/0/14428/coverorgin.jpg?v=e673db163036ee391c656ce0b40786ba&imageMogr2/format/webp)
“Rheina, sebagai teman satu desa sama Sarah, kamu yang seharusnya datang ke rumahnya dan mencari tau keadaan dia,” kata Satria teman satu angkatan di kampus.
Sarah adalah teman sejak kami sekolah menengah dan sudah satu Minggu ini dia tidak masuk kuliah. Beberapa teman yang biasanya tidak terlalu peduli dengan Sarah pun mulai menggumamkan kata-kata. Pasti mereka menyesal karena sering membully Sarah dan akibatnya gadis itu tidak mau lagi masuk kuliah.
Sarah memang termasuk siswi yang aneh, dia tidak banyak bicara, terlalu serius bila menatap orang lain, dan selalu berbicara tidak jelas. Banyak para siswa mengolok-oloknya bahkan tak jarang membully, aku yang menjadi teman satu mejanya kerap sekali kesal dengan sikap mereka.
“Bagaimana, Rhein?” tanya Satria lagi meminta jawabanku.
“Baik, aku akan ke rumahnya nanti setelah kelas selesai,” kataku akhirnya menyanggupi permintaan teman-teman.
“Bagus kalau begitu, kami tunggu kabarnya besok,” ucap Satria yang langsung membahas hal lain seputar kuliah.
Sepulang dari kampus, aku langsung menacap gas motor matic ku ke arah pulang, sebenarnya arah rumah Sarah dan aku berlainan arah, tapi tidak apa lah, aku sekalian saja.
“Rhein, tunggu, Rhein!” Seseorang berteriak memanggilku dari belakang. Aku menoleh dan ternyata Ayu teman sekelas ku yang memanggil. Aku pun menghentikan laju motorku dan menunggunya sampai ke tempatku.
“Kamu serius mau ke rumah Sarah?” tanya Ayu dengan napas masih tersengal-sengal akibat berlari tadi.
“Iya, kenapa? Kamu mau ikut?” tanyaku menodong.
Ayu menggeleng cepat, membuat rambut sebahunya ikut bergoyang-goyang.
“Gak, aku cuma mau kamu hati-hati aja.”
Aku menyipitkan mata. “Hati-hati?”
“Kamu kan tau kalau Sarah itu agak sedikit aneh di sekolah, aku khawatir keluarganya pun seperti itu,” kata Ayu berbisik. Aku, Ayu, dan Sarah memang satu sekolah dulu saat di menengah atas.
“Hust! Gak boleh begitu,” kataku mengingatkan.
“Ya, sudah. Aku cuma minta kamu hati-hati saja, Rhein.”
“Iya, iyaa. Aku berangkat nih,” ujarku sembari kembali menekan stater motorku.
Ayu pun mengangguk dan mundur menjauh. Aku bergegas menekan gas dan kendaraan roda duaku mulai meluncur di jalanan. Setelah menempuh jarak kurang dari dua kilometer dari arah sekolah akhirnya aku sampai di kediaman Sarah. Rumah itu tidak terlalu besar dan jauh dari tetangga, terdapat pohon mangga yang rindang di halaman depan, banyak daun-daun kering yang berserakan di bawahnya dan beberapa sampah plastik. Seperti tidak ada yang membersihkan atau memang rumah itu tidak ada penghuninya.
Aku mematikan mesin motorku dan menurunkan standar samping. Aku belum turun dari motor, ketika seseorang membuka pintu depan rumah Sarah. Pria tinggi dengan tubuh yang atletis dan berkulit sawo matang muncul dari balik pintu itu. Pria itu memakai kaus berwarna biru navy dan celana jeans yang sudah dipotong selutut. Usianya sekitar dua atau tiga tahun di atasku. Wajahnya lumayan ganteng tapi tatapan matanya sangat menyiratkan kesan tidak suka.
“Ngapain kamu?!” tanyanya ketus.
Aku melangkah ke arahnya dan hendak naik ke teras rumah. Setahuku dia adalah kakaknya Sarah, tapi aku tidak tahu namanya siapa.
“Berhenti di situ!” teriaknya lagi dengan suara lantang.
Aku mengerutkan kening. Mau tak mau aku pun berdiri diam di tempatku.
“Aku mau cari Sarah, dia ada di dalam, kan?” kataku langsung.
“Sarah sudah mati, kami menguburnya kemarin!” katanya masih dengan nada ketus.
“Hah?!” Aku tidak akan percaya semudah itu dengan kata-katanya barusan.
“Sudah sana pulang!” usirnya seraya mengibas-ibaskan tangan ke arahku.
Tapi aku bersikeras tidak akan pulang sebelum bertemu dengan Sarah. Aku sudah berada di sini dan tidak mungkin aku akan pulang dengan tangan kosong.
“Aku mau ketemu Sarah dulu, baru sehabis itu pulang,” ujarku menawar dan naik ke atas teras berdiri tepat di hadapannya.
“Eh, eh! Dikasih tau melawan ya!”
/0/5851/coverorgin.jpg?v=a2c52e04a4aa01cb1709cafafc343444&imageMogr2/format/webp)
/0/16131/coverorgin.jpg?v=ef37b785472cc4e574f639096218bae4&imageMogr2/format/webp)
/0/6451/coverorgin.jpg?v=4c0de242ad63e4f4adc8e2d8bfab62d9&imageMogr2/format/webp)
/0/5168/coverorgin.jpg?v=79b9005cb01a5264f8298e6bdffd90fd&imageMogr2/format/webp)
/0/23463/coverorgin.jpg?v=14b6c476052f0f49b30a09048b18a451&imageMogr2/format/webp)
/0/7196/coverorgin.jpg?v=7592a2eb81064573854cf2324235abe9&imageMogr2/format/webp)
/0/10909/coverorgin.jpg?v=5122a39c4be9b04d20fc1c65de293bfa&imageMogr2/format/webp)
/0/17014/coverorgin.jpg?v=1d98bce93c1c3b71e0890adca4a8cbe0&imageMogr2/format/webp)
/0/20965/coverorgin.jpg?v=c7c87510ad8d8ff2b3f00ab65b0630d8&imageMogr2/format/webp)
/0/22560/coverorgin.jpg?v=41f06ee61fc309bd0d88b53f249a8718&imageMogr2/format/webp)
/0/16908/coverorgin.jpg?v=eb76d5e78c94ca3449e4ff205c00d6f9&imageMogr2/format/webp)
/0/19132/coverorgin.jpg?v=b08ec950fd2b1873b72666067d0bd925&imageMogr2/format/webp)
/0/5379/coverorgin.jpg?v=4c202b2c3430a6aad7f3fb4ade33b625&imageMogr2/format/webp)
/0/12295/coverorgin.jpg?v=ae0a2f9e8b8d575d1e2e15375b69ead9&imageMogr2/format/webp)
/0/13295/coverorgin.jpg?v=1f824d1bf29c473c4ff55b4b3a5e050b&imageMogr2/format/webp)
/0/28508/coverorgin.jpg?v=c9d07857e0de229ba7cf65b366ef2502&imageMogr2/format/webp)
/0/4700/coverorgin.jpg?v=8e204fb0ca9f9e6f9f9e11ff6d15da84&imageMogr2/format/webp)
/0/20411/coverorgin.jpg?v=ed544edd7ae324569e375f18d81b1856&imageMogr2/format/webp)
/0/21834/coverorgin.jpg?v=73f4c4041152a5c211a3f6f52811f89c&imageMogr2/format/webp)
/0/2037/coverorgin.jpg?v=70a85f9f1929e57771166e1b459a18eb&imageMogr2/format/webp)