk-angguk sambil membayangkan pria seperti apa yang akan di jodohkan dengan mba Luna. Pastinya pria tampan, karena Luna itu seperti model, cantik, tubuhnya bagus tinggi semampai, rambutnya hitam legam dengan potongan modern, Aku sendiri kadang tidak percaya bisa berteman baik dengannya. Luna Maira Oetama, tiga tahun lebih tua dariku, tapi kami dekat seperti sahabat seumuran.

Mba Luna memesan makanan, dan tidak terasa satu jam berlalu saat kami asik ngobrol hingga aku terburu-buru kembali ke lantai ruanganku. Benar saja, saat sampai diruang meeting, tatapan mata salah satu head team, bu Amanda menatapku tidak suka. Salahku karena terlambat.

"Ontime. Itu hal terpenting yang harus di utamakan sebagai bagian dari team ini." Bu Amanda yang tengah bicara langsung menembakku.

"Maaf Bu." Aku hanya bisa mengatakan itu, lalu berharap dapat tenggelam ke dalam lantai tempatku berpijak. Lalu aku menyimak, sambil mengabaikan belasan tatap mata yang mendelik tajam.

Memang sulit ditakdirkan punya tubuh gemuk sepertiku, selalu jadi bahan penglihatan dan juga bahan pembicaraan, seperti sekarang, seorang pria muda menatapku dari atas ke bawah dan dua orang gadis dibelakangnya berbisik-bisik seolah membicarakanku, karena mereka selalu menghindari kontak mata saat aku menatap balik.

Hingga jam pulang kantor pun aku belum banyak bicara dengan rekan lainnya. Aku melangkah lesu keluar dari ruangan menuju ke arah lift. Ponselku berbunyi, terlihat nama mba Luna di caller idnya.

"Greet, udah kelar kerjaan?" Suara nyaring dan merdu mba Luna terdengar.

"Baru mba. Aku lagi mau turun lift. Kenapa mba?"

"Makan yuk Greet, itung-itung perayaan hari pertama kamu kerja."

"Mmm... Aku bilang Mamaku dulu ya mba." sahutku.

Setelah mendapat ijin dari Mama, aku memberitahu mba Luna. Kami janjian di lobby dan aku terkejut saat sebuah mobil BMW warna merah menyala berhenti di depannya. Jendela mobil terbuka dan aku menunduk saat namaku dipanggil. Ternyata itu mba Luna.

"Greet, ayo masuk!" Ajaknya.

Aku masuk dengan jantung berdebar, mba Luna terlihat sangat keren. "Mba Luna nyetir sendiri?"

Mba Luna melajukan mobilnya. "Iya, aku lebih suka nyetir sendiri. Kadang balik kantor aku suka kemana dulu gitu kan. Kalau pake supir ga enak, ga bebas sih tepatnya. Hehe..."

Aku ikut tersenyum, rasa kagumku pada mba Luna semakin besar, untuk ukuran anak orang kaya, mba Luna sangat mandiri. Dulu saat dia kerja di Bandung bersamaku, wanita itu memilih tinggal sendiri di apartemen.

Mba Luna memilih makan di restoran Korea setibanya di mall GI. Kami berbincang tentang banyak hal.

"Terus kapan tunangannya mba?" Aku bertanya saat mba Luna membahas tentang calon tunangannya.

"Aku masih ulur waktu, kita belum terlalu kenal. Dia juga cuek orangnya. Kayak sekarang nih lagi pergi ke Semarang, ga ada tuh ngabarin aku."

Cuek? Ke mba Luna? Ga salah? Tu cowok ga punya mata nampaknya...

"Mungkin dia ga tertarik sama aku, yah selama ini sih aku dengar banyak cewek yang antri buat jadi pacarnya, tapi ga tau juga deh. Kita kan mau dijodohin, mungkin dia udah punya pacar. Aku belum tau terlalu banyak soal dia sih Greet, kita jarang jalan juga. Tapi kalau kata orang-orang kantor sih orangnya baik. Makanya banyak yang naksir." lanjutnya lagi.

Aku merasa heran, sepertinya tidak mungkin ada orang yang tidak menyukai mba Luna, karena menurutku, mba Luna itu definisi wanita sempurna yang pernah ku temui selama hidupku. Rasanya rugi jika ada pria yang tidak mau dekat dengan mba Luna. Aku merasa jika aku terlahir sebagai seorang pria, sudah pasti aku akan jatuh cinta pada mba Luna, tanpa diragukan lagi.

"Yah, kalau jodoh ga kemana mba. Mau di jodohin kek, mau jatuh cinta sendiri kek. Mau muter-muter sedunia juga pasti bakal bersatu." Kelakarku yang berhasil membuat wajah murung mba Luna berubah.

"Greet...Greet, kamu masih aja lucu yaa.."

Kami tertawa bersama sambil melanjutkan makan. Lalu berkeliling sebentar melihat tas, mba Luna membelikanku sebuah tas mahal dengan simbol 'A' yang sudah lama ku inginkan, katanya hadiah pindah kerja. Aku merasa tidak enak tapi dia memaksa.

Setelah itu kami berpisah, aku sampai dirumah hampir sepuluh malam. Langkahku gontai saat terlihat Mama menyambutku di ruang tengah.

"Gimana hari pertama?"

Aku tersenyum masam. "Besok aja ya Mam ngobrolnya, cape."

Mama menggeleng dan mengijinkanku untuk naik ke kamar. Aku langsung menjatuhkan tubuh di ranjang.

Memang tidak ada tempat ternyaman selain didalam kamar.

Aku menghela napas dalam berpikir apakah tepat pindah di kantor yang lebih besar? Tidak ada yang tahu jika aku adalah anak salah satu Direktur disana. Aku tidak ingin di anggap bisa masuk karena hasil nepotisme andai mereka sampai tahu.

"Tidak-tidak! Aku ga boleh patah semangat, ini baru hari pertama. Lagipula ada mba Luna." Aku terduduk dan menyemangati diri sendiri. Lalu bergegas mandi. Aku merasa hari ini sangat panjang dan melelahkan

Tristian...

Nama yang pernah memberi kenangan indah tapi juga menorehkan luka. Nama yang berusaha tidak pernah ku ingat dalam benak. Aku harap tidak akan bertemu Tristian itu, Tristian atasanku bukanlah pria yang sama dari masa laluku.

Aku memejamkan mata berusaha menepis bayangan pria itu. Berharap kenangan lama itu tidak akan muncul kembali. Hingga akhirnya aku terlelap dan tidak bisa menolak saat pria itu hadir dalam mimpiku.

-tbc-

Lanjutkan Membaca

Buku lain oleh Karen Sanjaya

Selebihnya

Buku serupa

Putra Rahasianya, Aib Publiknya

Putra Rahasianya, Aib Publiknya

Gavin
5.0

Namaku Alina Wijaya, seorang dokter residen yang akhirnya bertemu kembali dengan keluarga kaya raya yang telah kehilangan aku sejak kecil. Aku punya orang tua yang menyayangiku dan tunangan yang tampan dan sukses. Aku aman. Aku dicintai. Semua itu adalah kebohongan yang sempurna dan rapuh. Kebohongan itu hancur berkeping-keping pada hari Selasa, saat aku menemukan tunanganku, Ivan, tidak sedang rapat dewan direksi, melainkan berada di sebuah mansion megah bersama Kiara Anindita, wanita yang katanya mengalami gangguan jiwa lima tahun lalu setelah mencoba menjebakku. Dia tidak terpuruk; dia tampak bersinar, menggendong seorang anak laki-laki, Leo, yang tertawa riang dalam pelukan Ivan. Aku tak sengaja mendengar percakapan mereka: Leo adalah putra mereka, dan aku hanyalah "pengganti sementara", sebuah alat untuk mencapai tujuan sampai Ivan tidak lagi membutuhkan koneksi keluargaku. Orang tuaku, keluarga Wijaya, juga terlibat dalam sandiwara ini, mendanai kehidupan mewah Kiara dan keluarga rahasia mereka. Seluruh realitasku—orang tua yang penuh kasih, tunangan yang setia, keamanan yang kukira telah kutemukan—ternyata adalah sebuah panggung yang dibangun dengan cermat, dan aku adalah si bodoh yang memainkan peran utama. Kebohongan santai yang Ivan kirimkan lewat pesan, "Baru selesai rapat. Capek banget. Kangen kamu. Sampai ketemu di rumah," saat dia berdiri di samping keluarga aslinya, adalah pukulan terakhir. Mereka pikir aku menyedihkan. Mereka pikir aku bodoh. Mereka akan segera tahu betapa salahnya mereka.

Cinta yang Tersulut Kembali

Cinta yang Tersulut Kembali

Calli Laplume
4.9

Dua tahun setelah pernikahannya, Selina kehilangan kesadaran dalam genangan darahnya sendiri selama persalinan yang sulit. Dia lupa bahwa mantan suaminya sebenarnya akan menikahi orang lain hari itu. "Ayo kita bercerai, tapi bayinya tetap bersamaku." Kata-katanya sebelum perceraian mereka diselesaikan masih melekat di kepalanya. Pria itu tidak ada untuknya, tetapi menginginkan hak asuh penuh atas anak mereka. Selina lebih baik mati daripada melihat anaknya memanggil orang lain ibu. Akibatnya, dia menyerah di meja operasi dengan dua bayi tersisa di perutnya. Namun, itu bukan akhir baginya .... Bertahun-tahun kemudian, takdir menyebabkan mereka bertemu lagi. Raditia adalah pria yang berubah kali ini. Dia ingin mendapatkannya untuk dirinya sendiri meskipun Selina sudah menjadi ibu dari dua anak. Ketika Raditia tahu tentang pernikahan Selina, dia menyerbu ke tempat tersebut dan membuat keributan. "Raditia, aku sudah mati sekali sebelumnya, jadi aku tidak keberatan mati lagi. Tapi kali ini, aku ingin kita mati bersama," teriaknya, memelototinya dengan tatapan terluka di matanya. Selina mengira pria itu tidak mencintainya dan senang bahwa dia akhirnya keluar dari hidupnya. Akan tetapi, yang tidak dia ketahui adalah bahwa berita kematiannya yang tak terduga telah menghancurkan hati Raditia. Untuk waktu yang lama, pria itu menangis sendirian karena rasa sakit dan penderitaan dan selalu berharap bisa membalikkan waktu atau melihat wajah cantiknya sekali lagi. Drama yang datang kemudian menjadi terlalu berat bagi Selina. Hidupnya dipenuhi dengan liku-liku. Segera, dia terpecah antara kembali dengan mantan suaminya atau melanjutkan hidupnya. Apa yang akan dia pilih?

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku