Login to Bakisah
icon 0
icon Pengisian Ulang
rightIcon
icon Riwayat Membaca
rightIcon
icon Keluar
rightIcon
icon Unduh Aplikasi
rightIcon
Obsesi CEO Mesum

Obsesi CEO Mesum

Diandra Ayu

5.0
Komentar
135
Penayangan
7
Bab

Aluna–wanita yang baru satu tahun dinikahi oleh Ardhan Putra Wijaya, harus mengalami keterpurukan tatkala suaminya mengalami kecelakaan tragis hingga menewaskannya. Dibenci oleh keluarga suami karena dianggap pembawa sial, dikucilkan masyarakat juga diusir oleh orang tua sendiri membuat Aluna beberapa kali mencoba untuk mengakhiri hidupnya. Namun kematian Ardhan yang menjadi duka semua orang itu malah menjadi suatu keuntungan besar bagi seorang pria berwajah blasteran bernama Brian Stephano Lucas. CEO tampan itu diam-diam mengagumi Aluna sejak dulu. Dan obsesinya untuk mendapatkan Aluna sangat besar hingga ia terus merencanakan banyak hal agar wanita idamannya itu mau menerimanya. "Aku akan meluluhkanmu, Aluna! Meski kau kini seorang janda, namun tak masalah bagiku," ujar Brian sambil menyeringai tatkala tangan kekar itu mengunci tubuh Aluna yang terus saja memberontak dalam kungkungannya. Apakah Aluna akan luluh? Atau malah ia akan semakin membenci sang CEO karena pria itu sangat ambisius, pemaksa dan selalu menghalalkan segala cara untuk mendekatinya?

Bab 1 Gadis Pembawa Sial

"Aluna! Apa kau tuli, Haah? Bisakah kau angkat teleponnya!"

Seorang wanita paruh baya dengan dandanan yang hedon berteriak kesal. Bibirnya yang terpoles lipstik merah menyala itu mengerucut saat mendengar dering telepon yang terdengar nyaring tiada henti. Sangat mengganggu dirinya yang sedang serius menonton serial favoritnya itu.

"Lagian siapa sih yang menelpon malam-malam begini. Ganggu saja!" umpatnya lagi.

"Aluna! Cepat dong. Angkat tuh teleponnya. Jangan lelet!"

Nyonya Ratna, Nyonya besar di rumah itu lebih memilih memanggil Aluna yang saat ini sedang mencuci piring bekas makan malam mereka di dapur dari pada mengangkat telepon sendiri yang jaraknya hanya tiga meter saja darinya duduk saat ini. Ia lebih senang memperkerjakan wanita yang tak lain adalah menantunya meskipun ia memiliki asisten rumah tangga.

"Iya, Ma!" Aluna tergopoh-gopoh menghampiri meja telepon yang sejak tadi terus berdering dengan nyaring. Ia tak merasa marah atau kesal sama sekali walaupun ibu mertuanya ini menyuruhnya layaknya seorang pembantu.

Sementara ibu mertuanya fokus dengan layar televisi, ayah mertuanya sendiri sudah masuk kamar. Maklum saja semenjak dirinya sakit-sakitan, ia jadi sangat menjaga pola hidupnya dengan beristirahat yang cukup dan menghindari untuk tidur larut.

Aluna meraih gagang telepon dan berbicara pada seseorang yang terdengar panik di ujung telepon sana.

"Hallo, ini dengan keluarga bapak Wijaya?" tanya seorang pria dengan suara yang tak terlalu jelas. Hujan yang diiringi gelegar petir membuat suara di telepon itu terputus-putus.

"Iya hallo?"

"Apa benar ini dengan keluarga bapak Wijaya?" tanyanya lagi dengan nada yang sedikit ditinggikan.

"Iya benar. Maaf ini dengan siapa?" Aluna nampak penasaran.

"Kami dari pihak kepolisian. Kami berada di lokasi kecelakaan dimana mobil yang dikendarai oleh seorang pria atas nama Ardhan putra Wijaya terperosok ke jurang. Kami telah mengidentifikasi korban tunggal dan telah dinyatakan tewas ditempat."

DUARRRR.

Bagai disambar petir di siang bolong, Aluna mematung dan langsung luruh di lantai. Gagang telepon yang dipegangnya terlepas dari pegangannya hingga seseorang yang ternyata adalah polisi itu terus berteriak memanggilnya di seberang telepon sana.

"MAS ARDHAAAAANN!!!" Aluna langsung menjerit dengan posisi yang terduduk sambil memegangi lututnya.

Semua nampak terkejut. Begitupun dengan Nyonya Ratna, ibu mertuanya langsung menoleh dan menatap bingung pada Aluna yang tiba-tiba menjerit dan menangis histeris.

"Non, ada apa, Non?" Bi Sumi, yang berada tak jauh darinya langsung menghampiri Aluna yang terus menangis sambil memanggil-manggil nama suaminya.

"MAS ARDHAN, BI. MAS ARDHAN...." Aluna tak kuasa melanjutkan kata-katanya. Tangisnya pecah, membuat seluruh penghuni rumah itu kebingungan.

Merasa terganggu, Nyonya Ratna pun ikut menghampiri menantu yang ia anggap aneh itu.

"Dasar wanita aneh! Ada apa sih? Ga jelas banget," gerutunya. Ia meraih gagang telepon yang masih menggantung. Wanita itu menyadari jika sambungan telepon itu masih terhubung. Dengan segera, ia menempelkan telepon tersebut ke telinganya.

"Ya, ada apa? Saya ibunya," sahut Nyonya Ratna ketika ia berbicara dengan seorang polisi yang tadi memberitahukan kabar buruk ini.

Sementara itu, suara tangis tidak terdengar lagi, Aluna tak sadarkan diri. Bi Sumi terlihat sangat panik.

"APAAA? GAK MUNGKIN. GAK MUNGKIN! ARDHAAN, ANAKKU...."

Kepanikan Bi Sumi semakin menjadi-jadi tatkala Nyonya besar pun ikut menjerit lalu tak sadarkan diri seperti Aluna saat ini.

Setelah hampir setengah jam Nyonya Ratna siuman, ia segera memberitahukan kabar buruk ini pada seluruh penghuni rumah.

Tangisan pecah dari semua penghuni rumah ini. Ardan adalah sosok yang paling baik. Bahkan pada semua pelayan di rumah ini, ia begitu ramah dan dermawan. Tentu sikapnya itulah yang membuat semua pekerja di rumah ini menyayanginya. Mereka begitu terpukul atas berita tentang kecelakaan tragis yang menimpa orang baik itu.

"Sebaiknya kita ke rumah sakit, Ma. Papa ingin bertemu Ardhan," ucap seorang pria paruh baya dengan suara yang bergetar. Beberapa kali pria itu memegangi dadanya. Ia juga sempat limbung, untung saja anak bungsunya sigap menangkap ayahnya yang hampir pingsan tadi.

Tuan Agung menguatkan dirinya. Meskipun tak dipungkiri, hatinya terasa tercabik-cabik saat ini. Ardhan adalah anak kebanggaannya. Anak yang mampu mengangkat derajat orang tua hingga mereka bisa menikmati hasil jerih payah dari perusahaan Wijaya yang dulu hampir bangkrut itu. Tapi berkat kecerdasan dan kerja keras Ardhan, perusahaan milik keluarga itu bisa bangkit kembali dan sukses seperti saat ini.

"Ardhan, Pa. Ardhan. Gak mungkin anak kita... Ini pasti salah!" Nyonya Ratna berucap dengan suara yang sudah hampir hilang. Air mata tak hentinya mengalir hingga membuat kedua matanya sembab. Wanita itu memukul-mukul dadanya sendiri. Menahan sakit atas berita kecelakaan dari anak kesayangannya itu.

"Sabar, Ma. Sebaiknya kita ke rumah sakit. Kita berdoa semoga saja polisi itu salah. Semoga anak kita masih hidup," ucap Tuan Agung membodohi diri sendiri. Ia sangat tahu, itu semua mustahil. Dari plat nomor hingga pakaian yang di katakan oleh polisi ditelepon tadi, sudah jelas itu adalah anak mereka.

Kedua orang tua Ardhan akhirnya bergegas menuju rumah sakit bersama anak bungsu yang sejak tadi hanya diam tanpa ekspresi. Ada yang aneh dari putra kedua pasangan itu, ia tak sama sekali mengeluarkan air mata. Padahal sudah jelas, kakaknya yang selama ini banting tulang membiayai kuliahnya hingga lulus itu mengalami kecelakaan yang tragis hingga menewaskannya.

Ketiganya menuju rumah sakit yang dikatakan oleh polisi tadi. Sementara Aluna, gadis itu masih tak sadarkan diri. Ia berada dalam pangkuan Bi Sumi dan pelayan yang lain yang juga sedang berkumpul di ruang tamu dengan wajah yang sembab dan basah oleh air mata.

Hanya Isak tangis terdengar mengiringi sepanjang malam. Semua tak tertidur hingga saat subuh tiba, sirine ambulance terdengar memasuki halaman luas di kediaman Wijaya.

Cuaca mendung dan suasana pilu mengiringi kepergian sosok pria terbaik. Jerit tangis kembali terdengar bersahutan tatkala jenazah diturunkan dan dibawa masuk ke rumah sebelum akhirnya dibawa ke tempat peristirahatan terakhirnya.

**

Hujan deras membasahi pusara yang baru saja ditaburi bunga. Air yang turun dengan petir yang menggelegar kencang seakan mengiringi kepedihan seorang wanita yang kini memeluk nisan tanpa memperdulikan tubuhnya yang kotor dan basah kuyup.

"Mas. Jangan tinggalkan aku, Mas."

Aluna berbicara dengan bibir yang bergetar. Tak menyangka jika sang suami yang malam kemarin masih memeluknya dengan erat di atas pembaringan, kini terbujur kaku tak bernyawa. Pria yang disayanginya itu bahkan pergi meninggalkan dunia ini tanpa mengucapkan kata perpisahan.

Aluna terus tergugu. Tangisannya begitu menyayat hati. Semua yang melihat begitu iba padanya. Gadis malang yang baru satu tahun menikah itu kini harus menjadi janda di usia yang sangat muda.

Beberapa orang yang mengiringi proses pemakaman itu berangsur pulang.

Berbeda dengan yang lain yang merasa kasihan dengan nasib Aluna, seorang wanita berpayungkan hitam tak sama sekali iba melihatnya. Tangannya menarik wanita yang masih tergugu memeluk pusara yang basah dan kotor itu. Pakaian putih itu kini telah tercampur tanah. Aluna tak rela meninggalkan suaminya seorang diri di tanah makam ini.

"Bangun kamu! Jangan sok paling bersedih. Andai Ardhan tak menikah denganmu, mungkin dia tak akan meninggal seperti ini. Kau memang gadis pembawa sial!"

Bersambung....

Lanjutkan Membaca

Buku serupa

Bab
Baca Sekarang
Unduh Buku