"Aku sakit Leukimia, Ka. Kata dokter umurku udah gak lama lagi. Aku cuma minta sama kamu, relain Dicky buat aku. Kamu tau, kan? Aku cinta banget sama dia. Kamu gak mau kan lihat sahabatmu ini sedih? Toh, kalau aku udah gak ada, kamu bisa balikan lagi sama dia." "Kasih aku waktu, Ca. Aku gak bisa dengan mudah bilang 'iya' sama kamu. Aku juga cinta sama dia." "Kamu gak kasihan sama aku, Ka? Hiks... hiks...hiks... Aku lagi sakit. Aku cuma minta pengertiannya sama kamu. Kenapa kamu gak mau!? "Ca, bukannya aku gak mau. Aku....," "Udahlah, Ka. Kamu itu bener-bener egois!" "Ca.......!"
"Bu, minta uang!" Cantika yang sudah rapi dengan seragam sekolahnya menghampiri Nilam-ibunya, di dapur.
"Sebentar, Nak."
Rutinitas setiap pagi, Nilam selalu membuat kue yang nantinya akan ia jual pada tetangga sekitar rumahnya. Ia lakukan itu untuk membantu suaminya yang hanya bekerja sebagai kuli panggul di pasar. Tak seberapa memang hasilnya, tapi lumayan untuk membeli sayuran yang biasa lewat depan rumahnya.
"Cepetan dong, Bu!" bentak Cantika.
Nilam mengeluarkan uang lusuh dari balik bajunya lalu diberikan pada anak gadisnya yang sudah berkacak pinggang di sampingnya. "Ini, Nak."
"Apa? Cuma dua ribu? Mana cukup, Bu?! Buat beli nasi bungkus aja masih kurang! Aku mau seratus ribu! Cepetan!" Selembar uang senilai dua ribu rupiah itu dilempar dengan kasar pada wajah ibunya.
"Ibu gak punya uang sebanyak itu, Nak. Ibu kan belum jualan. Ya ini, Ibu cuma punya uang segini. Ini bisa buat beli roti kok, Nak." Nilam memungut uang yang sudah tergeletak pada ubin tanahnya lalu ia selipkan pada tangan anaknya.
"Aku gak mau uang ini, Bu!" Uang itu kembali terhempas ke tanah. "Ibu kenapa pelit banget sih sama anak sendiri? Gak mungkin kalau Ibu gak punya uang. Ibu pasti udah sembuyiin uangnya, kan? Di mana, Bu?" Kaleng yang biasa ibunya gunakan untuk menyimpan uang hasil jualan digeledah oleh Cantika. Hanya ada beberapa uang logam di sana.
"Gak ada, Nak. Ibu gak simpan uang."
"Ibu bohong!" Langkah kaki Cantika memasuki kamar orang tuanya. Di dapur, Nilam masih memunguti uang logam yang tersebar di tanah, memasukkan kembali pada kaleng bekas biskuit lalu menutupnya. Tergesa-gesa langkahnya mengejar anaknya yang sudah mengobrak-abrik isi lemarinya. Semua pakaian sudah tersebar di kasur lusuh dan juga di tanah.
"Astagfirullah, kamu ngapain bongkar lemari Ibu, Nak?"
Cantika tak menggubris keberadaan ibunya. Tangannya masih sibuk mencari-cari kertas bernilai di setiap lipatan baju. "Ini apa kalau bukan uang, Bu?" Amplop kuning yang lumayan tebal sudah berada di tangannya. Setelah dibuka, isinya adalah lembaran-lembaran uang berwarna merah. Dengan cepat amplop itu dimasukkan dalam saku roknya.
"Jangan diambil, Nak! Itu tabungan Ibu." Nilam berusaha mengambil kembali amplop yang sudah berada di dalam saku rok Cantika.
"Uang ini sekarang punyaku, Bu. Minggir, aku mau berangkat sekolah!" Cantika menendang tubuh ibunya yang memeluk kakinya. Tak dipedulikan suara isakan dari mulut wanita tua itu, ia berlalu pergi meninggalkan rumah.
***
"Wih, tumben kamu mau traktir kita?"
"Iya, dong. Aku kan orang kaya. Rasanya gatel kalau uang 20 juta gak aku habisin. Ya udah, buruan gih kalian mau makan apa, hari ini semuanya aku yang bayar."
Cantika merasa puas bisa membuktikan pada teman-temannya yang merasa ragu akan status keluarganya. Hari ini, ia bisa membungkam mulut mereka semua dengan uang yang didapatkannya dari menggeledah lemari ibunya. Salah siapa punya uang gak mau bagi-bagi ke anaknya. Toh, ibunya pasti bisa cari lagi uangnya.
"Makasih, Cantika. Kalau setiap hari kayak gini kan enak, hehehe."
***
"Duh, laper lagi. Ibu masak apa, ya?"
Usai mengganti seragam sekolah dengan pakaian santai, Cantika berjalan ke dapur untuk makan siang. Rupanya steak yang tadi ia makan tak bisa mengganjal perutnya.
"Ikan asin?" Rasa laparnya seketika langsung hilang begitu membuka rinjing, yang hanya ada beberapa potong ikan asin di sana.
"Bu?" teriaknya.
"Ada apa, Nak?" Nilam berjalan tergopoh-gopoh menghampiri anaknya. Wanita tua itu tadi sedang mengangkat jemuran di belakang rumah.
"Ibu gak bisa masak yang lain apa? Aku bosen, Bu, tiap hari harus makan ikan asin."
"Makan seadanya saja, Nak. Bersyukur, yang penting kamu masih bisa makan."
"Aku bukan kucing, Bu! Aku mau makan enak!" Piring berisi ikan asin itu dilempar ke tanah oleh Cantika. 2 kucing peliharaannya langsung menyambar ikan itu dan dibawa pergi dengan mulutnya.
"Ya Allah, Nak, kenapa kamu buang makanan itu? Kalau kamu gak mau makan ya sudah, jangan dibuang-buang seperti itu!" Nilam menatap nanar ke arah ikan asin yang sudah ludes dimakan oleh kucing. Perutnya lapar, sedari pagi ia belum makan.
"Nak, kamu kan tadi ambil uang Ibu, balikin ke Ibu, ya? Itu uang tabungan kita."
"Uangnya udah abis!"
Mata Nilam terbelalak sempurna. "Ha--habis, Nak? Uang segitu banyaknya kamu habiskan? Astagfirullah, susah payah Ibu kumpulkan uang itu, dalam sehari uang itu sudah habis? Kamu beli apa saja, Nak? Kenapa kamu boros? Kita ini bukan orang kaya, Nak. Kamu jangan foya-foya seperti temen-temen kamu itu!"
"Udahlah, Ibu bawel banget, sih! Cuma uang segitu aja sampai ditangisin. Ibu kan bisa cari lagi. Awas, aku mau pergi!" Pusing kepala Cantika mendengarkan ocehan tak penting ibunya. Lebay banget, sih! Tinggal cari lagi apa susahnya?
"Mau ke mana kamu, Nak?"